ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI/KYE/18

Presiden Joko Widodo didampingi Menkopolhukam Wiranto, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto), Wakapolri Komjen Syafruddin, Kepala BIN Budi Gunawan, Kepala BNPT Suhardi Alius, dan Seskab Pramono Anung, menyampaikan keterangan kepada wartawan mengenai insiden Mako Brimob di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (10/5). Presiden menyatakan negara dan rakyat tidak takut menghadapi tindak terorisme dan upaya yang mengganggu keamanan negara.

Lima anggota Densus 88 gugur dalam menjalankan tugas negara, Selasa (8/5/2018). Mereka dibantai secara sadis oleh beberapa pelaku yang merupakan bagian dari 155 tahanan—yang sebagian di antaranya adalah pendukung Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS)—di Markas Komando Brigade Mobil Polri di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Menyikapi aksi terorisme pola baru ini, Presiden Joko Widodo menyatakan secara tegas bahwa negara tidak boleh kalah dan takut menghadapi teroris. Pernyataan Presiden ini penting dicermati dalam konteks politik nasional yang semakin memanas, ditambah dengan percaturan politik global yang tak menentu, terutama yang berkaitan dengan dunia Islam di Timur Tengah.

Bagaimana masa depan ancaman terorisme di Indonesia setelah peristiwa mengenaskan ini? Selain peran utama negara, adakah peran masyarakat sipil dalam penanganan terorisme?

Pertanyaan di atas penulis munculkan sebagai upaya untuk melihat aksi terorisme di Mako Brimob bukanlah sebagai titik akhir dari upaya kelompok kecil yang merasa tertindas, yang mengaitkan aksi mereka dalam pusaran konflik di Timur Tengah, terutama di Irak dan Suriah.

Melalui sayap resmi media Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Amaq News Agency, diberitakan tentang aksi yang dilakukan oleh para teroris ini bahwa: "Baku tembak sengit berlangsung antara para pejuang Daulah Islam dan personel Densus 88 di penjara Kota Depok, Selatan Jakarta".

Perlawanan terstruktur

Meminjam klasifikasi strategi gerakan politik ala Antonio Gramsci (1891-1937) dalam The Prison Notebook (1971), para teroris ini melakukan dua strategi perlawanan. Gramsci menyebut yang pertama sebagai war of movement, yaitu mereka yang melakukan konfrontasi langsung dengan aparat melalui aksi kekerasan kepada Densus 88.

Agar proses internalisasi kebencian menggumpal menjadi sebuah kepercayaan yang bernuansa agama, para teroris ini menjuluki Densus 88 ini sebagai anshorut thaghut (istilah bahasa Arab yang berarti "para penolong rezim yang zalim").

Strategi kedua adalah war of position, yaitu para teroris dan pendukungnya yang melakukan perlawanan dengan menciptakan "budaya tandingan" (counter culture) atas arus budaya utama yang ada. Yang dimaksud dengan "budaya" di sini adalah seluruh aktivitas yang mendukung gerakan mereka ketika mereka sedang tidak berkonfrontasi fisik dengan aparat.

Gerakan budaya ini tecermin dalam perilaku keseharian mereka dalam menjalani hidup, mulai dari cara berpakaian, musik yang didengarkan, pilihan bahasa, cara memilih pasangan, membangun lembaga pendidikan, hingga membangun tempat ibadah.

Tanpa bermaksud menyebar ketakutan, penulis yakin bahwa drama teror di Mako Brimob ini harus dibaca sebagai puncak gunung es dari bangunan perlawanan terstruktur, terencana, dan berkelindan di tingkatan mikro (individu), messo (kelompok/nasional), dan juga makro (global).

Ideologi teroris

Pada analisis tingkatan mikro (individu), pertanyaan yang sering muncul adalah "Manusia macam apakah para teroris ini hanya karena urusan sepele seperti makanan bisa memicu mereka menjadi monster menyeramkan yang dengan sangat kejam mereka memprotoli gigi Iptu Sulastri (39), perempuan satu-satunya anggota Densus 88 dan membunuh lima anggota Densus 88 lelaki? Normalkah mereka? Ideologi macam apa yang menggerakkan mereka ini?

Ironisnya aksi mereka menggunakan simbol agama, terutama Islam. Namun, pemakaian kekerasan dalam mencapai tujuan politik tentu bukanlah monopologi orang Islam dari negara berkembang seperti Indonesia saja.

Oleh karena itu, sebagai seorang akademisi dan praktisi keamanan, Kapolri Jenderal (Pol) Prof Dr Tito Karnavian secara hati-hati menjelaskan bahwa ada dinamika di dalam kelompok teroris ini. Artinya, meskipun mereka tertangkap aparat karena terlibat dalam pelanggaran tindak terorisme, tak semuanya adalah pelaku utama dan kemudian mengeras saat di penjara.

Tidak sedikit justru ketika di penjara ini mereka lalu sadar dan ketika bebas menjadi pegiat perdamaian. Contoh nyatanya adalah tokoh karismatik Jemaah Islamiyah (JI), Ali Fauzi, adik tiri dari pelaku bom Bali pertama, Ali Ghufron dan Amrozi, yang kini tinggal di Lamongan dan memimpin lembaga swadaya masyarakat melawan radikalisme.

Apa bedanya antara teroris lama yang lahir dari rahim JI seperti Ali Fauzi dan teroris baru pendukung NIIS di Mako Brimob? Saya mengajukan pertanyaan ini kepada salah satu mantan narapidana terorisme.

Secara tegas ia menjawab, "Para pendukung NIIS punya pemahaman yang lebih ekstrem karena sempitnya pemikiran mereka. Mereka terekrut secara individu oleh pengaruh propaganda dan pemahaman radikal di internet dan media sosial. Hal ini menyebabkan mereka cenderung egois dan bersikap keras terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka."

Barangkali, ia ingin mengatakan bahwa teroris JI lebih "sopan" bahkan bisa menghormati para jenderal polisi yang menginterogasi mereka.

Program deradikalisasi

Lalu kenapa jaringan terorisme ini terus muncul? Penulis untuk sementara menyimpulkan bahwa sangatlah tidak mudah mengubah ideologi seseorang.

Apalagi jika proses ideologisasinya berlangsung bertahun- tahun. Oleh karena itu, penulis lebih memilih metode yang lebih pragmatis, yaitu disengagement. Metode ini lebih fokus pada aspek perubahan perilaku (behaviour) mantan narapidana terorisme daripada mengubah cara pandang (cognitive).

Artinya, selama para mantan narapidana teroris ini tidak menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan politik mereka, penulis masih menganggap sebuah intervensi sosial itu berhasil. Meski secara ideologi tidak bisa seratus persen berubah.

Nah, dalam konteks aksi terorisme di Indonesia, para pelaku ini sering kali mendapatkan oksigen dari lingkungan sosial politik yang ada. Mereka hidup di sebuah komunitas yang selalu menilai bahwa terorisme itu adalah sebuah "proyek Barat yang menyudutkan Islam" atau "permainan intelijen" dan tanggapan-tanggapan miring lain.

Bisa jadi tudingan itu benar. Salah satu mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr Busyro Muqoddas, dalam bukunya, Hegemoni Rezim Intelijen Sisi Gelap Peradilan Kasus Komando Jihad, menyimpulkan bahwa Komando Jihad adalah operasi khusus (opsus) intelijen yang dipimpin oleh Ali Murtopo untuk menyasar para mantan tokoh Darul Islam.

Penulis sepakat, internet telah mengubah pola perekrutan dan penyebaran propaganda kelompok terorisme ini. Yang menyatukan mereka hanyalah kesamaan ide dan fantasi menjadi tentara dawlah-nya Abu Bakar Al Baghdadi.

Penulis merasa bahwa negara tidaklah bisa menyelesaikan sendiri permasalahan terorisme ini. Peran serta masyarakat, terutama pemimpin agama, pendidik, dan orangtua sangatlah penting.

Masalah terorisme ini adalah masalah kemanusiaan yang tidak akan selesai dalam waktu dekat. Oleh karena itu, pilihan politik boleh berbeda, tetapi marilah kita jadikan peristiwa teror di Mako Brimob ini menjadi titik balik penanganan terorisme dengan lebih serius dan komprehensif.

Sebagai bangsa, terorisme haruslah menjadi musuh bersama. Musuh ke-Bhinneka Tunggal Ika-an kita. Wallahualam.