Menjelang tahun penentuan 2019, ruang publik kita tertutupi oleh awan gelap yang menghalangi masuknya harapan dan pencerahan bagi masa depan Indonesia. Awan tersebut adalah narasi-narasi destruktif yang menumbuhkan pesimisme, permusuhan, dan ketundukan total terhadap otoritas. Semuanya hadir dalam narasi apokaliptik yang mengisahkan Indonesia akan hancur maupun sakralisasi politik yang membelah kontestasi politik menjadi permusuhan antagonistik antara kekuatan kebaikan dan keburukan.
Apatisme, kebencian, dan keengganan menerima perbedaan sambung-menyambung mendominasi ruang publik dan timeline dari media sosial akhir-akhir ini. Belum hilang memori traumatik kita tentang kontestasi politik Jakarta berbau antagonisme SARA tahun lalu, jagat media sosial awal tahun ini sudah diramaikan oleh narasi apokaliptik tentang Indonesia sebagai negara gagal yang berbasis cerita fiksi. Belum reda kontroversi tentang narasi Indonesia kiamat, narasi politik ditarik menuju kecenderungan agamaisasi politik (the religionization of politics) melalui wacana politisasi masjid dan pertarungan Partai Allah versus Partai Setan.
Narasi apokaliptik
Demikianlah yang saat ini kita saksikan: narasi tentang Indonesia kiamat dan sakralisasi kontestasi politik berjalin-kelindan, menggelinding dan memperkeruh pembelahan besar politik yang terus berlangsung menuju momentum Pilpres 2019. Dalam kajian tentang kebangkitan kekuatan populisme kanan radikal, di tengah krisis sosial politik, narasi politik apokalipktik serta agamaisasi politik sama-sama memiliki efek menghancurkan ruang sosial kehidupan bernegara.
Alison McQueen, profesor politik asal Stanford University, dalam karyanya Political Realism in Apocalyptic Times (2017) menjelaskan bahwa dalam kalkulasi oportunistik, para politisi populis demagog menggunakan narasi-narasi apokaliptik seperti negara korup dan demokrasi liberal yang membawa pada kehancuran sebagai cara mereka berkomunikasi kepada pendukungnya, tanpa harus mengurai kompleksitas persoalan, sambil memperkuat dukungan politik massa kepada pemimpinnya. Sementara dalam perspektif yang lebih luas, dengan menghadirkan narasi-narasi apokaliptik seperti Indonesia akan hancur berkeping-keping apabila tidak dipimpin oleh sosok pemimpin yang tegas, risikonya adalah hancurnya tradisi politik untuk membangun konsensus maupun keadaban politik di sebuah negara yang terpapar olehnya.
Dalam konteks dimensi kehidupan bernegara yang lebih luas, masalah utama dari berkembangnya tentang narasi kemungkinan Indonesia hancur pada 2030 adalah bukan soal apakah narasi ini terinspirasi dari fiksi atau fakta. Persoalan terpenting dari tumbuhnya narasi apokaliptik di atas adalah bahwa dengan cara itu kelompok populis kanan ini tengah membelah Indonesia jadi dua kubu, yakni kubu representasi kebaikan melawan representasi kejahatan (good vs evil).
Semakin kuat narasi apokaliptik ini tumbuh, efeknya: mereka yang merasa di pihak yang benar meyakini bahwa "yang lain" adalah penyebab kekacauan sosial sehingga penghancuran atas mereka adalah sah. Dialog dan kearifan politik bahwa meskipun kita berbeda politik tetapi yang lain bisa benar sementara kita bisa salah akan hilang, digantikan keyakinan kebenaran mutlak milik kelompok mereka saja.
Sementara di sisi lain, agamaisasi politik terjadi ketika kontestasi politik dalam ruang profan yang penuh relativitas ditarik pada tatanan absolut yang tidak terjangkau oleh konsensus dan negosiasi ataupun nalar keilmuan dan kemanusiaan. Dalam konteks wacana publik akhir-akhir ini, kemungkinan menyelesaikan persoalan publik melalui program-program rasional dan penalaran saintifik diganti oleh perang manichean antara kebaikan dan keburukan ketika narasi politik ditampilkan dalam perbincangan Tuhan melawan setan.
Baik narasi politik apokaliptik maupun agamaisasi politik tidak saja memiliki akibat bagi pembusukan proses demokrasi. Namun, yang lebih mengkhawatirkan, keduanya adalah musuh bebuyutan dari tujuan-tujuan utama dari pencerahan, yakni reason (nalar) dan humanism (kemanusiaan).
Sakralisasi politik
Narasi apokaliptik dan agamaisasi politik membuyarkan perbincangan politik sebagai perbincangan berbasis nalar publik. Hal ini mengingat keduanya telah menempatkan narasi politiknya sebagai narasi yang sakral, sementara yang berbeda dengannya tengah mengambil pilihan politik yang hina.
Narasi seperti ini akan menghalangi bagaimana setiap posisi politik dan ideologis dipahami dan dinilai melalui pendekatan rasional dialogis dan penjelasan saintifik untuk menengahi setiap persoalan sosial. Selain itu, kedua narasi di atas adalah musuh dari pencerahan yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, dalam sebuah politik modern yang dilandasi oleh semangat kemanusiaan, setiap pihak yang berkontestasi di dalamnya dihormati hak kemanusiaannya dalam kerangka kewargaan sebagai pihak-pihak yang berpartisipasi membangun tatanan politik yang humanis dan demokratik. Sementara bagi kedua narasi di atas, yang menyakralkan dirinya, tujuan dari proses politik yang mereka bangun adalah mengeksklusi dan mendiskriminasi kelompok-kelompok yang berbeda dengan pilihan politik yang mereka yakini.
Tidak saja menyebalkan, tetapi juga begitu menyedihkannya suasana politik Indonesia menjelang 2019. Apabila kita hendak merawat capaian-capaian demokrasi setelah dua puluh tahun Indonesia keluar dari belenggu otoritarianisme, saat ini kita membutuhkan narasi-narasi baru yang membawa harapan. Narasi-narasi baru dimaksud sebenarnya telah dituangkan oleh pendiri republik kita ketika melahirkan Indonesia. Narasi yang meyakini Indonesia menatap masa depannya yang dilandasi nilai-nilai pencerahan, yakni ketuhanan yang inklusif, kemanusiaan yang beradab, solidaritas, demokrasi, dan keadilan sosial!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar