Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
Burhanuddin Muhtadi adalah ilmuwan politik muda yang sangat saya kagumi. Penelitiannya, misalnya, tentang money politics di tingkat kabupaten dan kota, kaya dengan informasi dan argumen baru yang meyakinkan. Jadi, saya kecewa ketika dia jatuh dalam perangkap sempit yang juga menghalangi kemampuan analitis banyak Indonesianis lain masa kini.
Persisnya, dalam artikel ilmiah di Bulletin of Indonesian Economic Studies (2015) yang menilai tahun pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), ia berkata bahwa "usaha untuk menjelaskan masalah dan
kegagalan reformasi demokratis pasca-Soeharto cenderung mengandalkan tesis oligarki, yang mementingkan kekuasaan materi, atau tesis kartel, yang menitikberatkan lembaga-lembaga politik."
Masih berlanjut
Tesis oligarki diperkenalkan oleh Richard Robison, Vedi Hadiz, dan Jeffrey Winters, sementara tesis kartel diidentifikasi dengan Dan Slater dan Kuskridho Ambardi. Tesis oligarki "berfokus seluruhnya pada kekayaan materi selaku penentu akibat politik yang paling kuat dan manjur", sementara tesis kartel "mengklaim bahwa politik Indonesia masa kini dikuasai oleh kartel-kartel, tempat suatu spektrum luas partai-partai bersekongkol untuk menikmati barang rampasan proses politik."
Lagi pula, menurut penganut tesis oligarki, pola kekuasaan yang didirikan pada Orde Baru diteruskan pada era Reformasi. Tak mungkin diubah "selama orde sosial dari rezim sebelumnya tetap utuh serta menguasai negara." Dampak persekongkolan kartel juga buruk bagi demokrasi. Para pemimpin partai mengabaikan program dan ideologi mereka dan menjadi tak akuntabel, bertanggung jawab kepada pemilih, suatu syarat mutlak dalam negara demokratis.
Bagi saya, dua tesis itu tidak membantu kita untuk mengerti kemungkinan keberhasilan atau kegagalan demokrasi pada era reformasi, melainkan merupakan belenggu belaka. Dalam hal tesis oligarki, rasanya seperti kami, para ilmuwan, dipisahkan tanpa alasan meyakinkan dari khazanah analitis yang dalam dan luas. Selain materi, masih banyak faktor atau sumber daya yang berpengaruh dalam politik. Beberapa contoh: pengetahuan dan keterampilan individu dan kelompok, ide dan cita-cita, kepintaran strategis dan taktis para pemimpin, mutu dan tipe macam-macam organisasi, kemauan dan gairah, serta jumlah pendukung dan intensitas dukungannya, baik di dalam negara maupun dalam masyarakat sipil.
Peran materi pun kompleks. Dalam Social Origins of Democracy and Dictatorship (1966), sosiolog Barrington Moore menggambarkan akibat yang berbeda-beda dari konflik panjang antara kelas ningrat, borjuis, dan petani di Inggris, Perancis, AS, China, dan Jepang. Dalam Transitions to Democracy: Toward a Dynamic Model (1970), ilmuwan politik Dankwart Rustow menjelaskan bahwa "proses dinamik demokratisasi dimulai dengan suatu perjuangan lama yang tak tentu hasilnya."
Dalam proses itu, "komposisi sosial dari kekuatan-kekuatan yang bertarung, baik pemimpin maupun pengikut dan sifat isu- isu yang bersangkutan, akan berbeda jauh dari periode ke periode dan negara ke negara." Dua orang itu masing-masing mengilhami ribuan sarjana selanjutnya, termasuk angkatan saya dan Burhanuddin, untuk mengembangkan ide-ide mereka.
Kalau tujuan kita adalah pembaikan mutu demokrasi di Indonesia, tentu kita perlu meneliti sejauh mana faktor dan sumber daya yang saya sebutkan itu berperan selama ini. Misalnya, setelah desentralisasi berlaku hampir dua dasawarsa, pasti ada sejumlah pemerintah kota dan kabupaten yang berhasil dinilai dari segi pembangunan ekonomi, peningkatan mutu administrasi, dan pelayanan masyarakat. Tak mungkin semua digenggam pejabat yang ingin mempertahankan kekayaan pribadinya!
Faktor-faktor apa yang menyebabkan keberhasilan atau kegagalan? Apakah peran utama dimainkan oleh faktor-faktor di luar jangkauan kepemimpinan politik, seperti tingkat pendidikan atau ekonomi pada awal desentralisasi, ataukah bupati/wali kota yang cerdik dan berdedikasi bisa punya dampak besar? Para peneliti perlu dibebaskan dari belenggu tesis oligarki agar faktor-faktor seperti ini bisa diuji.
Tak berlaku
Bagaimana tesis kartel? Terus terang, bagi saya tesis itu perlu dilepaskan karena sudah terbukti tak berlaku di Indonesia. Bukti utamanya pemerintahan SBY yang menghadapi partai oposisi di DPR selama 10 tahun dan pemerintahan Jokowi yang dari tahun kedua masa jabatannya juga bersaing dengan partai oposisi. Adanya oposisi berarti pemilih punya kesempatan teratur menuntut pertanggungjawaban dari pemerintah yang sedang berkuasa. Dalam perkataan lain, tak ada accountability trap, perangkap pertanggungjawaban, seperti diklaim Dan Slater sebagai akibat persekongkolan partai. Yang ada: dua koalisi partai yang bertaruh, seperti lazim dalam setiap demokrasi multipartai.
Pada 2009, petahana Presiden SBY berhasil meyakinkan pemilih untuk mengangkatnya kembali; pada 2019, petahana Presiden Jokowi akan diberi kesempatan sama. Dalam sistem presidensial Indonesia, di situlah inti pertanggungjawaban demokratis. Bagi para ilmuwan dan praktisi, tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan dan memperbaiki pertanggungjawaban presidensial tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar