Sebulan yang lalu Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA). Peraturan itu mencabut pemberlakuan Peraturan Presiden No 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping.
Terbitnya perpres itu menimbulkan beragam tanggapan. Sejauh yang bisa dibaca di media massa elektronik, sentimen negatif mewarnai respons publik, terutama dengan nada kekhawatiran terhadap masuknya TKA yang tak terkendali dan mengancam kesempatan kerja bagi warga negara Indonesia. Perlu ditelaah secara singkat mengapa peraturan itu terbit dan menimbulkan kekhawatiran publik, agar dapat dilakukan antisipasi langkah untuk membuat perpres itu jadi produktif dan tetap melindungi tenaga kerja Indonesia.
Acuan induk Perpres No 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan TKA adalah UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 42-49 mengenai Penggunaan TKA.
Selanjutnya Perpres No 20 Tahun 2018 perlu diletakkan dalam urutan peraturan perundangan mengenai penggunaan TKA sejak Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) No 228 Tahun 2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan TKA, Peraturan Menakertrans (Permenakertrans) No 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penggunaan TKA dan Permenakertrans No 12 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penggunaan TKA, Perpres No 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan TKA serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kerja Pendamping dan Permenakertrans No 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan TKA.
Seluruh rangkaian perundangan mengenai penggunaan TKA itu pada intinya mengakui kebutuhan TKA bagi Indonesia dan menyediakan peraturan untuk menata perizinan, penempatan dan pengawasannya. Selain itu, dalam kerangka berbagai perjanjian perdagangan bebas antara lain Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN dan China (ACFTA), masuknya TKA memang tak dapat ditolak.
Tiga pembeda
Akan tetapi, ada tiga faktor pembeda utama antara semangat Perpres No 20 Tahun 2018 dan Permenakertrans No 16 Tahun 2015 dalam pemerintahan Jokowi dengan peraturan perundangan tentang TKA dalam masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dalam hal ini Perpres No 72 Tahun 2014 dan Permenakertrans No 12 Tahun 2013. Selain itu, ada situasi ketenagakerjaan dan struktur pasar kerja di Indonesia yang perlu menjadi pertimbangan yang sungguh-sungguh dalam kaitan dengan kebijakan tentang TKA.
Faktor pembeda pertama, Perpres No 20 Tahun 2018 secara eksplisit menggunakan pertimbangan peningkatan investasi, sedangkan Perpres No 72 Tahun 2014 menggunakan pertimbangan alih keterampilan dalam penggunaan TKA. Artinya, pertimbangan utama Perpres No 20 Tahun 2018 mengenai penggunaan TKA adalah untuk memfasilitas investasi asing.
Pada dasarnya, investasi asing datang selalu dalam satu paket yang berisi dana, teknologi dan tenaga kerja. Akan sangat sulit untuk menawar pada investor asing agar hanya membawa dana dan teknologi tanpa tenaga kerja. Sementara, Perpres No 72 Tahun 2014 secara implisit dan eksplisit menggunakan pertimbangan alih teknologi dan keterampilan dalam penggunaan TKA.
Faktor pembeda kedua, Perpres No 20 Tahun 2018 amat bernada praktis dan pragmatis, antara lain dengan meringkas prosedur penggunaan dan perizinan TKA, bahkan hingga mencantumkan batas hari keluarnya izin dan menyederhanakan dokumen perencanaan dan perizinan TKA.
Faktor pembeda ketiga, Perpres No 20 Tahun 2018 menyantumkan sanksi bagi pelanggar ketentuan penggunaan TKA, sebagaimana diamanatkan oleh UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal mengenai sanksi tidak ada dalam Perpres No 72 Tahun 2014.
Selain ketiga perbedaan, seluruh isi perpres baru dan lama menunjukkan kesamaan dalam hal pendidikan dan pelatihan, pelaporan dan pengawasan.
Perlindungan tenaga lokal
Lalu bagaimana dengan respons negatif sebagian publik? Tampaknya hal itu disebabkan oleh hal-hal berikut. Pertama, semangat deregulasi proses perizinan TKA menimbulkan persepsi dan interpretasi bahwa TKA bisa masuk kapan saja, dalam jumlah berapapun dan boleh bekerja apa saja termasuk untuk pekerjaan tak berketerampilan.
Kedua, munculnya berbagai laporan media maupun temuan serikat buruh mengenai TKA yang melakukan pekerjaan kasar (menjadi kuli) atau pekerjaan-pekerjaan sederhana yang selain dianggap merebut kesempatan bagi tenaga kerja Indonesia, juga mengingkari ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan serta alih keterampilan. Menakertrans pun diberitakan sudah menjumpai sendiri pelanggaran-pelanggaran penggunaan TKA di beberapa wilayah.
Ketiga, masalah pengangguran yang masih tinggi, kesempatan kerja tak memadai, terutama untuk sebagian besar angkatan kerja Indonesia yang didominasi SMP ke bawah, gelombang pemutusan hubungan kerja dan pelanggaran hak-hak buruh yang terus terjadi, menjadi latar kecurigaan dan penafsiran negatif terhadap Perpres No 20 Tahun 2018.
Bola saat ini berada di tangan pemerintah dalam hal ini Kemenakertrans untuk menyusun peraturan menteri untuk melaksanakan Perpres 20 Tahun 2018.
Agar perpres baru ini tetap mengutamakan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia, perlu dilakukan hal-hal berikut ini.
Pertama, perlu proses yang teliti dalam penyusunan peraturan pelaksanaan perpres agar hal-hal yang dicurigai, dianggap negatif dan dikhawatirkan oleh publik tak terjadi. Dalam proses itu, Kementerian Tenaga Kerja perlu melakukan konsultasi yang seimbang dengan para pemangku kepentingan yang terkait dalam hal ini serikat pekerja, asosiasi profesi dan pengusaha dalam penyusunan peraturan menteri sebagai acuan pelaksanaan Perpres No 20 Tahun 2018.
Kedua, perlu dirumuskan dengan rinci jenis-jenis pekerjaan yang bisa dan diberikan izin untuk dilakukan oleh TKA.
Ketiga, harus dibangun mekanisme pengawasan yang serius dan monitoring penggunaan tenaga kerja asing secara sungguh-sungguh. Laporan media dan temuan serikat pekerja mengenai pelanggaran penggunaan TKA tak perlu ditanggapi secara defensif, akan tetapi perlu diverifikasi karena laporan-laporan itu justru membantu tegaknya peraturan. Penerapan sanksi bagi pelanggar mutlak dilakukan.
Keempat, perlu dibuat basis data yang terus diperbarui mengenai lalu lintas dan penempatan TKA yang ditampilkan kepada publik agar dapat terus dipantau sekaligus menunjukkan sikap keterbukaan pemerintah. Penyusunan basis data dengan sendirinya akan menunjukkan bahwa pemerintahan Presiden Jokowi memang mengandalkan data dalam menyusun kebijakan-kebijakan untuk penciptaan kesempatan kerja, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar