KOMPAS/RYAN RINALDI

Guru sedang mengajarkan dasar-dasar bahasa Jerman kepada sejumlah siswa penerima beasiswa kursus bahasa asing di Gedung Ir HM Suseno, Jakarta Pusat, Sabtu (26/3/2018). Dari lima bahasa yang ditawarkan, bahasa Jerman paling diminati. Bahasa itu dipilih oleh 60 persen pendaftar.

Bruno, anak berbangsa Jerman dalam film The Boy in the Striped Pajamas (Mark Herman, 2008), suatu ketika harus pindah rumah karena ayahnya dipindahtugaskan bekerja. Rumah baru mereka jauh dari keramaian. Bruno tak punya teman, sekolah juga tak ada di dekat rumahnya.

Seorang guru tua bersepeda engkol datang ke rumahnya, suka mengajarinya sejarah. Sejarah kehebatan bangsa Jerman, juga sejarah bangsa Yahudi yang menjadi musuh bebuyutan. Tak jauh dari rumah Bruno ada kamp konsentrasi untuk orang Yahudi.

Suatu ketika, Bruno nekat melanggar perintah orangtuanya agar tak melewati batas-batas tertentu di rumah mereka. Ia bertemu Shmuel, anak Yahudi berkepala botak, mengenakan piama bergaris-garis, dan bergigi ompong. Shmuel suka makan. Ia tiap hari harus bekerja keras bersama para tawanan di kamp konsentrasi. Bruno mengunjungi sahabat barunya itu sambil membawakan berbagai makanan.

Tali persahabatan pun terjalin di antara mereka walaupun dibatasi terali kawat yang tinggi. Mereka tak bisa berangkulan atau berkejar-kejaran. Kamp konsentrasi tempat Shmuel tinggal dijaga ketat. Ada anak yang kedapatan bermain, nyawa mereka di ujung tanduk. Mereka berdua pun hanya bisa bermain catur.

Kisah Bruno dan Shmuel mengajak penonton merenung, bahwa anak-anak tak semestinya diajari membenci. Saat perang berkecamuk, dan kondisi dunia tampak serba muram, ada anak-anak yang ingin tersenyum dan mencari sahabat.

Perang sebagai akibat dari perebutan kekuasaan dan tindakan balas dendam ternyata tak melulu melahirkan kisah-kisah bermuatan kebencian, tetapi juga sarat dengan pesan kasih dan perdamaian. Anak-anak terlahir untuk menikmati hidup dan kehadiran orang lain, bukan disuapi kebencian oleh orangtua, guru, atau teman-teman mereka.

Karena perbedaan pandangan dalam berpolitik, atau sosok pemimpin yang dianggap paling ideal, tak jarang kita menyaksikan perdebatan sengit. Di media-media sosial hingga acara bincang-bincang di televisi, publik dan para pengamat tampaknya tak pernah bosan beradu pendapat dan pandangan. Di rumah, saat bersama anak-anak, orangtua pun dapat memengaruhi anak-anak yang ikut menyaksikan tayangan politis yang menyulut kebencian atau mengumbar permusuhan.

Memang, pada satu sisi minat publik terhadap situasi politik dapat jadi indikasi adanya kepedulian dan keinginan untuk mendapatkan pemimpin paling ideal. Namun, di sisi lain, ketika suhu perdebatan terlalu tinggi dan tak terkendali, dan karena itu malah melahirkan fitnah serta caci maki, keutuhan berbangsa dan bernegara malah bisa menjadi taruhannya. Di titik inilah kita perlu mengingat pesan Bung Karno, bahwa tugas generasi kita dalam berjuang akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.

Dididik untuk berdamai

Dalam situasi seperti ini, para guru perlu tampil sebagai sosok mediator. Guru dalam film The Boy in the Striped Pajamas tak berhasil menanamkan rasa permusuhan pada diri Bruno. Kerinduan Bruno mendapatkan teman bermain dan persahabatan menguasai jiwanya terpenuhi dengan kehadiran Shmuel.

Namun, bagaimana dengan anak-anak lain pada umumnya yang kita temui masa kini—yang tak kesepian, yang memiliki teman berlimpah-limpah dalam kesehariannya? Tentu akan lain ceritanya. Kebencian dan permusuhan dapat menguasai jiwa anak-anak ketika guru dan orangtua menularkan semangat yang sama.

Dalam film tentang Bruno dan Shmuel, pada suatu adegan, ada asap mengepul dari sebuah gedung tinggi di kamp konsentrasi di dekat rumah Bruno. Ia melihat asap itu, benaknya terusik berhari-hari. Bau asap itu menyesakkan Bruno, juga menyisakan memori yang kelam dan penuh tanda tanya: ke mana sahabatnya pergi?

Elie Wiesel, seorang penyintas—survivor holocaust—dan peraih Hadiah Nobel, dalam wawancara dengan Bill Moyers pada 1991 menyampaikan kesedihannya: "Orang yang pada mulanya adalah seorang manusia menjadi tawanan, dan tawanan itu menjadi nomor, dan nomor itu menjadi abu."

Begitulah, perang membuat manusia tega menjadikan manusia lain sebagai abu dan asap. Belas kasih dan kemanusiaan sirna, yang tersisa hanyalah hasrat untuk meraih kejayaan dan kekuasaan.

Untuk mencegah kebencian—yang kemudian dapat berbuntut menjadi perang—guru dan orangtua berperan besar. Ketika situasi bangsa memanas, guru perlu tampil menyejukkan, memberikan pengajaran yang tidak mewakili kepentingan politik, tetapi kemanusiaan.

Apabila guru berfokus pada tugas kemanusiaan yang diembannya, kecerdasan siswa akan jadi perhatian utamanya, termasuk kecerdasan siswa dalam menjalin relasi sosial dengan teman-temannya dari berbagai latar belakang. Di rumah, dalam obrolan dan pergaulan sehari- hari, orangtua pun perlu menanamkan pemikiran bahwa perbedaan adalah rahmat dari Tuhan, bukan biang permusuhan.

Mendidik siswa untuk menghindari permusuhan dan kebencian barangkali adalah tugas terpenting guru dan orangtua di masa kini, selain mengajarkan pengetahuan dan keterampilan sesuai bidang yang dikuasainya. Ini pun bukan hanya tugas yang berhubungan dengan situasi politik semata, melainkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Mungkin kita masih ingat, beberapa tahun belakangan, kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan tak sedikit. Ada siswa yang membunuh teman seasramanya, berduel sampai tewas, bahkan siswa yang membunuh gurunya. Dengan demikian, guru dan orangtua pun sudah waktunya mengajarkan semangat perdamaian dan kesetiakawanan.