Mudik sesungguhnya bukan sekadar arus mobilitas sosial para migran pulang kampung untuk bersilaturahim kembali dengan sanak- kerabat dan kenalan yang tinggal di desa.

Di luar soal kenaikan jumlah arus pemudik pada tahun ini, di sana ada persoalan sosial-ekonomi yang kompleks, yang merefleksikan situasi problematik yang terjadi di balik gegap gempita warga masyarakat merayakan Lebaran.

Pada tahun 2018 ini diperkirakan akan terjadi kenaikan arus mudik 10-15 persen dibandingkan mudik tahun 2017. Pemudik yang menggunakan moda transportasi darat dikalkulasi mencapai 8,09 juta orang, menggunakan kereta api 4,63 juta orang, pengguna moda transportasi udara diperkirakan 5,75 juta orang, yang menggunakan transportasi laut 1,77 juta orang. Sementara pengguna sepeda motor diperkirakan 6,39 juta orang, naik daripada 2017 yang mencapai 4,78 juta orang.

Dibandingkan pemudik yang menggunakan moda transportasi lain, pemudik yang menggunakan sepeda motor menempati urutan terbesar pertama. Lonjakan besar jumlah pemudik yang menggunakan sepeda motor ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pemudik adalah penduduk desa yang secara ekonomi belum terkategori mapan.

Mereka bukanlah pemudik dari kelas menengah yang memiliki mobil pribadi atau uang yang cukup untuk naik pesawat atau kendaraan lain. Memilih mudik menggunakan sepeda motor, walaupun berisiko, terpaksa dilakukan untuk menghemat biaya transportasi, baik dari kota ke desa maupun untuk memenuhi kebutuhan transportasi selama mereka mudik di daerah asalnya.

Eksklusi sosial

Di atas kertas, arus mudik sebetulnya tidak akan terus naik sebesar sekarang ini jika desa-desa di Tanah Air telah maju pesat dan mampu menawarkan alternatif kesempatan kerja bagi warga masyarakatnya. Akan tetapi, akibat pilihan kebijakan pembangunan yang cenderung bias urban, yang terjadi akhirnya adalah gelombang arus mudik terjadi begitu masif di berbagai daerah. Seperti diperlihatkan George Martine et al (2008) dalam bukunya, The New Global Frontier, Urbanization, Poverty, and Environment in the 21st Century, bahwa pendekatan pembangunan yang menempatkan kota besar sebagai pusat kemajuan tak pelak menyebabkan polarisasi meningkat dan desa-desa makin tertinggal, sehingga arus urbanisasi pun makin tak terbendung menyerbu kota-kota besar.

Ketika sektor pertanian dan industri kecil di desa tak lagi menjanjikan, dan tidak sedikit petani menanggung kerugian akibat anomali cuaca dan pembagian margin keuntungan yang tak seimbang, jangan heran jika desa makin kehilangan daya tarik. Sebaliknya, kota besar lantas menjadi tumpuan harapan untuk mencari nafkah. Meski demikian, berbeda dengan pola arus mudik 5-10 tahun lalu—di mana arus mobilitas warga hanya terjadi dari kota besar ke desa-desa di daerah asalnya—kini arus mudik cenderung lebih terfragmentasi. Kota tempat pekerja migran mengadu nasib tidak lagi selalu kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, tetapi telah bergeser ke kota-kota menengah seperti Bekasi, Karawang, Tangerang,  Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, dan kota-kota sekunder lain yang tumbuh menjadi daerah industri baru.

Kota-kota besar di mata penduduk desa cenderung dinilai makin tidak ramah. Kebijakan "pintu tertutup" bagi penduduk migran miskin, dan kesempatan kerja di kota besar yang  lebih banyak di sektor perekonomian firma, sering kali menyebabkan penduduk desa yang kurang berpendidikan sulit dapat terserap masuk karena tidak cocok dengan kriteria yang dipersyaratkan dunia industri.

Di berbagai kota besar, pola yang terjadi umumnya adalah eksklusi sosial yang membatasi kesempatan migran miskin. Ini semacam suatu proses di mana masyarakat (pendatang) terhalang dalam mencapai posisi, juga sumber daya, untuk dapat menjalani hidup di mana mereka dapat berperan aktif sepenuhnya. Orang-orang yang tereksklusi adalah mereka yang tersingkir dari jaringan pekerja tetap yang mendapat penghasilan dan juga dari jaringan kekayaan.

Eksklusi sosial ini bukanlah sekadar mengenai terbatasnya sumber daya yang bersifat materi, melainkan juga mengenai hak kewarganegaraan dan politik. Eksklusi sosial tersebut juga bisa mengenai tidak adanya persamaan jender di berbagai ranah. Lebih jauh lagi, eksklusi sosial juga meliputi pembatasan keterlibatan anggota masyarakat setempat di berbagai aktivitas: mereka cenderung rentan menjadi korban penggusuran, mengalami diskriminasi, dan lain sebagainya.

Di berbagai kota besar, penduduk migran miskin umumnya lebih banyak terserap di sektor perekonomian informal, sektor informan nonlegal, bahkan tak jarang pula yang ilegal. Kalaupun mereka beruntung terserap masuk dalam sektor perekonomian firma, biasanya pekerjaan yang ditekuni bukan pekerjaan yang berkeahlian, seperti menjadi tenaga keamanan (satpam), cleaning service, atau berbagai pekerjaan lain yang tidak menjanjikan. Peluang migran untuk memperoleh pekerjaan dan mengakses fasilitas sosial di kota umumnya terbatas karena alasan administratif maupun karena imbas dari kebijakan yang diskriminatif.

Untuk menghindari desakan dan tekanan kebutuhan hidup di kota besar yang makin mahal, yang tidak sebanding dengan gaji mereka, dalam lima tahun terakhir pola yang terjadi adalah para migran kini lebih memilih mengadu nasib mencari kerja di kota-kota sekunder daripada kota besar. Biaya hidup yang tidak setinggi kota besar, dan lingkungan kerja yang masih memungkinkan menerima arus penduduk desa, adalah kombinasi daya tarik yang menyebabkan kaum migran belakangan ini lebih memilih mencari pekerjaan di kota-kota menengah dan bahkan kota kecil. Walaupun penghasilan yang diperoleh umumnya tak sebesar bekerja di kota besar, bagi kaum migran hal itu sudah menguntungkan karena tetap saja lebih besar daripada peluang mereka mencari pekerjaan dan penghasilan di desa yang serba terbatas.

Mereorganisasi desa

Untuk mencegah agar kesenjangan antarwilayah  tidak makin meningkat dan urbanisasi dapat dikurangi, pemerintahan Jokowi-JK telah memberikan perhatian khusus kepada desa, baik melalui program dana desa maupun program lain yang memberikan kesempatan pelaku usaha di pedesaan dapat berkembang lebih maju.

Selama tiga tahun terakhir, berbagai desa di Tanah Air telah digelontor kucuran dana yang tidak sedikit, dengan harapan ketertinggalan desa akan dapat dikurangi. Pembangunan wilayah agropolitan dan minapolitan yang menyasar desa agraris dan desa pesisir adalah program lain yang dikembangkan pemerintah untuk mendorong gairah aktivitas perekonomian masyarakat desa supaya lebih berkembang. Suntikan pinjaman modal usaha, bantuan peralatan produksi, bantuan benih atau bibit, dan lain-lain adalah upaya yang secara simultan terus dikembangkan untuk meningkatkan akselerasi pemberdayaan masyarakat pedesaan.

Apakah hasilnya telah berkembang seperti yang diharapkan? Meminta desa yang sudah sekian lama tertinggal jauh akibat pembangunan yang bias urban untuk mengatasi ketertinggalan tentu bukan hal mudah. Selama kurun tiga tahun, niscaya masih jauh dari mencukupi untuk mendorong desa mengatasi ketertinggalannya. Namun, paling tidak fondasi ke arah sana untuk mewujudkan desa yang makin maju belakangan telah mulai diinisiasi.

Untuk tahap transisi, mencegah arus urbanisasi agar tidak lagi memusat pada kota besar memang telah dilakukan melalui program pembangunan desa dan menggeser industrialisasi di kota-kota sekunder. Namun, lebih dari sekadar merefokus orientasi pembangunan dari kota besar ke desa dan kota sekunder, sesungguhnya yang tak kalah penting adalah bagaimana mengubah orientasi pembangunan yang benar-benar pro-desa dan pro-rakyat miskin.

Meningkatkan jumlah kucuran dana ke berbagai desa melalui program dana desa memang menjadi titik awal untuk mendorong akselerasi perkembangan usaha di pedesaan. Namun, di luar itu, yang perlu dikembangkan adalah program-program pembangunan yang berbasis pada pengembangan aset dan program yang benar-benar memberdayakan masyarakat miskin di pedesaan.

Pengalaman telah banyak mengajarkan bahwa risiko dari hilangnya aset masyarakat akibat invasi pemilik modal dari kota niscaya adalah munculnya urbanisasi yang tidak terbendung. Mereorganisasi masyarakat desa agar lebih berdaya dan bagaimana mengembangkan kohesi sosial yang kuat untuk melawan invasi modal dari kota tidaklah mungkin hanya dilakukan melalui pemberian kucuran dana semata. Sebab, yang tak kalah penting adalah bagaimana membangun posisi tawar dan menempatkan hak masyarakat desa untuk memperoleh bagian yang lebih proporsional atas produk yang mereka hasilkan.