ANTARA FOTO/ M RISYAL HIDAYAT

Personel penjikan bom (Jibom) bersiap melakukan identifikasi di lokasi ledakan Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela di Ngagel Madya, Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5). Menurut pihak kepolisian setempat, terjadi ledakan di tiga lokasi gereja pada waktu hampir bersamaan di Surabaya.

Serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Minggu, 13 Mei 2018, kian menegaskan bahwa terorisme masih merupakan ancaman nyata di Indonesia.

Peristiwa di tiga gereja di Surabaya yang menewaskan 13 orang itu—di antaranya anak-anak—terpaut lima hari dari penyanderaan anggota Polri di Rumah Tahanan Cabang Salemba di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok. Penyanderaan dan penguasaan di rumah tahanan selama 36 jam itu mengakibatkan lima polisi gugur dalam tugas. Mereka dibunuh narapidana teroris dengan luka sayatan senjata tajam dan ditembak dari jarak dekat.

Setelah terjadi insiden di Mako Brimob Kelapa Dua, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menegaskan jaminan negara terhadap keselamatan warga negara dan sejumlah agenda nasional maupun internasional. (Kompas, Sabtu 12 Mei 2018). Banyak pihak berharap, setelah peristiwa di Mako Brimob, intelijen lebih bersiaga untuk mencegah terjadinya aksi terorisme berikutnya.

Namun, kenyataannya, serangan bom bunuh diri terjadi di tiga gereja di Surabaya. Bagi pelaku terorisme, satu keberhasilan melakukan serangan merupakan keberhasilan besar. Sementara bagi aparat intelijen, beberapa kali upaya mereka sukses mencegah teroris bertindak tidak akan berarti ketika satu aksi teroris bisa dilakukan setelah luput dari deteksi intelijen.

Kita berharap kepolisian segera bisa mengungkap otak di balik serangan bom bunuh diri itu. Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian di Surabaya menyebutkan, serangan bom bunuh diri dilakukan oleh satu keluarga yang tinggal di Surabaya.
Serangan bom bunuh diri haruslah menjadi momentum bersama memperkuat persatuan kita sebagai sesama anak bangsa. Semua pihak hendaknya bisa menahan diri dan tidak terprovokasi berbagai pernyataan di media sosial yang derajat kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dibutuhkan kewarasan tersendiri untuk menyaring berbagai konten di media sosial.

Serangan bom bunuh diri merupakan kejahatan atas kemanusiaan yang harus dikecam sekeras-kerasnya. Serangan atas kemanusiaan yang berpotensi memorakporandakan keindonesiaan ini tidak layak dipolitisasi untuk kepentingan politik sesaat, apalagi untuk kepentingan kontestasi demokrasi.

Saatnya warga bangsa, sampai tingkat terendah rukun tetangga dan rukun warga, bekerja sama dengan aparat untuk mengantisipasi ancaman terorisme. Perintah Presiden Joko Widodo kepada Kapolri sudah sangat jelas. Ungkap tuntas aktor dan akar-akar terorisme! Untuk itu, Kapolri Tito juga telah meminta bantuan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk bekerja sama mengungkap jaringan terorisme.