KOMPAS/ALIF ICHWAN

Petugas Brimob bersiaga di sekitar kawasan Mako Brimob Kelapa Dua pascabentrok antara petugas dengan tahanan di Depok, Jawa Barat, Rabu (9/5). Kepolisian meningkatkan pengamanan dengan menutup akses jalan di depan Markas Korps Brimob sehingga tidak dapat dilalui kendraan dan mengalihkannya ke jalur alternatif.

Penyanderaan anggota Polri di Rutan Cabang Salemba, Markas Komando Brimob, oleh narapidana teroris merupakan duka mendalam untuk Polri dan bangsa ini.

Lima anggota Polri gugur dibunuh oleh para narapidana (napi) teroris. Mereka mengalami luka akibat senjata tajam di sejumlah bagian tubuh dan juga luka akibat tembakan jarak dekat. Kita berdukacita atas kepergian anggota Polri dan kita berdoa keluarga mereka sabar menerima musibah ini.

Hampir selama 36 jam informasi soal penyanderaan itu simpang siur. Sementara di media sosial justru bermunculan berbagai versi peristiwa yang tidak bisa diklarifikasi kebenarannya. Menjadi pertanyaan publik bagaimana otoritas komunikasi kita sepertinya membiarkan berbagai versi cerita itu berkembang liar.

Menurut penjelasan resmi Mabes Polri, keributan berbuntut penyanderaan yang mengakibatkan lima anggota Polri gugur dan satu napi teroris tewas diawali urusan soal kiriman makanan untuk napi teroris pada Selasa, 8 Mei 2018, malam. Masalah itu tak kunjung terselesaikan sampai akhirnya terjadi penyanderaan yang baru bisa diselesaikan 36 jam kemudian.

Drama 36 jam itu seakan menjadi panggung bagi para napi teroris menunjukkan eksistensi diri mereka di rutan yang berada di Mako Brimob yang sebenarnya merupakan bagian dari Rutan Salemba itu. Pendekatan lunak, seperti negosiasi dengan napi teroris, juga menjadi pertanyaan, kendati konteks permasalahan adalah mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi.

Apa pun yang terjadi, kita memberikan apresiasi kepada aparat kepolisian yang bisa memaksa para napi teroris menyerah dan dipindahkan ke LP Nusakambangan. Negara tidak boleh kalah oleh teroris. Meski demikian, tetap harus ada penegakan hukum terhadap siapa pun yang mengakibatkan lima anggota Polri gugur.

Audit yang sama perlu dilakukan terhadap pelaksanaan pemidanaan di Rutan Cabang Salemba Mako Brimob. Apa yang sebenarnya terjadi? Overkapasitas?  Mengapa telepon genggam bisa di tangan dan bahkan dikendalikan para napi, mengapa napi sampai bisa menguasai senjata tajam? Pertanyaan publik itu harus dijelaskan secara transparan agar publik mendapat kan informasi yang terverifikasi.

Penyanderaan berbuntut pembunuhan terhadap anggota Polri oleh napi teroris menggugat kita semua soal efektivitas  program deradikalisasi. Apakah mengumpulkan semua napi teroris dalam satu blok cukup tepat? Bukankah itu akan menjadikan mereka kian kuat, apalagi jika lingkungan tempat penahanan lemah dalam pengawasan dan mereka tetap bisa berkomunikasi untuk menyebarkan paham radikal?

Kejadian di Mako Brimob menyadarkan kita semua bahwa terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi eksistensi negara bangsa Indonesia. Sementara payung hukum pembahasan revisi UU Terorisme masih saja menjadi perdebatan elite di parlemen dan entah kapan akan selesai.