TOTO SIHONO

                    

Dalam ilmu politik dikenal studi yang menganalisis dinamika elite politik serta konfigurasinya terhadap kekuasaan.

Dalam lanskap sosial-ekonomi-politik, di mana pun di dunia, selalu terdapat segelintir kecil yang disebut sebagai the ruling elite—kelas penguasa yang jumlahnya terbatas dalam sebuah tatanan masyarakat, dalam suatu negara.

Pertarungan politik kerap disebabkan oleh rivalitas para elite penguasa ini untuk mendapatkan akses yang legal untuk mengelola akses dan sumber-sumber ekonomi-politik. Jika kita melihat peta politik Indonesia kontemporer, maka terdapat perimbangan sejumlah poros politik elite yang mengerucut pada beberapa kekuatan. Apalagi menjelang Pemilu 2019 (pemilu legislatif dan pemilu presiden), tak bisa dimungkiri aroma hangat pertarungan berbagai kekuatan ini begitu mencekat.

Isu sentralnya, antara lain, adalah pertarungan siapa atau dari faksi politik mana yang akhirnya akan dipilih menjadi cawapres oleh Presiden Joko Widodo saat ia mendaftar di KPU pada Agustus 2018 kelak? Lalu, partai politik apa sajakah yang akhirnya akan berlabuh dalam koalisi pendukung Jokowi dan siapa yang akan menjadi oposisi? Apakah akan terjadi konsensus/konsensi politik pada akhirnya yang kemudian diterima oleh para kekuatan-kekuatan elite ini? Atau sebaliknya, jika tak tercapai kesepakatan, apakah polarisasi koalisi politik yang ditimbulkan akan menghasilkan sebuah titik balik politik yang mengejutkan, atau malah biasa-biasa saja?

Dalam konteks pertarungan, politik adalah seni pelbagai kemungkinan. Dan, tampaknya publik sudah cukup terbiasa dengan berbagai kejutan dalam rute sejarah kehidupan politik Indonesia.

Kapasitas tata kelola

Kita paham bahwa tahun politik memang sudah di depan mata. Namun, dalam kondisi keindonesiaan hari ini, rakyat sesungguhnya tidak butuh skema politik yang konfliktual dan dramatik, yang membelah dan menghasilkan stagnasi sosial ekonomi. Terlebih kita mengetahui bahwa kebutuhan nasional kita adalah isu ekonomi.

Secanggih apa pun atraksi, akrobat, serta manuver para aktor politik, jangan lupakan kebutuhan dan hati nurani rakyat, kondisi obyektif dan semangat zaman. Hari ini, misalnya, salah besar jika hanya menjadikan anak muda sekadar sebagai penonton atau target pemilih yang semata dieksploitasi secara artifisial tanpa sungguh-sungguh mencoba mengupayakan keterwakilan mereka, concern, dan potensi mereka.

Anak muda kekinian justru memiliki kapasitas modal sosial penjembatan (bridging social capital) bagi berbagai entitas sosial yang berbeda—sesuatu yang Indonesia butuhkan hari ini. Anak-anak muda milenial ini tidak punya trauma politik masa lalu, justru memiliki efek penyembuh, dan siap untuk menjadi motor pergerakan sosial ekonomi yang inovatif.

Politik yang melulu kalkulasi dan intrik kekuasaan yang tak produktif cenderung akan membusukkan makna dan esensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Politik yang semestinya merupakan perwujudan nilai-nilai idealisme, manifestasi pelayanan (publik) dan komitmen pengelolaan hidup bersama berpotensi gagal mengujung pada sebuah upaya konsolidasi tata kelola pemerintahan yang baik dan berwibawa.

Sebuah agenda nasional yang berangkat dari konsensus politik yang tulus, inklusif, dan rekonsiliatif harus diupayakan secara terus-menerus oleh seluruh masyarakat politik, dipelopori oleh negara, melibatkan elite politik serta berbagai tokoh masyarakat sipil. Dalam konteks ini, tentu kita menyayangkan, entah apa pun penyebabnya, berita mundurnya sosok intelektual kebangsaan Doktor Yudi Latif dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang baru dibentuk, yang kita harapkan akan menjadi lembaga sosialisasi kebangsaan yang rekonsiliatif dan berbeda di era kontemporer ini.

Alhasil, tantangan Indonesia hari ini, khususnya ditujukan untuk para pemimpin-pemimpinnya, adalah ikhtiar yang serius untuk menumbuhkan dan menjalankan dua keutamaan kepemimpinan dan kebangsaan yang utama, yakni integritas dan integrasi.

Integrasi merujuk pada kesadaran, hasrat, dan praktik untuk bersatu ketimbang berpecah, serta suportif ketimbang intrik dan dominatif. Ini juga merujuk pada kemampuan ber-tepa salira, merangkul dalam satu kekuatan kebangsaan, ketimbang membelah dan melemahkan barisan.

Sementara integritas merujuk pada ketulusan, kesungguhan laku sosial-ekonomi-politikbudaya yang menomorsatukan akhlak/budi pekerti, kemanusiaan, etika dan moralitas publik, pelayanan, pengorbanan, kejujuran dan keadilan. Jika dua aspek ini berhasil dijalankan, saya yakin, Indonesia akan stabil, kokoh, berkah, berdayaguna, dan berkelanjutan.

Perlu dicatat bahwa bobot kepemimpinan, yang penting, jangan semata-mata dinilai dari popularitas atau tren elektabilitas, rentetan gelar akademik atau kepangkatannya, kegagahan atau kegarangannya, kekuatan politik atau kedahsyatan akumulasi kapitalnya.

Pertimbangan kesemua itu tentu saja rasional dan realistis. Namun, jadikanlah yang utama komitmen para pemimpin tersebut pada keutamaan kepemimpinan yang membentuk bangsa ini, pada nilai-nilai fundamental, kapasitas, dan komitmen sang pemimpin terhadap dua aspek moral politik kebangsaan tadi: integrasi dan integritas. Dua aspek utama itu harus dilihat sebagai kemampuan yang sejati, yang harus dimiliki dari seorang pemimpin yang akan dan selalu dibutuhkan oleh bangsa ini.