Gejala aparatur sipil negara terpapar radikalisme, bahkan terorisme, kian mengkhawatirkan.

Beberapa hari lalu, Selasa (29/5/2018), Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri menangkap tiga terduga teroris di Probolinggo, Jawa Timur, dengan satu di antaranya aparatur sipil negara (ASN) di dinas pertanian setempat. Pegawai BUMN juga diduga membiayai operasionalisasi sel-sel Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di sejumlah daerah. Pegawai Kementerian Keuangan tiba-tiba hilang dan diketahui berangkat ke Suriah bergabung dengan NIIS. Sejumlah dosen di PTN, aparatur kementerian, dan lembaga negara nonkementerian diketahui jadi pendukung HTI yang mengusung ideologi politik khilafah. Beberapa masjid di BUMN dan kementerian ditengarai sering mengundang penceramah-penceramah agama pendukung gagasan radikalisme.

Fenomena ASN sebagai pendukung gagasan radikalisme, bahkan terorisme, bisa jadi seperti puncak gunung es.  Di luar yang diketahui publik, saya menduga ASN yang terpapar radikalisme jauh lebih banyak.

Survei Alvara Research Center (2017) cukup memberikan gambaran mengenai masuknya virus radikalisme di kalangan ASN. Alvara Research Center melakukan survei terhadap kelompok profesional muda di kalangan BUMN, ASN, dan swasta yang berusia 26-40 tahun. Dari survei tersebut ditemukan, 29,6 persen menyetujui untuk memperjuangkan negara Islam. Meski yang setuju dengan ideologi Pancasila masih cukup tinggi (84,5 persen), tetapi yang memilih Indonesia diganti dengan ideologi Islam bisa dikatakan cukup tinggi, 15,5 persen. Ada 22,2 persen ASN muda yang setuju dengan khilafah sebagai bentuk ideal dibandingkan dengan NKRI. Demikian juga yang setuju dengan jihad menegakkan khilafah/negara Islam cukup besar, 19,6 persen.

Gejala ini tidak bisa dianggap remeh. Kondisi ini tentu saja membahayakan karena ASN merupakan pelaksana pemerintahan yang harus berpegang teguh pada nilai dasar ASN. Di antaranya memegang teguh ideologi Pancasila, setia mempertahankan UUD 1945 dan NKRI, serta mengabdi kepada negara dan rakyat Indonesia.

Bagaimana bisa ada ASN yang seharusnya menjadi pilar penegakan Pancasila, justru menjadi bagian dari kekuatan yang merongrong Pancasila. Bagaimana bisa ASN yang seharusnya menjadi pengawal NKRI, tetapi justru anti-NKRI meskipun mereka mendapat gaji dari negara.

Kondisi itu semakin miris dengan banyaknya mahasiswa penerima beasiswa dari Pemerintah Indonesia juga terlibat dengan gerakan radikal. Siska Nur Azizah, satu dari dua perempuan yang ditangkap polisi di Mako Brimob yang diduga terlibat sebagai jaringan NIIS, adalah mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung penerima beasiswa Bidikmisi. Mahasiswa penerima beasiswa LPDP dari Kementerian Keuangan juga diindikasi terlibat gerakan radikal. Bagaimana bisa negara memberikan beasiswa kepada orang- orang yang seperti ini?

Potret radikalisme ASN sebagaimana survei Alvara Research Center tersebut sejalan dengan potret radikalisme di kalangan mahasiswa yang jadi pemasok ASN. Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah terhadap 25 universitas di Indonesia menunjukkan gejala yang sama. Ada 23,5 persen mahasiswa Indonesia mendukung NIIS; 16,8 persen beranggapan Islam sebagai ideologi yang cocok bagi Indonesia; 17,8 persen mendukung ideologi khilafah; 23,4 persen siap berjihad untuk mendirikan khilafah; 37,72 persen setuju jihad perang melawan non-Muslim.

Melihat gejala ini bisa dikatakan lonceng radikalisme sudah menunjukkan lampu kuning, yang jika tidak ditangani dengan serius akan jadi lonceng bahaya. Kita tidak bisa lagi menutup mata dan berpura-pura tidak tahu atas ancaman ini. Karena itu, perlu langkah untuk mengenali sumber persoalan dan langkah- langkah untuk mengobati.

Mengapa ASN terpapar?

Gejala ASN merupakan cerminan dari gejala umum dalam masyarakat di mana tren radikalisme memang mengkhawatirkan. Hal ini terjadi sebagai buah dari sikap abai dan menutup mata pemerintah dari gejala radikalisme yang sudah sering diteriakkan.

Kita terlalu yakin dengan moderatisme yang seolah tak dapat digoyahkan oleh radikalisme. Meski moderatisme tetap merupakan arus besar umat beragama di Indonesia, radikalisme tetap ancaman serius. Di mana-mana kelompok radikal memang tidak pernah besar, tetapi jika mendapatkan ruang sosial dan politik, mereka akan merayap menguasai berbagai lini kehidupan.

Dalam berbagai kajian, radikalisme dan terorisme bisa berkembang karena ada kelompok atau organisasi yang mewadahi, keyakinan yang membenarkan dan menghalalkan kekerasan untuk memperjuangkan keyakinannya, dukungan sosial, dan orang- orang yang punya kepribadian rentan yang mudah dipengaruhi.

Apa yang terjadi dengan ASN pada dasarnya implikasi dari sikap abai terhadap sebab-sebab tersebut. Radikalisme dibiarkan berkembang di kalangan ASN nyaris tanpa hambatan. Tidak ada deteksi dini. Agama dianggap keyakinan individu di mana negara tidak boleh ikut campur. Di sini sebenarnya radikalisme berkembang dengan memanfaatkan celah paham sekuler yang menganggap keyakinan agama sebagai persoalan privat. Meskipun kalangan radikal menolak paham sekuler, mereka tumbuh dan berkembang karena hal itu.

Tempat ibadah di lembaga pemerintahan dan BUMN nyaris tidak terkontrol dan diam-diam jadi pandemi gerakan radikal. Penceramah-penceramah berhaluan radikal yang anti-Pancasila dan anti-NKRI begitu mudah keluar-masuk ke lembaga pemerintah dan BUMN melalui tempat ibadah. Di sana mereka menyemai paham keagamaan radikal. Implikasi yang sekarang sudah jelas kelihatan adalah menguatnya intoleransi dan radikalisme di kalangan ASN.

Dari perspektif ini, kita bisa memahami dan menyambut baik daftar mubalig yang dirilis Kementerian Agama. Pemerintah harus bisa mengontrol tempat ibadah yang menggunakan fasilitas negara.

Selain itu, sistem perekrutan ASN juga belum sensitif dengan persoalan radikalisme. Belum ada sistem peringatan dini untuk mendeteksi calon-calon ASN yang berpaham radikal. Hal yang  justru mengkhawatirkan adalah jiwa orang-orang yang memfilter ASN justru terindikasi radikal dan sengaja memasukkan kelompok ideologinya menjadi ASN.

Pembinaan ASN juga belum sensitif radikalisme. Belum ada sistem sosial untuk pembinaan ASN untuk mengenali perilaku pegawai yang berpaham radikal dan langkah-langkah yang harus dilakukan. Pembinaan ASN dan sistem kariernya tidak bisa lagi hanya berbasis pada kinerja, tetapi juga harus melihat aspek ideologi kebangsaannya.

Atas dasar itu, merumuskan sistem perekrutan dan pembinaan ASN yang sensitif dengan radikalisme sangat mendesak. Jika tidak, jangan kaget jika nanti akan semakin banyak ASN yang menjadi pendukung gerakan radikal, bahkan terorisme.