KOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Suasana upacara persemayaman Iptu Luar Biasa Anumerta Yudi Rospuji Siswanto di rumah kedua orangtuanya, Desa Penggarutan, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten, Brebes Jawa Tengah, Kamis (10/5/2018). Iptu Yudi merupakan salah satu anggota Polri korban aksi penyerangan narapidana terorisme di Rumah tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5/2018).

Dalam beberapa hari terakhir, Indonesia kembali dikejutkan dengan isu keamanan nasional. Pada 8 Mei 2018, telah terjadi insiden di Rumah Tahanan Cabang Salemba di Markas Komando Brigade Mobil (Rutan Mako Brimob) yang berakhir dengan tewasnya satu personel Polda Metro Jaya dan empat anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri. Awal mulanya dipicu oleh permasalahan sepele yang kemudian berujung dengan perampasan senjata dan penyerangan oleh para narapidana teroris terhadap personel Polri yang berada di rutan tersebut.

Hanya berselang beberapa hari, Minggu (13/5/2018), Indonesia kembali dikejutkan oleh ulah teroris yang meledakkan bom di sejumlah gereja di Surabaya, menyebabkan 13 warga meninggal dan 43 orang luka-luka. Keesokan harinya, Senin (14/5), ledakan bom kembali terjadi. Kali ini di Markas Kepolisian Kota Surabaya, mengakibatkan sejumlah korban luka-luka.

Preseden buruk

Insiden di Mako Brimob tersebut tentunya sangat menyedihkan, apalagi memakan korban jiwa di pihak aparat keamanan dari Densus 88 yang merupakan satuan elite Polri yang selama ini cukup dikenal dalam menanggulangi masalah terorisme. Di samping itu, dengan terjadinya insiden di lokasi yang berada dalam lingkungan Mako Brimob, sebuah satuan elite Polri lainnya, juga mengundang tanda tanya besar, mengingat di lokasi yang sama terdapat juga satuan Gegana dan Pelopor yang berada di bawah Korps Brimob. Kedua satuan ini memiliki kualifikasi serupa dengan Special Weapons and Tactics (SWAT) yang ada di Amerika Serikat.

Di samping kelima korban tersebut, para napi teroris yang berhasil menguasai tiga blok rutan juga menyandera seorang personel Densus. Namun, setelah Polri melakukan negosiasi selama dua hari, akhirnya sandera tersebut dilepaskan.

Insiden ini mendapatkan perhatian berkaitan dengan keamanan nasional. Apalagi pascainsiden tersebut sejumlah napi yang ditahan di Polda Metro Jaya mengumandangkan takbir yang sempat menimbulkan kegaduhan setelah mereka mendengar kejadian itu. Mengantisipasi hal ini, Polda Metro pun memperketat penjagaan.

Kondisi ini tentunya perlu diatensi bersama oleh seluruh pihak. Penyerangan oleh napi teroris terhadap personel Densus 88, yang dilakukan di Rutan Salemba Cabang Mako Brimob dapat berpotensi jadi sebuah preseden buruk dalam upaya penanggulangan terorisme yang dilakukan pemerintah. Baik Densus 88 maupun Brimob merupakan satuan elite Polri yang selama ini berkiprah dalam menanggulangi tindakan terorisme di Tanah Air. Bahkan, dengan media sosial, aksi para napi teroris ini dapat menginspirasi aksi lanjutan serupa di rutan lainnya yang juga menahan sejumlah napi teroris.

Belum lagi proses penyelesaian insiden itu sendiri yang memakan waktu cukup lama. Ketika terjadi peristiwa awal perebutan senjata dan penyerangan personel Densus oleh para napi teroris di Kelapa Dua, Kapolri sedang melaksanakan tugas kunjungan ke Jordania dalam rangka menghadiri Pameran Industri Strategis serta Pertahanan dan Keamanan (Special Operations Forces Exhibition and Conference/SOFEX) yang berlangsung sejak 7 Mei 2018. Sangat disayangkan ketika orang nomor satu Polri masih berada di luar negeri, prosedur menanggapi insiden aksi jejaring terorisme terkesan lambat, terlepas pendekatan persuasif yang dikedepankan oleh Polri selaku aparat penegakan hukum. Kecepatan merespons dalam menghadapi aksi ini berpengaruh terhadap citra Indonesia di mata internasional, mengingat Densus 88 cukup dikenal atas kiprahnya dalam mengungkap jejaring teroris di Tanah Air.

Sebuah insiden kerusuhan serupa pernah terjadi di penjara Peterhead, Inggris, pada 1987. Kala itu napi menusuk salah seorang sipir bernama Bill Florence, kemudian menyanderanya bersama seorang sipir lainnya. Mereka menduduki salah satu blok selama beberapa hari. Menanggapi kerusuhan tersebut, Pemerintah Inggris menurunkan pasukan khusus Angkatan Daratnya, Special Air Service (SAS), yang dengan cepat berhasil menyelamatkan sandera serta mengendalikan situasi, sebelum diserahterimakan kembali kepada pihak penjara. SAS memang terkenal dengan kiprahnya menangani aksi terorisme, termasuk pembebasan sandera di Kedutaan Besar Iran di London pada tahun 1980.

Sinergi Polri-TNI

Berkaitan dengan penanggulangan terorisme, banyak negara yang telah menerapkan hybrid model di mana crime justice model yang mengedepankan aparat penegak hukum dipadukan dengan "model perang" yang melibatkan militer dalam penanggulangan terorisme.

Saat ini sedang berlangsung proses revisi UU No 15/2003 yang berkaitan tentang terorisme. Tentunya peristiwa di Mako Brimob menjadi sebuah urgensi untuk segera menuntaskannya sehingga dapat mengantisipasi agar tidak terulangnya peristiwa serupa yang menimbulkan korban di pihak aparat keamanan. Apalagi insiden ini terkait dengan dua satuan elite kepolisian yang notabene memiliki kemampuan khusus dan lebih dibandingkan satuan-satuan Polri lainnya.

Selain itu, terlepas dari gugurnya para personel terbaik Polri, perlu dilakukan evaluasi internal terhadap sistem dan prosedur yang ada, mengingat Rutan Cabang Salemba Mako Brimob memiliki sistem keamanan tertinggi. Belum lagi rantai komando dalam merespons insiden ketika pimpinan sedang melakukan tugas ke luar negeri sehingga penanganan tetap dapat dilakukan dengan cepat dan tepat memanfaatkan teknologi modern. Semoga penanggulangan terorisme di Tanah Air dapat ditata kembali di mana sinergi TNI-Polri dalam penanganannya menjadi prioritas tersendiri guna meminimalisasi korban di pihak aparat keamanan.