Saban tahun Kementerian Keuangan menyuarakan kelambanan pemerintah daerah dalam mencairkan dana desa. Hingga 27 April 2018, Kementerian Keuangan telah mencairkan Rp 14 triliun, tetapi pemerintah daerah hanya menyalurkan Rp 3 triliun ke desa (Kompas, 30/4/2018).
Sebenarnya keterampilan pemda pada akhir penyerapan dana desa terindikasi meningkat, dari 83 persen pada 2015, 98 persen pada 2016, dan 99 persen pada 2017. Artinya, seharusnya pencairan dana desa 2018 lebih deras. Bahwa kenyataannya jauh dari perkiraan, hal itu perlu digali musababnya sedari ubahan kebijakan pusat sejak akhir 2017.
Rezim pemerintah daerah mengharuskan transfer dana desa dari APBN tercantum dulu di APBD kabupaten. Pemerintah pusat berupaya mempercepat aliran dengan mengharuskan perpindahan dana dari rekening daerah ke rekening desa selambat-lambatnya dua minggu.
Yang luput diperhatikan, rezim pemerintah menumpukkan tanggung jawab desa kepada bupati. Sejak tahun 2014 saja, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT) mendeklarasikan kemustahilan korupsi dana desa di pusat lantaran alirannya langsung mampir ke APBD.
Padahal, pencairan dari kabupaten ke desa mesti memenuhi prasyarat ciptaan pemerintah pusat, seperti peraturan bupati akan penyaluran dana desa, didasarkan indeks kesulitan geografis atau indeks kemahalan konstruksi, serta formula pencairan yang mensyaratkan data penduduk miskin dan wilayah tertinggal.
Sayang, berbagai data statistika pendukung tak kunjung dipasok dari pusat lantaran sensus desa dan warga miskin berhenti sejak 2014. Alhasil, peraturan bupati tentang dana desa yang disusun tahunan senantiasa mengandung risiko legalitas yang mudah diendus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kejaksaan, dan kepolisian.
Problem tahun ini juga dipicu kebijakan baru surat keputusan bersama Kemendagri, Kemenkeu, Kemendesa PDTT, dan Bappenas pada Desember 2017. Anggaran desa dialihkan agar didominasi kegiatan padat karya, dan 30 persen dana desa harus dikeluarkan untuk upah tenaga kerja. Muncul di pengujung tahun, konsekuensinya pada ranah teknis ialah pengulangan dua musyawarah desa untuk merevisi rencana kerja, rancangan anggaran biaya, dan APBDes. Ditambah pagu definitif dana tiap desa yang selalu terlambat, revisi Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), Rencana Anggaran dan Biaya Desa (RABDes), dan APBDes mengekang kecepatan usulan pencairan.
Kesulitan ini direspons dengan aturan pelonggaran pasca- Januari 2018. Kini pencairan tahap I tidak butuh revisi RKPDes dan APBDes, dan nilai 30 persen dana desa untuk upah terbatas pada kegiatan pembangunan (sekitar 82 persen). Kelak, jika Peraturan Mendagri Nomor 20/2018 selesai diundangkan, pengubahan APBDes juga cukup melalui peraturan kepala desa.
Kini hambatannya hanya masih jarang pemda dan pemerintah desa yang mengetahui aturan pelonggaran, dan muncul kekhawatiran aturan hanya berlaku sampai Februari karena Maret mulai tahap pencairan kedua. Kekhawatiran itu merujuk pada potensi risiko telunjuk kesalahan yang diarahkan oleh KPK, BPKP, kejaksaan, dan kepolisian.
Melebarkan leher
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/2017 mengubah batas akhir pencairan dana desa tahap I dan II hanya berselang seminggu (minggu ketiga dan keempat Juni). Regulasi itu acap ditangkap sebagai sinyal bahwa pencairan kedua tahap sejatinya serupa. Bahkan, telah terpikir bakal lambatnya pencairan tahap I sehingga menempel ke tahap II.
Merujuk periode pencairan yang panjang itu, saat ini belum dapat ditetapkan kesalahan pemda perihal hasil pencairan tahap I dan tahap II. Walaupun demikian, secara etis dan demi efisiensi dana pembangunan, dana desa di rekening daerah tetap dipercepat mengucur ke desa.
Perlu secepatnya diadakan konferensi pers untuk memperlancar informasi regulasi baru pencairan dana desa 2018. Kemendesa PDTT, Kemenkeu, dan Kemendagri perlu menyampaikan regulasi-regulasi yang saling terkoordinasi. Pernyataan bersama juga butuh dihadiri pengawas keuangan dan penegak hukum, yaitu KPK, BPKP, kejaksaan, dan kepolisian, agar konotasi regulasi yang bermakna karet terhapus dari tahap perencanaan hingga pelaporan hasil pembangunan.
Kemendesa PDTT telah mengumpulkan data registrasi seluruh 74.957 desa secara tahunan. Data mutakhir desa tertinggal, berkembang, dan maju ini seharusnya langsung digunakan guna menentukan formula pengalokasian dana desa sehingga mempercepat sekaligus menguatkan penetapan peraturan bupati tentang dana desa.
Indeks Desa Membangun juga bisa langsung digunakan Kementerian Keuangan guna menetapkan transfer dana desa 2019 mulai Juni ini. Percepatan ini memungkinkan pemerintah desa menetapkan RKPDes, RABDes dan APBDes pada tahun ini pula. Harapannya, pada 2019 penyerapan dan penggunaan dana desa melesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar