KOMPAS/ EDDY HASBY

Mahasiswa menduduki gedung PMR/DPR, menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatan Presiden. 19-05-1998

Mengenang Reformasi 1998 membuat perasaan campur aduk. Di satu sisi ada rasa syukur, tetapi di sisi lain kita berduka karena tragedi yang belum terungkap.

Selalu segar di dalam ingatan bagaimana pengunduran diri penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, memuncaki drama kekerasan yang ditandai antara lain oleh gugurnya empat mahasiswa Trisakti, pembakaran puluhan mal dan penjarahan masif, serta kekerasan terhadap minoritas. Sungguh pengorbanan bagi perubahan yang tidak kecil.

Dalam tempo singkat melalui sejumlah ketetapan MPR, bangsa Indonesia mendapatkan pedoman hukum, antara lain bagaimana mengawal pergantian kekuasaan sehingga presiden hanya berkuasa dua kali masa jabatan; penyelenggaraan praksis ekonomi anti-KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), dan pengakhiran dwifungsi TNI/Polri. Dalam enam tuntutan reformasi tercakup pula amendemen UUD 1945, mengadili penguasa Orde Baru dengan kroninya, dan otonomi daerah seluas-luasnya.

Presiden BJ Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto bertahan 17 bulan di tengah terus bergulirnya tuntutan reformasi. Namun, harus diakui, dalam masa pemerintahan transisi lahir sejumlah hasil, yakni kebebasan pers dengan dicabutnya surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) yang sebelumnya membelenggu kebebasan berekspresi. Kita juga ingat pemerintah transisi berhasil menurunkan gejolak mata uang sehingga rupiah yang mencapai Rp 17.000 per dollar AS turun ke level Rp 8.000-an, hal yang tak bisa dicapai oleh pemerintah sesudahnya hingga kini.

Kita kenang semua hal buruk dan hal baik dari perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara di masa lalu. Yang penting adalah sikap kita untuk memandang momen sejarah yang berlangsung dalam semangat Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei. Semenjak 20 tahun terakhir, pemerintahan telah berganti lima kali dan masing-masing menorehkan legacy dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial serta kebudayaan.

Kini ada praksis demokrasi yang begitu dinamis. Namun, sebagian masih menyebut itu baru di aras prosedural. Posisi sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia masih lebih dicirikan oleh pemilihan langsung. Namun, proses transaksional yang ada di dalam praksis ini masih buruk, terutama dengan banyaknya kasus pemimpin terjerat korupsi.

Dalam bidang ekonomi, meski isu KKN mulai mereda, reformasi belum menghasilkan perekonomian yang kokoh, meski dalam kancah internasional Indonesia masuk dalam kelompok elite G-20. Rapuhnya rupiah dan masih besarnya ketergantungan pembangunan pada utang menjadi salah satu cirinya.

Jika diringkaskan, reformasi—setelah 20 tahun—telah memberikan sejumlah perbaikan, tetapi harus diakui kita maju terlampau lamban. Jika kita benar-benar merupakan bangsa pembelajar, pengorbanan reformasi bisa menjadi fundamen untuk membuat kemajuan lebih fenomenal.