KELVIN HIANUSA

Empat rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum terkait Pemilihan Umum 2019 diuji publik, Senin (19/3/2018), di Gedung KPU. Peraturan itu meliputi logistik, pencalonan Dewan Perwakilan Daerah, kampanye dan dana kampanye pemilihan umum

Dari pemilu ke pemilu, persoalan dana kampanye yang tak diseriusi sudah menjadi banalitas. Isu tersebut dibicarakan banyak pihak, seperti media, pegiat, dan penyelenggara pemilu, tetapi aspek akuntabilitas dana kampanye masih menjadi "barang yang mahal".

Pada Pilkada 2015, ada salah satu kandidat yang diduga kuat melanggar aturan dana kampanye karena tak lengkap dan jujur melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanyenya, tetapi calon tersebut terbebas dari sanksi. Pada Pilkada 2018, hal yang lebih kurang sama terjadi. Indikasinya ada pada ketidakseriusan pelaporan dana kampanye yang ditemukan Bawaslu (Kompas, 30/4/2018).

Padahal, sudah lama David Strauss (1994) mengingatkan, reformasi pengaturan dana kampanye penting untuk mengurangi terjadinya korupsi. Belum terlalu disadari banyak pihak bahwa tidak terwujudnya keterbukaan dana kampanye yang menggambarkan kondisi sebenarnya merupakan pintu masuk dari tidak diketahuinya potensi korupsi akan terjadi. Pertanyaannya, mengapa ketidakberesan persoalan akuntabilitas dana kampanye di pilkada terjadi terus-menerus sampai sekarang?

Buruknya akuntabilitas dana kampanye dalam pilkada lebih disebabkan oleh lemahnya aspek penegakan hukum daripada pengaturan tentang dana kampanye dalam UU. Jadi, bagaimana penegakan hukum yang baik wajib masuk dalam perubahan pengaturan di masa depan.

Falguera dkk dalam Funding of Political Parties and Election Campaigns (2014) menyebutkan, akuntabilitas dana kampanye merupakan hal yang sangat penting dan hal itu bermula dari regulasi dana kampanye. "Aturan dana kampanye sebagus apa pun menjadi sesuatu yang tak berarti apa-apa jika tidak ditegakkan," demikian Falguera dkk.

Pada UU Pilkada, regulasi terhadap pelanggar dana kampanye tidak kurang galaknya. Pada Pasal 187 Ayat 5 UU Pilkada disebutkan, setiap orang yang memberi dan menerima dana kampanye melebihi batas yang ditentukan dipidana paling singkat 4 bulan penjara atau paling lama 24 bulan penjara dan atau denda minimal Rp 200 juta atau paling banyak Rp 1 miliar. Hukuman yang sama diberikan juga jika menerima atau memberi dari pihak yang dilarang (Pasal 187 Ayat 6).

Begitu pula Ayat 7 telah memagari bagi yang sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye terancam pidana minimal 2 bulan penjara dan maksimal 12 bulan penjara. Yang paling berat hukuman untuk calon yang menerima sumbangan dana kampanye dan tidak melaporkan ke KPU dan atau tak menyetorkan ke kas negara. Ia harus siap-siap dipidana paling sedikit 12 bulan penjara dan paling banyak 48 bulan penjara dan denda tiga kali dari jumlah sumbangan yang diterima.  Sayangnya, aturan-aturan yang keras itu seperti macan kertas. Hal ini sejalan dengan yang dimaksud Falguera dkk (2014), yaitu aturan terbaik tak ada nilainya jika penegakan hukum tidak baik.

Komisi Pemberantasan Korupsi dalam risetnya (terkait Pilkada 2015) menemukan, 20 persen responden dari 286 pasangan calon yang gagal terpilih mengaku tak membuat Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). Tak hanya itu, LPPDK yang diserahkan pun tak sedikit yang melanggar batas besaran sumbangan (Kompas, 29/6/2016).

Menariknya, di Pilkada 2018, pelanggaran kembali terjadi. Menurut data Bawaslu, contohnya, ada paling sedikit empat pasang calon yang melaporkan sumbangan dana kampanye hanya sebesar nol rupiah (Kompas, 30/4/2018). Hal itu merupakan fakta menggelikan mengingat tidak mungkin sumbangan dana kampanye tidak ada sama sekali.

Dalam kondisi seperti itu, pihak yang paling bertanggung jawab adalah yang berkenaan dengan penegakan hukum. Belum adanya calon kepala daerah yang terkena sanksi karena melanggar dana kampanye pada Pilkada 2015 dan 2017 menunjukkan sanksi yang ada masih sangat bergantung pada penyelenggara pemilu. Seharusnya diatur jika penyelenggara pemilu tidak menegakkan hukum terhadap pelanggar dana kampanye, mereka diberi sanksi.

Sebagai penutup, terus berulangnya problem akuntabilitas dana kampanye dalam pilkada di Indonesia lebih dikarenakan lemahnya penegakan hukum daripada bagaimana dana kampanye diatur. Untuk saat ini, keberanian dari penyelenggara pemilu menegakkan aturan sangat ditunggu.