Ada hantu sedang berkeliaran di seluruh dunia: hantu populisme. Hal ini tidak mengherankan, mengingat populisme bisa muncul di mana saja.

Populisme tak lagi hanya muncul dalam komentar intelektual negara maju terhadap karut-marut politik di negara berkembang. Negara-negara maju dengan institusi politik yang mapan pun ditelan oleh gelombangnya.

Belum pulih dari keterkejutan atas kemenangan "Leave" dalam referendum mengenai posisi Inggris di Uni Eropa pada Juni 2016, dunia dikagetkan oleh kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS pada November 2016. Tak berselang lama, Marine Le Pen dari partai sayap kanan Front Nasional berhasil melaju ke ronde kedua pemilihan presiden Perancis meski kemudian kalah oleh Emmanuel Macron. Pada 2017 pula, untuk pertama kali partai AfD (AlternativefÜr Deutschland) berhasil meraih kursi di Bundestag. Tak main-main, dalam Pemilu Federal Oktober tahun lalu, partai sayap kanan radikal itu menjadi partai terbesar ketiga di Jerman dengan 94 kursi di Bundestag.

Berbagai pemilu di Eropa dalam beberapa tahun terakhir ini menunjukkan penguatan yang signifikan dari partai-partai sayap kanan. Tak ayal, para cendekia kini gencar membunyikan alarm untuk memperingatkan dunia dari bahaya populisme.

Kenapa makin populer?

Indonesia pun tak ketinggalan. Selepas Pilkada DKI yang melelahkan, pengamat mulai menulis ancaman populisme. Berbagai seminar mengemukakan bahaya populisme bagi kebinekaan. Sebagian bahkan menyerukan pers dan negara membendung kecenderungan ini.

Sayangnya, tak mudah membendung meluasnya pengaruh populisme di ruang publik kita. Tak mungkin membendung gelombang populisme dengan menepuk dada kaum elite dan cendekia. Menjelang Brexit, para akademisi top dan media arus utama secara masif menayangkan berbagai analisis yang menggambarkan betapa besarnya kerugian Inggris jika keluar dari Uni Eropa. Menjelang pemilihan presiden AS, para artis Hollywood, tokoh-tokoh politik kakap, dan intelektual kelas dunia ramai-ramai mengecam retorika Trump yang rasis dan berbahaya. Hasilnya? Sebagian warga yang merasa kaum elit itu berjarak dengan keluhan sehari-hari mereka malah meneriakkan protesnya dengan memilih apa yang dikecam para cendekia itu.

Untuk membendungnya, kita perlu paham mengapa populisme tumbuh subur. Kita tak akan bisa mengalahkan sesuatu yang tak kita pahami dengan baik.

Populisme dapat tumbuh subur karena beberapa alasan. Pertama, bersifat struktural. Di seluruh dunia, ketimpangan ekonomi makin menganga. Laporan terbaru Oxfam yang dirilis awal 2018 menyebut, 82 persen kekayaan pada 2017 dinikmati oleh 1 persen orang saja. Di Indonesia, laporan Oxfam  sebelumnya menunjukkan gambar senada. Empat orang terkaya di negeri ini memiliki kekayaan lebih dari total kekayaan 40 persen penduduk dengan kekayaan terendah. Satu persen orang terkaya Indonesia memiliki hampir setengah dari total kekayaan penduduk negara yang kita cintai ini. Dengan angka ini, Indonesia peraih peringkat keenam dalam daftar negara dengan tingkat kesenjangan tertinggi (Oxfam, 2017).

Kondisi lain yang membuat populisme populer adalah ketakmampuan lembaga- lembaga politik menjawab persoalan ketimpangan ini. Lembaga politik dianggap berjarak dengan rakyat dan dikuasai elite. Tak heran, di AS ketidakpercayaan pada elit Washington menghadirkan gerakan 99 persen dan Bernie Sanders di kiri dan gerakan Tea Party serta Trump di kanan. Keduanya, meski berseberangan, sama-
sama mengatakan akan membongkar sistem korup yang dianggap mencengkeram Amerika. Di Indonesia, meski kepercayaan atas Presiden dan KPK tinggi, kepercayaan pada lembaga politik lain, seperti DPR dan partai politik, cukup rendah.

Kondisi struktural yang demikian diperparah kondisi pasar gagasan (ideas marketplace) juga membuat gagasan populisme tumbuh subur. Daniel Drezner (2017) menyebut sedang terjadi revolusi dalam pasar gagasan di AS dan mungkin di seluruh dunia. Seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial, aktor yang turut menawarkan gagasan di pasar ide semakin banyak dan beragam. Uniknya, tergerusnya kepercayaan pada institusi tradisional (termasuk kampus) dan polarisasi politik yang tajam membuat orang-orang yang menawarkan gagasan hitam putih dengan meyakinkan lebih mudah diterima.

Sayangnya, dalam kondisi struktural dan pasar gagasan yang sangat kondusif bagi populisme, respons dari kaum terdidik sejauh ini hanya terdengar sayup-sayup. Saat ruang publik dikuasai demagog yang akrab dengan media sosial dan bahasa yang dipahami masyarakat luas, para intelektual makin terkurung di menara gading. Profesionalisasi akademisi kampus melalui aturan dan target publikasi akademik yang semakin ketat membuat para ilmuwan dan intelektual publik tak memiliki waktu cukup untuk terlibat intens dalam perdebatan di ruang publik. Di sisi lain, para intelektual yang tak terikat pada kampus justru sibuk menjadi profesional di industri politik yang makin menggiurkan dengan menjadi konsultan kampanye atau penyedia jasa survei. Hal ini membuat suara-suara para demagog populis di berbagai kubu menjadi acuan utama bagi masyarakat luas.

Butuh partisipasi publik

Tak dapat dipungkiri populisme menghadirkan berbagai masalah, tetapi solusinya bukanlah "elitisme teknokratik" (Sheri Berman, 2017). Banyak intelektual mengeluh, demokrasi membuat orang-orang tak terdidik di lembaga-lembaga prestisius terlibat terlalu jauh di dalam pembuatan kebijakan. Sikap macam inilah yang membuat elit dan para cendekia kian berjarak dengan publik, membuat mereka merangkul populisme dengan antusias.

Untuk membendung populisme, yang harus dibangun justru partisipasi publik yang lebih besar dan berkualitas. Lembaga- lembaga politik, terutama partai politik, harus mulai membenahi diri untuk menyerap dan menerjemahkan aspirasi konstituen tidak hanya dalam soal siapa pejabat yang dipilih, tetapi dalam perencanaan dan pelaksanaan serta evaluasi berbagai program. Selain itu, organisasi masyarakat sipil juga harus memperkuat diri mengorganisasi publik guna memperjuangkan program konkret untuk menyelesaikan masalah masyarakat sehari-hari.

Sementara di pasar gagasan, para cendekiawan di universitas dan di luar universitas harus keluar dari kenyamanan menara gading. Mereka harus belajar untuk tak hanya bicara kemiskinan dengan angka-angka statistik di ruang seminar. Mereka juga harus melatih kerendahhatian untuk bisa memberikan jawaban empatik yang lebih menarik daripada populisme.