Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 Mei 2018

Rehabilitasi Adiksi//Disiplin dan Tanggung Jawab (Surat Pembaca Kompas)


Rehabilitasi Adiksi

Dalam laporan akhir tahun 2017, Badan Narkotika Nasional bersama aparat terkait menguak 46.537 kasus narkotika dengan 58.365 tersangka. Dari jumlah itu, hanya 18.311 penyalah guna yang direhabilitasi.

Angka-angka tersebut masih jauh dari keinginan Presiden Jokowi agar 100.000 pencandu direhabilitasi setiap tahun (Kompas, 17/5/2015). Ada beberapa kendala.

Pertama, masih tumpang tindihnya kewenangan instansi pemerintah dalam program rehabilitasi. UU Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 menyebutkan pencandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi di tempat-tempat yang ditunjuk negara.

Menurut UU, tugas BNN meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi di bawah pengawasan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial. Namun, slogan "Darurat Narkoba" kurang bergema karena hanya ditangani lembaga setingkat subdirektorat dan direktorat.

Minimnya koordinasi di antara ketiga instansi terkuak dalam kajian Ombudsman Republik Indonesia, 2017. Faktor biaya tinggi (seharusnya gratis), rentan diskriminasi layanan, serta acuan data yang berbeda-beda membuat prospek rehabilitasi semakin suram.

Kajian Ombudsman juga menguak tiadanya standar baku rehabilitasi pencandu nasional. Akibatnya, alur anggaran pemerintah bagi program rehabilitasi tak jelas, layanan pada aras pasca-rehabilitasi terputus, serta minimnya evaluasi mutu layanan yang telah diberikan.

Mungkin itu sebabnya rehabilitasi pencandu kurang bergaung di khalayak. Menurut survei BNN pada Kelompok Rumah Tangga di 20 provinsi tahun 2015, hanya 5 persen masyarakat yang pernah mendengar istilah Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL). Padahal IPWL merupakan ujung tombak pengobatan.

Kesediaan berkoordinasi serta melenyapkan ego sektoral antarinstansi menjadi kunci solusi permasalahan ini. Penataan ulang komponen terkait, seperti yang ditekankan Ombudsman, mesti dikedepankan. Ombudsman merekomendasikan BNN untuk mengelola IPWL, sedangkan Kemensos dan Kemenkes menetapkan standar pelayanan rehabilitasi dan pasca-rehabilitasi. Informasi rehabilitasi menyeluruh meningkatkan akses masyarakat.

Muhammad Hatta
Alumnus University of Illinois at Chicago, AS; Dokter BNN

Disiplin dan Tanggung Jawab

Ambruknya Jembatan "Callender Hamilton" Babat-Widang di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Selasa, 17 April 2018, diberitakan karena tidak mampu menahan beban saat tiga truk melintas bersamaan.

Sungguh peristiwa yang membuat hati menangis. Begitu parahkah disiplin dan rasa tanggung jawab orang Indonesia?

Semua itu, lalu memicu pertanyaan-pertanyaan lanjutan. Apakah ketiga pengemudi truk tidak paham berat muatan truknya atau tidak mengerti kemampuan jembatan yang hanya maksimum 75 ton?

Apakah petugas kepolisian dan juga aparat yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan jalan raya dan jembatan memang membiarkan truk dengan muatan melebihi kapasitas jembatan melintas tanpa melalui pemeriksaan?

Apakah perusahaan pemilik usaha tidak memiliki SOP yang melarang armada truknya membawa muatan melebihi kapasitas yang diizinkan?

Apakah sudah terpasang rambu-rambu yang menunjukkan kapasitas beban yang diizinkan dan larangan mendahului/beriringan ketika berada di badan jembatan?

Apakah Dinas Pekerjaan Umum yang bertanggung jawab memelihara jembatan sudah melakukan pekerjaannya dengan benar?

Sudah saatnya bagi bangsa kita mengubah mentalitas menjadi disiplin, jujur, dan memiliki rasa tanggung jawab melalui pendidikan di bangku sekolah dan pelbagai pelatihan agar kejadian semacam ini tidak terulang lagi.

FX Wibisono
Pemerhati Transportasi

Publik, Jalan Kumudasmoro Utara, Semarang 50148

Kompas, 16 Mei 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger