Kecelakaan kapal yang terjadi di Pulau Maspari (Sumatera Selatan), di Makassar (Sulawesi Selatan), dan Danau Toba (Sumatera Utara) pada musim mudik Lebaran 2018 adalah puncak gunung es dari terabaikannya angkutan air kita, baik yang berbasis laut, sungai, danau, maupun perairan.

Selama ini kita kurang peduli pada angkutan air. Kita lebih fokus di udara dan darat, khususnya Jawa, karena keduanya itu dekat dengan pusat kekuasaan dan media massa. Sementara angkutan air jauh dari kekuasaan dan media massa. Faktor media massa itu penting karena berkat peran media massa penguasa jadi peduli.

Kapal Motor (KM) Albert bertolak dari Dermaga Speed Lidah, Sukadamai Toboali, Kabupaten Bangka Selatan, menuju ke Dusun Sungai Pasir, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan tenggelam di Pulau Maspari (13/6/2018). Korban meninggal dua orang dari 27 penumpang, 25 dapat diselamatkan oleh nelayan Sungai Kong (Sumsel).

Pada tanggal yang sama, KM Arista yang berlayar dari Pelabuhan Paotere (Makassar) menuju Pulau Barrang Lompo tenggelam di perairan Makassar, Selat Gusung. Menurut laporan Badan SAR Nasional (Basarnas) Makassar, jumlah penumpang 73 orang, 55 selamat, dan 16 meninggal, sedangkan yang belum ditemukan dua orang.

Masih dalam suasana Lebaran, Minggu (17/6/2018), KM Sinar Bangun jurusan Simanindo-Tigaras tenggelam di Danau Toba. Jumlah korban pada awalnya diberitakan 63 jiwa dari 80 penumpang, tetapi pada pemberitaan berikutnya mencapai 100 orang lebih. Namun, sebagai orang yang pernah naik KM Sinar Bangun (2017), saya lebih percaya pada pemberitaan awal, mengingat ukuran kapalnya kecil (17 gros ton), tidak mungkin penumpangnya mencapai 100 orang lebih dan 55 sepeda motor, maksimal hanya dapat mengangkut 25 sepeda motor. Betul kapal itu memiliki tiga lantai, tetapi lantai tiga sekadar untuk santai melihat pemandangan. Kalau lantai tiga dipenuhi penumpang, tentu sudah tenggelam sejak di dermaga pemberangkatan.

Minus standar keselamatan

Mengapa kasus kecelakaan kapal terus terjadi? Jawabnya sederhana: pelayaran rakyat seperti di Danau Toba itu memang berjalan tanpa aturan yang jelas. Usaha pelayaran itu diselenggarakan oleh masyarakat atas inisiatif sendiri. Bahkan dari 28 dermaga yang ada di Kabupaten Samosir, kabupaten yang dikelilingi Danau Toba, 24 dermaga diselenggarakan oleh masyarakat.

Awal mulanya, masyarakat yang mampu membuat dermaga dan membeli kapal sendiri untuk melayani kebutuhan mobilitas warga sekitar. Desain kapal dan dermaga mereka tentukan sendiri sesuai selera dan kemampuan dananya. Jadwal perjalanan kapal mereka buat sendiri, bahkan kapal pun mereka nahkodai sendiri. Mereka tidak peduli aspek keselamatan. Oleh karena itu, jangan salahkan bila ternyata kapalnya tidak berkeselamatan.

Kondisi yang sama terjadi di semua tempat. Hampir semua angkutan air kita yang diselenggarakan oleh masyarakat (pelayaran rakyat) tumbuh dan berkembang atas inisiatif warga dan minim intervensi pemerintah. Apa yang terjadi pada KM Arista di Sulawesi Selatan, tidak jauh berbeda dengan yang dialami KM Sinar Bangun. Kapal itu bukan kapal penumpang dan tidak berangkat dari pelabuhan penumpang, melainkan dari pelabuhan ikan. Muatan kapal pun melebihi kapasitas, dan tidak ada manifes. Masyarakat menggunakan kapal tersebut karena itulah satu-satunya layanan transportasi yang tersedia.

Lalu di mana peran negara? Peran negara masih terbatas pada fasilitasi pelayaran yang besar-besar, seperti antarpulau-pulau besar atau penyeberangan. Di pelabuhan-pelabuhan besar yang dilayani kapal komersial, negara hadir melalui Pelindo, ASDP, KSOP, dan kantor navigasi.

Di pelabuhan-pelabuhan tersebut umumnya sudah mulai peduli pada pelayanan yang berkeselamatan. Keberhasilan Ignatius Jonan membenahi PT KAI, memberikan inspirasi kepada pengelola pelabuhan untuk turut tertib sehingga kalau kita naik kapal dari pelabuhan yang dikelola oleh Pelindo atau ASDP sudah ada manifes. Juga tersedia baju pelampung di dalam kapal dan sebelum kapal berangkat ada petunjuk tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam kapal. Akan tetapi, di hampir semua pelayaran rakyat, aspek keselamatan itu terabaikan sama sekali.

Khusus di Danau Toba, sampai 2014 dapat dikatakan kehadiran negara itu sangat minim. Oleh karena itu, jangan salahkan operator dan awak kapal bila mereka abai terhadap aspek keselamatan. Mereka mungkin tidak tahu, tak mau tahu, atau tahu dan peduli, tetapi dananya tidak ada. Jangankan untuk operasional kapal yang berkeselamatan, kapal bisa berlayar saja sudah bersyukur karena tidak ada subsidi dari negara dan tarifnya murah. Wajar bila kondisi dermaganya terbuka sehingga kehujanan pada saat hujan dan saat panas kepanasan, tidak ada loket pembelian tiket karena bayarnya di atas kapal, tak ada kontrol pada setiap kapal yang datang/berangkat, tidak ada manifes, tidak tersedia jaket pelampung, dan awak kapalnya tidak terlatih/memiliki SIM.

Kehadiran negara di Danau Toba itu baru terasa setelah masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Saat ini sedang dibangun empat dermaga feri, pembuatan dua feri, dan pembuatan galangan kapal di Parparean (Porsea). Direktorat Keselamatan Transportasi Darat, Kementerian Perhubungan juga melakukan pembagian jaket pelampung serta tengah merancang pendidikan dan pelatihan untuk para awak kapal.

Pukulan telak

Kasus tenggelamnya KM Sinar Bangun di Danau Toba ini memang merupakan pukulan telak karena terjadi pada saat pemerintah sedang menjadikan Danau Toba sebagai salah satu destinasi wisata utama dan sedang mulai melakukan penataan kawasan Danau Toba.

Semoga kejadian ini justru memacu pemerintah untuk segera memberesi pelayaran rakyat, baik yang ada di kawasan Danau Toba maupun di tempat lainnya di seluruh negeri.

Memang tak mudah dan tidak murah untuk melakukan perbaikan layanan pelayaran rakyat, mengingat kita memiliki 17.000 pulau lebih yang semua memerlukan layanan angkutan laut. Namun, dengan visi yang jauh ke depan dan komitmen politik yang kuat, perbaikan secara bertahap dapat dilakukan.

Perlu ada pembagian beban antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Sebab, kalau diserahkan ke pemerintah daerah atau pusat saja jelas tidak mampu. Tahap pertama adalah pemerintah dapat melakukan inventarisasi mengenai jumlah pelayaran rakyat sebagai dasar untuk menyusun perencanaan secara bertahap. Pengembangan pelayaran rakyat tersebut wajib mengacu pada Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2015 tentang Standar Keselamatan Transportasi Sungai, Danau, dan Perairan.