ANTARA/HAFIDZ MUBARAK A

Suasana sidang uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (3/5/2018). Sidang itu beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pemohon. 

Biasanya malapraktik dibicarakan di dunia kedokteran. Kini, masalah malapraktik marak terjadi di dunia perundang-undangan.

Ini bukan persoalan baru, apalagi mengada-ada. Kata "malapraktik" di sini dipakai untuk melukiskan perilaku buruk pembuat perundang-undangan—karena keterbatasan ilmu, tekanan-tekanan pihak tertentu, atau niat jahat—sehingga perundang-undangan yang dihasilkannya bermasalah, cacat, bahkan tidak memenuhi kualifikasi sebagai hukum.

Terjadinya malapraktik perundang-undangan berlangsung sejak adanya dominasi politik praktis dalam pembuatan perundang-undangan. Begitu banyak perundang-undangan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, atau Kementerian Dalam Negeri. Ini bukti maraknya malapraktik perundang-undangan itu.

Sekadar bukti, ditampilkan data rekapitulasi perkara pengujian UU oleh MK, dari 2003 hingga 2018. Terdapat 1.806 UU digugat oleh publik. Perinciannya, 250 gugatan dikabulkan, 395 ditolak, 349 tidak diterima, 110 gugatan ditarik kembali, 20 gugatan gugur, dan MK merasa tak berwenang mengadilinya sebanyak delapan gugatan.

Di MA, sepanjang 2015 tercatat pemerintah menerbitkan tidak kurang dari 142 peraturan pemerintah (PP). Beberapa dari PP itu dipersoalkan ke MA melalui hak uji materi. Dilaporkan oleh MA bahwa PP adalah jenis peraturan perundang-undangan yang paling banyak dipersoalkan publik. Dari 72 permohonan diterima, 19 permohonan (26,39 persen) adalah PP.

Pada 26 Juni 2017, diumumkan resmi oleh Kemendagri tentang pembatalan 3.143 peraturan daerah (perda) oleh pemerintah pusat. Alasannya karena dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah, memperpanjang jalur birokrasi, serta menghambat investasi dan kemudahan berusaha.

Melalui penalaran sederhana, ketika perundang-undangan dibatalkan, dapat dihitung besarnya financial cost (uang rakyat) mubazir terkobankan untuk membayar honor para pembuat perundang-undangan. Ditambah dengan pengorbanan imateriil—seperti kevakuman hukum, rasa kecewa, dan lunturnya kepercayaan publik—sungguh amat besar kerugian negara.

Langkah strategis

Laju malapraktik perundang- undangan perlu distop. Langkah-langkah strategis, komprehensif, dan mendasar perlu dilakukan. Diawali melalui pembenahan kualifikasi pembuat perundang-undangan.

Pertama, pembuat perundang-undangan harus warga negara Indonesia, memiliki wawasan kebangsaan dan trans- kebangsaan. Mereka harus sehat lahir-batin dan punya tingkat kecerdasan tinggi (intelektual, sosial, dan spiritual). Kualifikasi demikian diperlukan sebagai representasi kekuatan ampuh untuk menepis munculnya konsep perundang-undangan berwawasan kedaerahan atau konsep titipan agen-agen (lembaga atau negara) asing. Dari mereka ini diharapkan muncul sikap kritis, futuristik, dan visioner dalam mewarnai substansi perundang-undangan. Kebenaran dan kebaikan perundang-undangan diukur dari perspektif rasionalitas, sosiologis-kebangsaan, sesuai suara rakyat (vox Populi), dan pertanggungjawabannya kepada Allah SWT (vox Dei).

Kedua, ahli perihal philosopiche grondslag. Oleh Soekarno dijelaskan: Philosopiche grondslag adalah fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa dan hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi. Pernyataan di sidang Dokuritzu Zumbi Tjoozakai tanggal 1 Juni 1945 itu perlu diaktualisasikan agar spiritnya mewarnai perilaku pembuat perundang-undangan. Artinya, mereka senantiasa berupaya menjadikan Pancasila sebagai dasar (fundamen) filsafat perundang-undangan yang dibuatnya. Di sini, nilai-nilai Pancasila perlu dipahami, dihayati, dan diamalkan secara obyektif. Untuk itu, pembuat perundang-undangan mesti Pancasilais terlebih dulu.

Ketiga, memiliki ilmu hukum berparadigma Pancasila. Ilmu itu lentera kehidupan. Kehidupan bernegara hukum akan cerah, remang-remang, ataukah gelap sangat bergantung pada kualitas dan karakter ilmu hukum di negara tersebut. Ilmu hukum berparadigma Pancasila memberi garansi dan panduan bahwa kebenaran setiap perundang-undangan mesti diukur dalam perspektif Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah setiap perundang-undangan: "Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa", wajib ada. Itu bukan sekadar persyaratan formal, tapi wajib ditukikkan sebagai jiwa atau fundamen setiap perundang- undangan. Berbekal ilmu hukum berparadigma Pancasila, maka proses dan produk pembuatan perundang-undangan dapat dipastikan sarat dengan nilai-nilai Pancasila, sekaligus tergaransi jauh dari sekularitas.

Keempat, ahli bahasa hukum, mahir merumuskan hukum tertulis dalam kalimat singkat dan padat. Perundang-undangan merupakan bentuk hukum modern. Modernisme senantiasa mensyaratkan adanya kepastian hukum. Karena itu, ditabukan bahasa hukum multitafsir. Bahasa hukum positivistik (jelas, tegas, pasti, dan bernas) merupakan persyaratan melekat pada perundang-undangan. Siapa pun pembuat perundang-undangan perlu ahli bahasa hukum positivistik. Sungguh tidak cukup—bahkan sering menyesatkan—ketika persoalan bahasa hukum diminta fatwa ke ahli bahasa Indonesia umumnya.

Kelima, perundang-undangan merupakan sarana untuk pencapaian tujuan negara. Maknanya, tujuan negara dijadikan orientasi. Kepentingan kelompok, golongan, partai, tak boleh menggeser orientasi nasional. Tujuan negara yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 perlu dipahami dan dijabarkan menjadi tujuan-tujuan spesifik terkait obyek yang diatur di perundang-undangan.

Lima strategi di atas baru merupakan langkah awal. Untuk mewujudkan sistem hukum nasional Pancasilais diperlukan langkah-langkah lain.