Makna Merdeka
Indonesia adalah negara merdeka. Bangsa Indonesia bangsa merdeka. Maka, setiap warga negara Indonesia—lelaki-perempuan, tua-muda, kaya-miskin, berpendidikan-tak berpendidikan, ikut partai-independen—adalah manusia merdeka. Merdeka itu hak, dijamin UUD.
Ironisnya, banyak pihak melontarkan kecaman kepada pemimpin negara dan sesama warga—termasuk hujatan dan ujaran kebencian—atas dalih kemerdekaan berbicara. Di Indonesia kini orang bebas berbuat dan bicara apa saja: santun-kasar, positif-negatif, masuk akal-tak masuk akal, bermoral-tak bermoral, berdasar-tidak berdasar, faktual-hoaks. Atas nama merdeka.
Peristiwa seorang ibu dengan anaknya yang ingin menikmati Hari Tanpa Mobil di Ibu Kota, tetapi diusik sekelompok orang bertubuh kekar yang ingin ganti presiden, menunjukkan secara telanjang bahwa kemerdekaan itu dianggap hanya milik segelintir orang, mereka yang justru mengabaikan kemerdekaan orang lain, yang tak mampu menghargai dan menghormati hak kemerdekaan orang lain.
Hasil studi (2018) seorang psikolog sosial UI tentang perilaku bullying menunjukkan bahwa perilaku ini "gandeng" dengan kehampaan empati, tipisnya kepedulian sosial, sengaja dirancang dan dilakukan untuk memenuhi hasrat kuasa seseorang terhadap orang lain—bentuk kekerasan yang dilakukan dengan sukacita, bersemangat, dan dengan sengaja dipertontonkan secara terbuka.
Bayangkan apa yang akan terjadi jika hal ini di Indonesia dibiarkan terus! Orang bebas merdeka merundung sesamanya di depan publik. Di satu sisi akan kian banyak sesama anak bangsa yang jadi korban; di sisi lain akan kian banyak orang yang berpotensi jadi sosiopat yang berkeliaran di dalam masyarakat.
Harus ada tindakan jelas dan nyata. Jangan sampai usikan yang dipertontonkan dan dialami ibu dan anak di atas jadi semacam teror psikologis—sengaja dilakukan untuk menghancurkan bangsa ini dari dalam dengan menumbuhkan bingung, gundah, kacau pikir, rasa tak nyaman juga tidak aman, dan pada akhirnya ketakutan.
Kalau itu yang memang diniatkan, jawabannya hanya satu: LAWAN!
Zainoel B Biran Warga RI yang Prihatin
Tersiksa Mengurus KTP Elektronik
Setelah mengurus surat pengantar RT/RW di Kelurahan Kebalen, pada 14 Mei 2018 saya mengantar putri saya, Christine, ke Kantor Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, untuk perekaman data KTP-el karena usianya pada 6 Mei 2018 sudah 17 tahun. Sekitar pukul 08.30 saya tiba di sana. Rupanya puluhan orang telah antre sejak subuh.
Semua berkas pemohon diletakkan di atas meja operator. Pemohon dengan sabar menunggu panggilan untuk perekaman data dirinya dan pemotretan meski berada di ruang sempit, panas, pengap. Di sana ada AC, tetapi dipadamkan. Untuk menyiksakah?
Sekitar pukul 10 operator mengumumkan "jaringan mati" sehingga perekaman data tak dapat dilakukan. Hingga saat itu perekaman data baru untuk beberapa orang saja.
Berkas pemohon lain, termasuk berkas putri saya, dikembalikan. Beberapa pemohon terlihat kesal dan emosional. Salah satu pemohon mengatakan bahwa dua putrinya akan dikeluarkan dari tempat bekerja di kawasan Pulogadung, Jakarta Timur, jika belum memiliki KTP elektronik.
Sebelum pulang ke rumah, saya dapat informasi dari pemohon lain bahwa mereka telah bolak-balik ke kantor kecamatan untuk perekaman data, tetapi belum dapat giliran.
Ada warga yang mengaku sudah tiga bulan menunggu. Diperkirakan jumlah warga pemohon KTP-el setiap hari berkisar 50-100 orang. Pada hari tertentu bisa lebih, tapi mereka hanya dilayani satu operator.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar