Masyarakat akan menerima berita itu sebagai kebenaran kalau itu secara massal dipercaya dan diperbincangkan di khalayak luas. Kondisi inilah yang menjadikan kebutuhan untuk menciptakan berita bohong (hoaks) menjadi esensial dalam memengaruhi informasi dan perilaku memilih publik. Hoaks secara jelas adalah musuh bersama jurnalisme hari ini, tetapi yang menjadi miris adalah kecepatan pers dalam menangkap isu publik justru kalah dengan situs hoaks. Hoaks lebih dipercaya karena cepat dan tepat, meski tidak akurat.

Cermin kelas menengah

Akan tetapi, yang penting publik sekadar tahu akan sesuatu dalam perspektif yang salah sehingga menciptakan kondisi semi intelektualitas di kalangan kelas menengah. Dibandingkan istilah pascakebenaran, lebih tepat pascaintelektualitas karena intelektualitas tak lagi diukur secara metodologis.

Posisi kelas menengah Indonesia berada dalam titik persimpangan dalam melihat hoaks karena  hoaks banyak menyebar di kalangan terdidik. Ini menjadi sangat ironis ketika jenjang pendidikan tak diikuti kematangan dalam analisis dan berpendapat secara bijak. Media sosial jelas tak bisa menjadi sumber penyebab utama, hanya saja kelas menengah terlalu berlebihan menggunakan medsos untuk urusan publik dan privasi. Kita dengan mudah dan tipis membedakan mana kiriman (posting)-an rasional dan posting-an yang delusional dalam medsos.

Hoaks yang menjamur di kalangan warganet Indonesia sebenarnya mencerminkan kondisi kelas menengah yang belum matang secara politis. Gerakan politik kelas menengah hanya muncul karena isu emosional dan hoaks yang disebar melalui 1-2 individu di akun medsos masing-masing. Yang menjadi unik, posting status itu juga menempelkan adanya tautan untuk mendukung status tersebut. Tautan itu bisa datang dari sumber tepercaya maupun sumber meragukan. Hoaks menciptakan ironi daripada membangun negeri.

Hoaks sebenarnya tercipta dari kecenderungan publik dalam menilai sesuatu secara setengah-setengah sehingga menciptakan celah antara bohong dan benar. Dengan kata lain, adanya kesalahpahaman, kesengajaan, dan juga ketidaktahuan terhadap sumber informasi valid yang diolah menjadi berita bohong. Para pembuat berita bohong secara psikologis sadar bahwa menelikung kebenaran dalam informasi yang mereka sebarkan di medsos akan berdampak pada moralitas dan etika. Namun, ini dikesampingkan secara politis untuk sengaja membuat tensi warganet menjadi naik secara simultan.

Biasanya hoaks yang dibangun itu bisa kontradiktif dengan kebenarannya sehingga menciptakan efek bombastis dan sensasional pada publik. Isu agama dan identitas menjadi basis hoaks yang tak pernah selesai diungkit, terlebih isu minoritas dan organisasi terlarang yang terus direproduksi agar masyarakat percaya itu benar dalam konteks yang salah.

Menjamurnya hoaks memang krusial terlebih lagi di tahun politik sekarang ini di mana romantisasi masa lalu menjadi corong utama dan kealpaan menjadi senjata untuk memengaruhi publik. Mulai dari penciptaan isu melalui tagar, menciptakan trending topic, dan isu panas hingga menyebar fitnah menjadi hal tak terelakkan dalam kampanye digital di Indonesia. Kebencian yang diakibatkan karena hoaks adalah sesuatu hal ironis ketika fitnah telah menggelapkan nurani dalam menilai suatu hal. Terlebih dalam urusan politik, hoaks menjadi alat penting menjatuhkan dan mendukung kepentingan politik tertentu. Ada figur yang sedemikian dibenci lantas diserang dengan berita konspiratif, tetapi ada pula figur yang dibela habis-habisan karena dianggap simbol religiositas.

Hoaks kemudian bisa menyebar dengan mudah karena menggunakan pendekatan emosional kepada warganet karena berita bohong itu selalu terkait masalah pribadi. Secara jelas hoaks menciptakan nalar piramida di mana permasalahan makro kemudian diciutkan menjadi hal mikro. Kita senantiasa melihat berita hoaks yang diungkit, terutama adalah masalah kebutuhan hidup yang kemudian opini tersebut digiring secara emosional untuk menyalahkan pemangku kebijakan.

Komoditas politik

Dari situlah hoaks kemudian melebarkan perspektif dengan mengambil sampel peristiwa internasional seperti halnya kenaikan kurs mata uang global, migrasi tenaga kerja, maupun juga investasi asing. Hal itu jelas sesuatu yang berbeda 180 derajat dengan realitasnya. Oleh karena itu, hoaks sering kali disebut pula sebagai hiper-realitas yang seolah melihat kebenaran akan suatu informasi menjadi sangat berlebihan dengan sangkut paut berbagai macam hal. Seketika orang menjadi canggih dengan analisis artifisialnya dalam menjelaskan suatu hal, tetapi bebal dan banal secara pemikiran. Namun, nyata hoaks ini menciptakan figur-figur demikian di ruang publik. Figur itu sedemikian dipuja oleh para pendukungnya, tetapi ada pula figur yang dihujat karena informasinya tidak menyenangkan selera publik.

Baik koalisi maupun oposisi pemerintah menjadi obyek penyebaran isu hoaks oleh masing-masing simpatisan. Koalisi rezim diserang dengan isu-isu asing, islamisme, maupun minoritas, sementara oposisi rezim diserang dengan isu konservatisme maupun juga sindrom megalomaniak. Secara jelas hoaks dimanfaatkan masing-masing kubu sebagai komoditas politik. Namun, yang menjadi miris adalah daripada bekerja sama untuk memperbaiki negeri, malah justru saling berbalas pantun membalas hoaks. Dengan demikian, itu jelas berdampak pada publik yang larut pada turbulensi politik sekarang ini.

Ke depan, baik penyedia jasa medsos maupun pemerintah perlu giat memerangi hoaks ini karena berpotensi menciptakan kerusuhan di ajang Pemilu 2019.  Kelas menengah juga perlu menjadi warganet yang cerdas dan jangan asal menelan mentah semua informasi berbasis gosip.