Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Mei 2018

Pensiunan dan PBB DKI//Yogya dan Perda tentang Pengemis (Surat Pembaca Kompas)

Pensiunan dan PBB DKI

Sebagian orang menyambut April sebagai bulan penuh kejutan sebab ada April mop. Namun, bagi pensiunan seperti saya, April 2018 benar-benar bulan kejutan lantaran pada awal bulan itu Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) mulai menyebar Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB).

Kejutan, karena sebagai pensiunan, saya harus berhitung dan berpikir keras bagaimana menyiapkan anggaran demi melunasi PBB tepat waktu. Terlambat berarti menambah beban karena ada denda.

Untuk sedikit mengurangi beban tersebut, dalam dua tahun terakhir (berdasarkan peraturan Gubernur DKI Nomor 84 Tahun 2013) melalui pengurusan yang mudah dan pelayanan profesional, saya mendapat keringanan 30 persen dari Kantor Pajak Cilandak, Jakarta Selatan.

Karena hitungan PBB saya cukup besar, dengan keringanan 30 persen itu pun tetap saja saya membayar pajak lumayan besar: 150 persen kali pensiun bulanan saya. Untuk tagihan PBB 2017, saya sedang mengajukan permohonan keringanan lebih besar kepada Kantor Pajak Cilandak, Jakarta Selatan.

Mengingat makin berat biaya hidup sehari-hari, sementara gaji pensiun tak pernah naik sejak 2015 (memang diganti dengan gaji ke-13), saya sebagai pensiunan berusia 78 tahun melalui surat ini mengajukan usul kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan supaya PBB untuk pensiunan, janda pensiunan, veteran yang telah bermasa pensiun lebih dari 20 tahun, dan rumah dihuni sendiri oleh yang bersangkutan, diringankan 50 persen.

Pelunasan PBB yang telah diberi keringanan mohon dilakukan melalui angsuran selama 10-12 bulan dengan memotong langsung pensiun yang bersangkutan di bank tempat pensiun tersebut mendaftar.

Soenarko
Pondok Labu, Jakarta Selatan

Yogya dan Perda tentang Pengemis

Peraturan Daerah (Perda) Daerah Istimewa Yogyakarta No 1 Tahun 2014 mengenai Penanganan Gelandangan dan Pengemis sempat menuai pro-kontra. Dengan perda itu pemerintah ingin menciptakan Yogyakarta sebagai salah satu tujuan wisata yang bebas dari gelandangan dan pengemis.

Pada perda tersebut, yang dimaksud dengan pengemis ialah orang yang mencari nafkah dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan mengharapkan belas kasihan orang lain. Pengamen masuk kategori tersebut.

Yang kontra terhadap perda itu berpendapat pemerintah memperlihatkan ketidakmanusiawian pada kaum miskin. Saya sependapat dengan langkah yang diambil pemerintah sebab sebagian besar gelandangan dan pengemis berasal dari kalangan usia yang masih produktif.

Dinas Sosial mengklaim telah menyiapkan sistem pembinaan dan rehabilitasi bagi gelandangan dan pengemis yang terjaring dalam operasi penertiban. Namun, hingga tiga tahun pemberlakuan perda itu belum tampak dampaknya secara signifikan.

Menurut saya, hal ini terjadi karena pemerintah tidak tegas dan tidak ketat menjatuhkan sanksi kepada pelanggar Perda Nomor 1 Tahun 2014.

Perlu diketahui, pelanggar dalam perda itu bukan hanya gelandangan dan pengemis, melainkan juga mereka yang memberikan sedekah (uang).

Para pemberi uang dianggap tidak mendukung program pengentasan gelandangan dan pengemis yang diemban pemerintah. Sanksi bagi pemberi sedekah adalah pidana 10 hari dengan denda Rp 1 juta.

Namun, tampaknya perda hanya sekadar perda. Hingga kini hampir di setiap lampu pengatur lalu lintas tersua pengemis—demikian pula di tempat makan—bahkan sentra-sentra wisata. Rupanya pemerintah tak memberikan sanksi terhadap pengemis atau pemberi sedekah.

Indrawati

Mahasiswa UNY, Yogyakarta

Kompas, 15 Mei 2018
Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger