Peristiwa politik mengejutkan terjadi di Malaysia. Setelah lebih dari enam dekade berkuasa, koalisi pendukung pemerintah kalah dalam Pemilu 2018. Itu artinya Malaysia kini tak lagi diperintah UMNO dan koalisinya di Barisan Nasional (BN). Yang mengalahkan koalisi Pakatan Harapan (PH), kekuatan oposisi yang digerakkan oleh Mahathir Mohamad.

Segeralah pembicaraan muncul di mana-mana. Ini terkait kenyataan bahwa Mahathir telah berusia 92 tahun. Politisi senior ini legendaris karena pernah melejitkan UMNO dan BN, juga lantas berkuasa sebagai perdana menteri selama 22 tahun (1981-2003). Kendati memdapat kritikan keras ketika berkuasa, dia juga diingat sebagai orang kuat. Sempat dijuluki Sukarno Kecil (Little Sukarno), tak terelakkan Mahathir secara demonstratif mampu menunjukkan kemajuan ekonomi negaranya.

AFP PHOTO / MANAN VATSYAYANA

Mantan PM Malaysia  Mahathir Mohamad merayakan kemenangannya di pemilu ke-14 Malaysia. AFP PHOTO / Manan VATSYAYANA

 

Tetapi, sebagai aktor politik, dia juga kontroversial. Misalnya dalam hubungannya dengan kader politiknya, Anwar Ibrahim. Anwar sempat sangat moncer karier politiknya semasa Mahathir berkuasa. Bahkan, dia disebut-sebut disiapkan menggantikan Mahathir sebagai perdana menteri. Kenyataannya justru Anwar dipenjarakan dengan tuduhan sangat mengejutkan, sodomi. Kendati Anwar menolak tuduhan itu, pengadilan telah menetapkan vonis hukuman penjara. Anwar pun menjalaninya.

Untuk kepentingan mengalahkan Najib Razak, perdana menteri berkuasa, Mahathir dan Anwar berkongsi. Ikhtiar politik mereka berhasil ketika PH memenangi pemilu ke-14 Malaysia. PH mendapat 114 kursi di parlemen. Komposisinya, 113 kursi diraih partai-partai politik yang tergabung dalam PH, satu suara dari perseorangan. PH merupakan koalisi Partai keadilan Rakyat, Amanah, Partai Aksi Demokrasi (DAP), dan Partai Pribumi Bersatu Malaysia (PPBM). Sementara BN hanya memperoleh 79 dari total 222 kursi. Padahal, untuk dapat membentuk pemerintahan, minimal kursi yang harus diraih sebanyak 112.
Dalam konferensi pers usai kemenangannya, Mahathir menjanjikan pencarian pengampunan penuh Anwar Ibrahim setelah dibebaskan pada Juni 2018. Untuk menjadi perdana menteri, Anwar harus menjadi anggota parlemen. Sementara menunggu masuk parlemen, istrinya, Wan Azisah, ditunjuk sebagai wakil perdana menteri.

Drama antar-aktor

Yang dapat dicatat sebagai pelajaran, betapa fenomena politik Malaysia dan drama antaraktornya menegaskan aksioma tak ada lawan dan kawan abadi dalam politik kecuali kepentingan. Inilah keunikan politik. Percekcokan masa lalu terhapus persekutuan politik. Dalam kasus Malaysia, Najib Razak yang telah lama jadi "musuh bersama" perlu dikeroyok agar jatuh dari tampuk kekuasaannya melalui jalur demokrasi elektoral.

Maka, koalisi politik baru yang lebih kuat dimunculkan. Puncaknya, persekutuan unik Mahathir-Anwar yang dilembagakan ke koalisi PH. Itu dimungkinkan karena diakomodasi oleh aturan main demokrasi elektoral.

KOMPAS/KRIS RAZIANTO MADA

Pendukung Pakatan Harapan berkumpul di Lapangan Petaling Jaya, Selangor sejak Rabu (9/5/2018) hinggga Kamis (10/5/2018) dini hari. Mereka bergembira setelah pimpinan Pakatan Harapan Mahathir Muhamad mengumumkan berdasarkan data tidak resmi bahwa kelompok oposisi itu meraih 112 dari 222 kursi DPR Malaysia. Perolehan itu membuat Pakatan Harapan berhak membentuk pemerintahan baru di Malaysia

Malaysia menerapkan sistem distrik dalam pemilunya. Sistem ini tak serumit sistem proporsional murni berbasis suara terbanyak di Indonesia. Di Malaysia, partai berlomba memenangkan calonnya semua distrik. Karena kaidah "winner takes all" berlaku, total jumlah suara nasional tak lebih bermakna ketimbang raihan kursi setiap distrik atau daerah pemilihan. Pada Pemilu 2013 misalnya, koalisi Pakatan Rakyat yang digerakkan Anwar Ibrahim mendapat total suara nasional yang lebih banyak ketimbang BN. Jumlahnya 5.623.984 dibanding BN yang hanya 5.237.699. Tetapi secara kursi BN mendapatkan lebih banyak, 140 kursi dibanding 89 kursi.

Tampak dari situ bahwa BN sesungguhnya sudah kian lemah. Dalam situasi ketika pemerintahan Najib kian tak populer seiring merebaknya megakorupsi 1MDB, belum lagi isu lain yang dipandang melemahkan kemandirian ekonomi Malaysia, investasi China misalnya, Mahathir sesungguhnya tertolong oleh ikhtiar Anwar yang telah konsisten di jalur oposisi.

Melengkapi catatan di atas, kemenangan Mahathir mengingatkan ujaran Winston Churchill "in war you can be killed one, but in politics many times". Mahathir telah dapat kesempatan berpolitik dan berkuasa. Setelah tak berkuasa, orang menyangka karier politiknya sudah benar-benar tamat. Tetapi, politik tak mengenal usia. Fenomena Mahathir kembali menegaskan bahkan pada usia 90-an orang masih mampu berkontestasi dan menang.

Faktor Mahathir

Yang membangkitkan, ini boleh dicatat sebagai sebab khususnya, justru mantan kolega juniornya di BN, Najib Razak. Mahathir tergerak mengakhiri pemerintahan Najib yang dicatatnya banyak masalah. Ini menegaskan politik ialah panggilan, perjuangan menuntaskan tujuan politik. Dan, manakala janji Mahathir untuk tidak memerintah terlalu lama terpenuhi, maka dia semata-mata ingin dicatat sebagai faktor penggerak perubahan politik negerinya.

REUTERS/BAZUKI MUHAMMAD/FILE PHOTO

PM  Malaysia Najib Razak dan  Mahathir Mohamad pada suatu kesempatan jumpa pers di   Putrajaya, April 2009. REUTERS/Bazuki Muhammad/File Photo

 

Faktor Mahathir tak terelakkan dalam perpolitikan Malaysia. Ia cukup terpenting, selain faktor non-Mahathir dalam demokrasi elektoral 2018. Mahathirisme politik telah menjadi khas dalam politik Malaysia. Mahathir secara gagasan yang bernada membela kaum Melayu dengan dalih keadilan, telah tertorehkan tajam dalam Malay Dilemma (1970). Mahathirisme politik sebagai rangkaian gagasan yang secara substansi belum banyak berubah itu, kini memperoleh isu populisnya, antikorupsi dan investasi asing, terkhusus China.

Faktor non-Mahathir, telah disinggung di atas, tak lepas dari konteks ikhtiar oposisi sebelumnya, Anwar Ibrahim. Tapi, juga karena faktor masalah-masalah yang menimpa kepemimpinan Najib Razak. Apakah lantas politik Malaysia ialah politik personal? Mengapa aktor-aktor utamanya justru mereka yang secara usia tidak lagi muda? Tak terelakkan, kesan personalisasi politik itu mengemuka.

Komparasi Indonesia

Apabila kita komparasikan secara reflektif ke Indonesia, segera muncul pertanyaan: apakah akan ada imbasnya fenomena politik Malaysia itu? Apakah "Mahathir effect" alias kemenangan "oposisi" akan terjadi di sini?

Tentu tidak dapat cepat-cepat pertanyaan itu dapat dijawab. Belum tentu kekuatan oposisi atau lawan tanding mampu mengalahkan kekuatan petahana pada Pemilu 2019. Banyak hal yang perlu ditelaah mendalam, dari konsekuensi sistem pemilu hingga konteks naik-turun popularitas tokoh yang berkontestasi. Namun, efek Mahathir tetap perlu dicatat sebagai referensi reflektif dalam mencandra politik Indonesia ke depan.