TOTO S

                           

Kerusuhan narapidana teroris yang terjadi di Mako Brimob pada 8 hingga 10 Mei lalu membuat gusar banyak orang. Sulit sekali untuk memahami bagaimana 130 tahanan yang menganut ideologi berbahaya masih ditempatkan dalam satu tempat yang sama sehingga mereka masih mampu merasakan kehadiran anggota kelompoknya masing-masing.

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana pola interaksi antartahanan sebelum terjadi kerusuhan tersebut. Adakah waktu-waktu tertentu di mana para tahanan teroris itu dapat berinteraksi satu sama lain? Dapatkah mereka mendengar cerita antartahanan?

Atau paling tidak, masihkah mereka dapat merasakan kehadiran masing-masing baik dalam bahasa verbal maupun nonverbal? Bagaimana melakukan deradikalisasi jika mereka masih memiliki sense of belonging dan solidaritas sebagai kelompok berideologi sama?

Kelompok dukungan

Kerasnya lingkungan penjara membuat orang-orang memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dalam kelompok yang dianggap dapat memberikan dukungan secara afektif dan perlindungan fisik. Hierarki penjara, pencabutan hak, tekanan sosial, dan kondisi mental mereka yang rentan menyebabkan kebutuhan mereka untuk berafiliasi dalam kelompok semakin besar. Identitas kelompok yang sebelumnya mereka punyai justru mendapat bahan bakar ketika mereka sama-sama menyadari menjadi pesakitan.

Terlepas interaksi antarsesama mereka di dalam penjara bisa jadi dibatasi satu sama lain. Namun, kehadiran orang berideologi sama dalam satu tempat malah akan memperkuat solidaritas mereka sebagai orang-orang buangan. Mereka tidak hanya semakin terikat pada nilai-nilai persaudaraan ideologis, tetapi juga sebagai saudara senasib dan sepenanggungan dalam tahanan.

Dengan demikian, selama kehadiran antartahanan teroris ini dapat dirasakan oleh masing-masing dari mereka, proses deradikalisasi pada narapidana ini akan sulit dilakukan. Tak perlu berbincang-bincang untuk dapat merasakan kehadiran, bahkan teriakan tahanan dari balik jeruji saja sudah cukup bagi orang-orang tersebut untuk merasakan bahwa kawan ideologisnya masih ada.

Oleh karena itu, tak mengherankan jika solidaritas di antara mereka pun menembus batas dinding penjara, di mana para napi teroris di Polda Metro Jaya juga ikut berteriak ketika tahu yang dilakukan rekan-rekannya di Mako Brimob.

Menjadi ekstrem

Begitu banyak eksperimen dalam psikologi sosial yang menunjukkan bagaimana kelompok akan mengubah pandangan-pandangan individual dari yang tidak terlalu ekstrem menjadi ekstrem.

Eksperimen yang dilakukan oleh Moscovici dan Zavalloni (1969) di Perancis menunjukkan, orang yang mempunyai kecenderungan tidak terlalu suka dengan Amerika Serikat akan berubah taraf ketidaksukaannya menjadi lebih ekstrem jika dia dikumpulkan pada sesama orang yang tidak suka kepada Amerika Serikat.

Begitu juga dengan orang yang cenderung suka kepada Charles De Gaulle, ketika mereka digabung dengan orang- orang yang suka kepada Charles de Gaulle justru akan semakin menyukai Charles de Gaulle. Eksperimen yang sama juga dilakukan oleh Myers dan Lamm (1976), di mana orang yang semula cenderung sedikit berani mengambil risiko ketika dia dikumpulkan dengan sesama orang yang juga sedikit berani mengambil risiko. Mereka akan lebih ekstrem dalam mengambil risiko setelah ia bergabung dengan kelompok.

Begitu juga dengan orang  yang semula bersikap hati-hati, ketika ia digabungkan dengan kelompok yang mempunyai kadar kehati-hatian sama, taraf kehati-hatiannya akan menjadi lebih ekstrem setelah mereka berkelompok.

Atas dasar hal tersebut, dalam perspektif dinamika kelompok, tidaklah mengherankan jika radikalisme justru semakin tumbuh subur di penjara. Alih-alih membuat penjara sebagai tempat untuk deradikalisasi, yang terjadi justru membuat mereka semakin radikal. Kehadiran fisik pada mereka yang dianggap sama sudah membuat mereka tidak sendiri lagi. Rasa takut dan benci telah dibagi dan dirasakan bersama- sama di dalam penjara.

Mempertebal polarisasi

Orang-orang seideologi yang ditempatkan pada tempat yang sama akan mempertebal polarisasi kelompok mereka ke taraf yang lebih ekstrem.

Lebih lanjut, kohesivitas kelompok yang semakin menebal karena hubungan saling membutuhkan di antara anggotanya di dalam penjara akan semakin melemahkan daya kritis mereka. Fenomena ini diungkapkan Irving Jannis (1982). Sebagai groupthink—yaitu pola pikir yang lebih mengutamakan solidaritas dan kesepakatan kelompok melebihi motivasi personal—setiap individu dalam kelompok kohesif cenderung mengabaikan fakta-fakta sosial dan kemanusiaan yang harus dipertimbangkan dalam bersikap atau berperilaku.

Hal itu membuat mereka semakin sulit diajak merefleksikan ideologi-ideologi berbahaya yang telanjur mereka percaya. Mereka justru akan semakin buas dan membabi buta ketika keluar dari tahanan.

Pemikiran radikal dari Ayman al-Zawahiri, Abu Mus`ab al-Zarqawi justru semakin ekstrem setelah mereka keluar dari penjara. Penjaralah yang memungkinkan Abu Bakr al-Baghdadi bertemu dengan orang seperti Abu Ghraib sehingga membuat pandangan-pandangan radikalnya menjadi semakin ekstrem.

Penjara memungkinkan mereka berkesempatan untuk menyebarkan dan mendiskusikan keyakinannya sehingga mendapatkan simpati dan termanifestasi dalam gerakan perlawanan dari para napi ideologis yang sama dan sealiran.

Dari situ kemudian muncul pertanyaan besar, adakah sistem penjara kita bisa efektif untuk memisahkan mereka dengan sesamanya yang juga memiliki paham-paham ekstrem? Hanya dengan pemisahan, deradikalisasi dapat manjur berjalan. Jangan sampai penjara justru menjadi ladang menebalnya radikalisasi.