Tuan yang Merakyat
Pada tajuk rencana Kompas, 18 April 2018, disebutkan bahwa gedung baru jadi obsesi DPR. Di akhir tulisan terdapat kutipan dari Presiden Perancis de Gaulle: "Untuk menjadi tuan, politisi harus menampilkan diri sebagai pelayan. Pelayan bagi rakyatnya".
Berdasarkan dua hal di atas, saya sebagai rakyat punya usul tentang gedung baru DPR.
Menurut jumlah komisi yang ada, dibuatkan deretan kantor-kantor satu lantai saja. Di depan deretan tersebut dibangun gedung untuk sidang paripurna, juga satu lantai. Apabila ada sidang, anggota DPR berjalan kaki menuju gedung paripurna. Gaji dan pendapatan anggota Dewan sangat tinggi, maka perlulah jalan anggota DPR itu supaya berpikir cair melayani rakyat. Jadi, tidak ada lift supaya sejajar dengan rakyat kecil/desa. Dengan demikian, anggota DPR merupakan tuan yang merakyat.
Di waktu sidang, meja bersih tidak ada dus berisi camilan. Apabila waktu sidang, anggota Dewan makan penganan kecil, ini menyakitkan rakyat. Disediakan waktu coffee break atau tea break (baca: istirahat) untuk minum dan makan penganan kecil.
Apabila hubungan antara anggota Dewan dan rakyat bisa harmonis, insya Allah negara sehat dan disegani oleh negara lain di seluruh dunia.
Titi Supratignyo
Pondok Kacang Barat, Pondok Aren,
Tangerang Selatan, Banten
Daftar Ulang Pensiunan
Beberapa hari lalu, PT Taspen mengumumkan pendaftaran ulang bagi para pensiunan. Dalam proses daftar ulang ada tahap foto, sidik jari, rekaman suara, dan lain-lain.
Kesan saya, Taspen ingin membuat sistem sendiri seperti SIM dan KTP-el. Mengapa Taspen tidak bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri saja untuk membuat foto, sidik jari, dan pelbagai identitas pribadi lainnya.
Saran saya, dalam daftar ulang, pensiunan cukup mencantumkan nomor pokok peduduk, tambahkan NIK pensiunan yang bersangkutan, NIK suami atau istri dari KTP-el saja, tidak perlu foto. Di KTP sudah ada foto wajah, iris mata, dan seterusnya. Semua data tersebut sudah ada di KTP-el.
Dengan demikian, Taspen tidak perlu mengadakan kamera, perekam sidik jari, dan suara. Jangan lupa, banyak pensiunan yang sudah uzur, sakit berkepanjangan, dan sangat susah untuk jalan ke sana-sini. Pencantuman NIK suami atau istri akan memudahkan penerima waris pensiun bagi suami atau istri yang meninggal.
NIK pensiunan yang meninggal cukup dihapus saja dari kartu pensiunan yang baru nanti, sementara NIK penerima pensiun akan tetap ada dan berlaku.
Saya membayangkan betapa ribet mengadakan dan mengoperasikan alat yang baru dan diperlukan bagi kantor mitra pembayaran. Saya juga membayangkan betapa besar biaya untuk pengadaan alat yang diperlukan.
Sebetulnya biaya pengadaan alat ini akan lebih berguna apabila dipakai untuk penambahan uang pensiun bagi mereka yang tunjangan pensiunnya di bawah UMP/UMR. Betapa banyak para pensiunan yang harus tinggal sendiri tanpa anak dan keluarganya, uang pensiun di bawah UMP/UMR sangat menyusahkan golongan pensiunan ini.
Tirulah STNK yang bisa diproses di mana pun asal bisa menunjukkan KTP-el. Begitu pula saya usulkan untuk daftar ulang pensiunan.
Atur agar daftar ulang bisa dilakukan di Taspen dan mitra terkait di mana pun di Indonesia berdasarkan KTP-el dan buku tabungan.
Kalau ada peraturan yang kuno, tidak kreatif, serta menghambat, segeralah direvisi. Masak, taspen kalah sama Grab yang aplikatif di seluruh Indonesia?
Saya tak paham mengapa banyak instansi membuat berkas yang sama? Padahal. data tersebut sudah ada di KTP-el.
Pembuatan SKCK, misalnya, meminta sidik jari sendiri. Mengapa tak diambil dari KTP-el saja?
Warman
Kelapa Gading,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar