Musim semi di negara-negara Arab adalah berkah karena pada musim itulah sejumlah diktator digulingkan dan pemerintahan demokrasi mulai dijalankan. Ini yang disebut Arab Spring.
Di Afghanistan, justru di musim semi itulah rakyat Afghanistan kian sengsara karena salak senjata kian memuncak. Penyerangan satu dengan lainnya kian memanas. Kematian manusia kian tak terelakkan. Masalahnya, pihak-pihak yang bertikai mengurangi intensitas perlawanan mereka di musim dingin karena udara dingin sangat mencekam, menusuk tulang sumsum. Di musim panas, terik matahari sangat panas, memanggang kulit dan cepat melelahkan.
Begitulah, sampai hari ini Afghanistan masih terkoyak oleh perang dan kekerasan. Hidup berselimutkan bara dendam. Di ibu kota Afghanistan, Kabul, misalnya, tiap sudut jalan kita menemui mobil tank dan penembak jitu yang siap dengan senapan yang sudah terkokang. Sudah 40 tahun negeri ini dicabik perang.
Semula dari penggulingan Raja Shahir Syah oleh keponakannya sendiri, M Daud. Lalu, Nur Taraki membunuh Daud dan Nur Taraki dibunuh oleh Hafizul Amin. Amin sendiri mati terbunuh di tangan Babrak Kamal dari Partai Komunis, yang kemudian mengundang invasi Uni Soviet (kini Rusia). Rezim Babrak Kamal lalu diganti Najibullah.
Berkat perjuangan kelompok Mujahidin di bawah kepemimpinan Shigratullah Mujadidi, bersama kekuatan-kekuatan luar, terutama Amerika Serikat, Uni Soviet berhasil dipaksa keluar dari Afghanistan. Mujadidi lalu digantikan oleh Rabbani. Selanjutnya, Mullah Oemar memimpin Taliban menggantikan rezim sebelumnya. Hanya lima tahun berkuasa, kelompok Taliban digusur oleh AS pada 2001 dan hingga kini Amerika masih tetap berada di sana.
Tiap tahap pergantian kepemimpinan selalu ditandai dengan perang dahsyat yang panjang. Semua karena godaan kekuasaan. Hingga kini, anak-anak Afghanistan masih berdendang pilu tentang negerinya. Kapankah gerangan kekerasan itu berakhir?
Kekerasan di Afghanistan sekarang ini dipicu oleh perseteruan antara Pemerintah Afghanistan yang dipimpin oleh Ashraf Ghani dan kelompok perlawanan Taliban. Hingga kini, masih banyak pihak yang keliru duga tentang Taliban. Mereka pelik dalam membedakan antara misi Taliban dengan Al Qaeda dan Negara Islam Irak Suriah (NIIS). Kendati metode yang digunakan untuk mencapai tujuan, yakni jalan kekerasan, dalam banyak hal memiliki kesamaan atau kemiripan, secara ideologis mereka sangat berbeda.
NIIS dan Al Qaedah memiliki keinginan untuk membentuk kekhalifahan dunia, sementara Taliban hanya ingin negerinya tidak diduduki oleh orang asing dan diperintah oleh pemerintahan yang korup. Sebuah garis demarkasi yang amat jelas.
Pertemuan ulama
Akhirnya, ulama dari tiga bangsa: Indonesia, Afghanistan dan Pakistan, pada 11 Mei 2018 telah bertemu dan menyatukan sikap tentang paradigma dan ajaran Islam mengenai perdamaian. Indonesia memfasilitasi pertemuan ulama tersebut, sebagai pembuka jalan untuk mendamaikan dua kubu yang saling berseteru: Pemerintah Afghanistan dan kelompok perlawanan Taliban.
Pemerintah Afghanistan sendiri yang memohon Indonesia agar bisa jadi jembatan yang menghubungkan dua arus yang berbeda. Sebuah permusuhan yang sudah berlangsung hampir dua dekade lamanya. Pemerintah Afghanistan selalu memersepsikan Taliban sebagai kelompok yang tak bisa ditolerir karena cara- cara kekerasan yang digunakannya, sementara Taliban menilai Pemerintahan Afghanistan sekarang adalah pemerintahan boneka Amerika Serikat.
Tawaran Pemerintah Afghanistan tersebut juga disambut oleh Taliban. Keduanya sepakat bahwa Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk jadi jembatan. Indonesia adalah negara Muslim terbesar di dunia, dan sama sekali tidak memiliki kepentingan ekonomi, politik dan sosial dalam pertikaian di Afghanistan. Indonesia dipersepsikan dan diyakini sangat netral dan independen. Sebuah persyaratan mutlak untuk menjadi penengah dari sebuah silang sengketa.
Hasil pertemuan ulama tiga bangsa tersebut diberi nama Pesan Perdamaian Bogor (Bogor Peace Messages). Sebuah nama yang sungguh merefleksikan substansi dan ikhtiar mendamaikan Afghanistan.
Para ulama, dengan hati yang tenang, pikiran yang bening, niat yang tulus mengukir tekad mereka dalam sebuah kebulatan pandangan bahwa Islam diambil dari kata salima, yang bermakna perdamaian dan keselamatan. Lalu, para ulama tersebut menyatukan pandangan mereka dengan semen perekat dari sebuah hadis Nabi Muhammad: "Maukah kalian tahu, perkara yang lebih utama daripada puasa, shalat dan sadakah…… adalah mendamaikan perselisihan di antara kamu karena rusaknya perdamaian adalah pencukur agama."
Telah banyak konferensi bertaraf internasional tentang perdamaian Afghanistan dilakukan. Semua seakan tanpa jejak dan nihil hasil. Masalahnya, pertemuan-pertemuan tersebut bukan mencari jalan menuju damai, tetapi justru memperparah konflik. Mereka hanya mengutuk dan menyalahkan kelompok Taliban. Sebuah sikap yang kian menjauhkan antara niat mendamaikan dengan realitas.
Konferensi ulama di Bogor sama sekali tidak mengumbar api kemarahan dan pemojokan yang dialamatkan atau bisa ditafsirkan tertuju kepada kelompok tertentu. Tidak ada yang dilukai. Pesan Damai Bogor hanya berbicara holistik bahwa kekerasan lantaran paham ekstremisme dan tindakan terorisme itu tidak boleh diasosiasikan dengan agama, bangsa, kelompok etnis dan peradaban tertentu. Islam tidak mengakomodasi kekerasan yang mengorbankan penduduk sipil.
Pembuka jalan
Dalam kaitan inilah kita menghargai jalan pikiran Wapres Jusuf Kalla. Bila mau mendamaikan orang, kita harus mengajak orang-orang yang bertikai itu duduk bersama membicarakan masalahnya lalu mencari solusinya. Anda tidak mungkin mendamaikan Taliban dengan Pemerintah Afghanistan bila Anda hanya mengutuk Taliban. Mereka pasti tidak mau datang berunding.
Jalan pikiran Jusuf Kalla ini dijabarkan dengan ketangguhan serta kelenturan Menlu RI Retno Marsudi bersama jajarannya yang melakukan diplomasi siang malam. Maklum, samar-samar terdengar di luar bahwa masih ada ulama yang ingin mencari damai di Afghanistan dengan jalan memojokkan dan mengutuk.
Sikap para ulama di Bogor benar-benar adalah sikap ulama yang tenang, penuh keteduhan yang memberi kesejukan. Mereka berada dalam pangkalan pendaratan pikiran dan tauhid yang sama: Islam itu adalah Rahmatan Lil Alamin.
Pertemuan ulama tersebut, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Jusuf Kalla, adalah sebuah payung untuk menaungi ikhtiar selanjutnya, yakni memasuki perundingan damai. Lain kata, pertemuan ulama di Bogor tersebut adalah hulu dari mata air yang mengalir ke hilir. Hulunya adalah para ulama dengan pikiran-pikiran keagamaan mereka yang sejuk, hilirnya adalah perdamaian antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Ulama dari tiga bangsa dan latar belakang yang berbeda itu menegaskan bahwa orang-orang yang beriman itu adalah satu keluarga, dan oleh karena itu harus rukun dan damai.
Para ulama di Bogor telah menyepakati dalil-dalil keagamaan sebagai pembuka jalan menuju damai. Para ulama sadar sepenuhnya perdamaian hanya bisa dicapai bila dilakukan dengan hati yang damai pula. Bukan dengan menebar rasa marah dan kebencian. Perdamaian tidak bisa diwujudkan dengan pola tit for tat. Perdamaian adalah lawan dari permusuhan karena permusuhan atau perang selalu menggunakan motif zero sum game.
Perdamaian selalu mendatangkan berkah bagi kedua belah pihak, sementara perang hanya menguntungkan salah satu pihak. Malah bisa merugikan kedua belah pihak.
Pandangan-pandangan para ulama dalam konferensi tersebut kita harapkan menjadi oase dari dahaga panjang, yakni kerinduan akan adanya damai. Kejernihan pikiran-pikiran keagamaan mereka akan menyejukkan dunia ini, sebagaimana kesejukan air wudhu para ulama sebelum melakukan shalat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar