Alarm ini tidak bisa diabaikan. Elite politik tidak bisa lagi berkilah bahwa peristiwa semacam ini adalah dinamika demokrasi. Biaya sosial terlalu tinggi untuk dipertaruhkan. Praktik politik yang menyuburkan permusuhan dan kebencian merupakan ancaman serius terhadap kohesi sosial. Sampai tingkat tertentu, ini bukan sekadar ancaman: ini sudah terjadi di depan mata.

Disadari atau tidak, insiden Car Free Day merupakan imbas langsung dari praktik politik yang kian mengeras. Pemerintah, partai politik dan ormas terlambat mengantisipasi kecenderungan ini. Akibatnya, ketika kelompok masyarakat yang fanatik secara politik bertemu kelompok lain yang berbeda, mereka seolah-olah digerakkan oleh tenaga tak terlihat untuk melakukan eksklusi, intimidasi, agresi.

Radikalisasi politik

Peristiwa intimidasi di arena Car Free Day buah dari radikalisasi politik yang berlangsung sejak Pilpres 2014. Proses kontestasi politik terjadi begitu keras tidak hanya di lingkaran elite politik tetapi juga di akar rumput. Berbagai isu sensitif bermunculan mengiringi Pilpres 2014. Ini berdampak langsung ke masyarakat. Kohesi sosial yang sebelumnya sudah mulai rentan tidak mampu menopang limbah politik yang begitu parah.

Keadaan semakin meruncing ketika Pilkada DKI 2017 dipenuhi isu SARA. Radikalisasi kian menguat di tingkat akar rumput. Politik kebencian, permusuhan dan adu domba menjadi faktor yang semakin memperkuat radikalisasi politik. Akibatnya, akal sehat tidak lagi berfungsi dan bahkan digantikan oleh nalar kolektif yang sangat stigmatik.

Situasi ini semakin mengeras oleh beredarnya banyak ujaran kebencian, permusuhan dan hoaks di media sosial. . Ketahanan sosial menjadi sangat rapuh. Dan, ketika ketahanan sosial mencapai titik nadir, yang menjadi korban lagi-lagi adalah masyarakat.

Praktik politik tidak bisa dibiarkan berjalan tanpa tanggung jawab untuk membangun ketahanan sosial. Tanggung jawab ini terutama harus dipikul oleh partai politik sebagai pihak yang terlibat langsung dalam kontestasi kekuasaan.

Persaingan politik bisa saja penuh ketegangan, memanas dan bahkan mengeras, tetapi parpol harus bisa mengontrol komunitas pendukungnya untuk memastikan proses politik tidak berujung pada teror sosial di tingkat akar rumput.

Membangun ketahanan sosial bukan sekadar tanggung jawab moral bagi parpol, tetapi keharusan yang tidak bisa ditolak. Tanggung jawab partai dalam membangun ketahanan sosial setidaknya bisa dilakukan melalui tiga hal. Pertama, membangun paradigma yang sama mengenai pentingnya ketahanan sosial  bagi jajaran pengurus hingga tingkat paling bawah.

Kedua, menginstruksikan kepada seluruh jajaran pengurus untuk melakukan edukasi kepada konstituennya agar berkontribusi dalam membangun kohesi sosial. Ketiga, membangun mekanisme intern yang menjamin bahwa ketahanan sosial betul-betul dijalankan.

Sebagai pihak yang paling diuntungkan dari perebutan kekuasan, termasuk melalui persaingan politik yang tidak sehat, tentu tanggung jawab ini tidak bisa diserahkan secara taken for granted kepada parpol. Rasanya mustahil parpol akan menjalankan tiga hal di atas secara sukarela.

KOMPAS/ALIF ICHWAN

A number of activists of the Anti-Defamation Society of Indonesian (Mafindo) carry pamphlets to remind the public about fake news or hoaxes along a pedestrian area during a car-free day in Jakarta, Sunday (12/2). Coming into the regional elections cooling-off period, it is hoped that the people are not provoked by fake news or hoaxes.

Karena itu, parpol harus didorong dan diawasi terus-menerus untuk memastikan bahwa tanggung jawab ini betul-betul dilaksanakan. Sudah cukup masyarakat akar rumput menanggung dosa sosial akibat praktik politik yang mengeras dari para elitenya.

Kohesi sosial terlalu berharga untuk dikorbankan demi perebutan kekuasaan yang hanya dinikmati oleh para petinggi politik.

Karena itu, harus ada pihak yang bisa melakukan edukasi kepada parpol bahwa ketahanan sosial adalah investasi jangka panjang bagi mereka. Dalam konteks ini, KPU dan Bawaslu bisa berperan. Tanpa ada ketahanan sosial, proses-proses politik akan terus-menerus diganggu oleh ketegangan sosial yang berdampak langsung pada stabilitas politik.

Komunitas organik

Di sinilah pentingnya peran ormas, lembaga sosial masyarakat (LSM), dan organisasi kemasyarakatan dalam kehidupan politik. Secara vertikal mereka diharapkan mendorong pemerintah, parpol dan lembaga penyelenggara pemilu agar mengeluarkan kebijakan yang mendukung ketahanan sosial.

Secara horizontal, LSM dan ormas diharapkan berperan mengawal implementasi kebijakan mengenai ketahanan sosial. Sementara ke bawah, mereka turut mengedukasi masyarakat bahwa ketahanan sosial adalah kebutuhan dasar bagi kehidupan bersama.

Ketahanan sosial adalah tanggung jawab bersama.  Namun, ada beberapa pihak yang memikul tanggung jawab lebih besar. Sebagai pihak yang memiliki sumber daya paling lengkap, pemerintah tentu harus memikul tanggung jawab paling besar. Di level paling atas, isu ketahanan sosial harus jadi salah satu prioritas bagi pemerintah. Karena itu, ketahanan sosial tidak bisa hanya dibebankan kepada Kementerian Sosial. Ketahanan sosial harus jadi isu bersama. Jika tidak, maka isu ini hanya menjadi isu pinggiran dan ketahanan sosial berubah menjadi kerentanan sosial.

Di level paling bawah, instrumen RT/RW bisa jadi basis penguatan ketahanan sosial. Karena itu, di samping dibekali pemahaman mengenai ketahanan sosial dalam berbagai aspeknya, RT/RW perlu direvitalisasi sedemikian rupa sehingga lebih menyerupai komunitas organik ketimbang komunitas teritorial.

Sebagai perpanjangan birokrasi desa/kelurahan, pola relasi pengurus RT/RW dengan masyarakat cenderung formal dan impersonal. Masyarakat berhubungan dengan pengurus RT/RW hanya ketika ada kepentingan; demikian juga sebaliknya. Sehingga hubungan antara warga dengan RT/RW lebih bersifat birokratis-administratif. Ini membawa efek serius terhadap hubungan antar-warga di kawasan RT/RW tersebut di mana kerukunan bertetangga lebih bersifat artifisial ketimbang substansial. Ini terasa sekali terutama di kawasan perkotaan.

Namun demikian, bukan berarti di kawasan pedesaan tak ada ancaman sama sekali terhadap ketahanan sosial. Suhu politik yang memanas dan praktik politik yang mengeras tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga di desa, meski dengan intensitas yang berbeda. Media sosial yang sering menjadi ajang penyebaran ujaran kebencian dan permusuhan juga mulai merangsek hingga ke pelosok desa terpencil. Karena itu, ketahanan sosial di kawasan pedesaan pun tidak bisa diabaikan.

Penguatan ketahanan sosial tentu bukan hanya difokuskan untuk membendung limbah politik. Ada banyak manfaat yang bisa lahir dari sana. Ketahanan sosial bisa berfungsi ganda; di satu sisi menjadi "mesin deteksi dini" terhadap berbagai macam ancaman sosial; di sisi lain dapat jadi benteng pertahanan sehingga masyarakat punya mekanisme alamiah untuk membendung ancaman tanpa menimbulkan kegaduhan sosial.