Erdogan yang diusung Partai Pembangunan dan Keadilan (Adalet ve Kalkinma Partisi/AKP), menurut kantor berita Anatolia meraih 53 persen suara, sementara saingan terdekatnya, Muharrem Ince dari Partai Rakyat Republik (Cumhuriyet Halk Partisi/CHP) yang berideologi demokrasi sosial dan Kemalisme meraih 31 persen. Dengan demikian, tidak perlu ada putaran kedua.

Kemenangan pemilu berarti Erdogan hampir pasti dapat mewujudkan impiannya untuk menjadi pemimpin terlama di Turki—melebihi Mustafa Kemal Ataturk (berkuasa dari 1923-1938), yang mendirikan Republik Turki modern di atas reruntuhan Kesultanan Ottoman. Berdasarkan konstitusi baru, Erdogan dapat mencalonkan kembali untuk masa pemerintahan periode kedua—dan bahkan ketiga bila ia melakukan pemilihan sela, pemilu lebih awal—yang membuka kemungkinan bahwa Erdogan akan tetap berkuasa hingga 2032. Masa jabatan presiden lima tahun.

Sementara dalam pemilihan parlemen, Aliansi Rakyat pimpinan Erdogan—yang terdiri atas AKP dan Partai Gerakan Nasionalis ultra-nasionalis (MilliyetÇi Hareket Partisi/MHP), memenangi 53,84 persen suara atau 343 kursi. Hasil perolehan itu menjadikan mereka menguasai mayoritas kursi di parlemen, yang beranggotakan 600 orang. Meskipun Aliansi Rakyat menguasai mayoritas di parlemen cukup untuk menerbitkan undang-undang baru, tetapi masih kurang dari 360 kursi yang dibutuhkan untuk melakukan perubahan konstitusional guna melakukan referendum sesuai sistem baru.

Akan tetapi, meski Aliansi Rakyat memenangi perolehan suara, AKP hanya mendapatkan sekitar 42,61 persen (kehilangan 7 persen suara dibandingkan dengan pemilu parlemen November 2015), atau 293 kursi, sementara MHP, 11,23 persen. Dengan demikian, untuk pertama kalinya, AKP dalam 15 tahun terakhir, tidak menjadi partai mayoritas di parlemen. Itu berarti bahwa AKP akan harus tetap menjalin koalisi dengan MHP jika ingin tetap merealiasikan kebijakan-kebijakan yang selama ini telah digariskan Erdogan.

Hasil pemilu juga menjelaskan rakyat menyetujui Erdogan sebagai presiden baru sesuai konstitusi baru, hasil referendum April 2017, tetapi dengan satu caveat, mereka, rakyat tidak memberikan suara mayoritas di parlemen. Kondisi seperti itu, akan memperlemah pemerintahan  Erdogan sebagai orang kuat (strongman) dan akan  membiarkan oposisi memainkan peran checks and balances.

Kelompok oposisi yang tergabung dalam Aliansi Nasional—CHP, Partai Baik (Iyi Partisi/IP) nasional, dan partai kecil berhaluan Islamis—meraih 34,03 persen; Partai Demokrasi Rakyat pro-Kurdi (Halklarin Demokratik Partisi/HDP) , 11,05 persen (Anadolu Agency).

Era baru

Yang penting untuk dicatat adalah hasil pemilu nasional telah memberikan otoritas yang lebih luas pada presiden atas legislatif dan yudikatif. Ini berdasarkan konstitusi baru hasil referendum April 2017, meskipun konstitusi baru tersebut dalam referendum hanya mendapat dukungan 51 persen dan 49 persen lainnya menolak.

Hasil referendum tersebut telah merampungkan secara tuntas transformasi Turki dari  sistem pemerintahan  parlementer ke presidensial dan memberikan kekuasaan sangat besar kepada presiden yang sebelumnya lebih merupakan kepala negara simbolik belaka. Ibarat kata, Erdogan hanya berganti topi, dari topi perdana menteri ke topi presiden, dan yang lebih penting lagi ia tetap menjadi orang paling kuat, paling berkuasa di Turki.

Menurut sistem baru, presidensial, Erdogan sebagai presiden dapat menunjuk wakil presiden, para menteri (yang sebelumnya ditunjuk parlemen), para pejabat tinggi, dan para hakim senior, juga membubarkan parlemen, menerbitkan dekrit eksekutif, dan menyatakan negara dalam keadaan darurat.

Erdogan berulang kali menegaskan perlunya seorang eksekutif, presiden, memiliki kekuasaan yang sangat besar untuk menciptakan negara stabil dan konfiden, dan dengan demikian "akan melangkah menjadi negara yang lebih kuat" (Aljazeera).

Sistem presidensial baru akan mengodifikasi kekuasaan eksekutif, yang pernah dilakukan Erdogan saat memberlakukan keadaan darurat setelah usaha kudeta gagal. Berdasarkan sistem baru ini, jabatan perdana menteri, yang pernah dijabatnya dari 2003-2014, akan dihapus. Kabinet yang menurut rencana akan berisi 16 menteri, akan ditunjuk langsung oleh presiden. Dan, kekuasaan parlemen akan dikurangi, antara lain, termasuk dalam hal urusan anggaran.  Karena itu, para pengritik dan Barat mengatakan, sistem presidensial baru itu menjadi dentang  "lonceng kematian bagi demokrasi Turki".

Karena itu, pihak oposisi melihat pemilu lalu sebagai pilihan antara demokrasi dan pemerintahan otoritarian. Masih sangat terang dalam ingatan, setelah usaha kudeta gagal, Erdogan menangkapi dan memenjarakan para pengritiknya, termasuk ribuan politisi dan aktivis politik, para anggota organisasi masyarakat sipil, dan kaum Islamis yang dituduhnya sebagai pengikut pimpinan Fethullah Gullen, termasuk para wartawan serta lebih dari 100.000 orang dipecat atau diberhentikan dari jabatannya di pemerintahan. Lebih dari 175.000 situs dilarang dan sekitar 800 akun Twitter diblok.

Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa Erdogan dengan AKP-nya, telah menggunakan demokrasi sebagai kendaraan untuk mengonsolidasikan kekuasaan, dan bukannya sebagai sebuah sistem checks and balances untuk melindungi kelompok minoritas etnik dan politik. Padahal, di awal pemerintahannya 15 tahun silam, Erdogan mendapat dukungan luas sebagai tokoh Islam moderat, pro-Eropa yang mendukung demokrasi dan liberalisasi ekonomi.

Akan tetapi, setelah bertahun-tahun berkuasa filosofi awal yang ia pegang digantikan oleh pemerintahan yang lebih personal dan diktatorial, terutama setelah usaha kudeta gagal yang ditudingnya dilakukan oleh kelompok Fethullah Gullen.

Tantangan besar Erdogan

Setelah kemenangannya hari Minggu lalu, persoalan besar menunggu Erdogan: Turki hampir terpecah, ada sekitar 47 persen yang tidak memilihnya.  Erdogan tidak bisa terus menyandarkan pada popularitasnya. Apalagi, perolehan suara partainya, yakni AKP terus menurun. Pada pemilu parlemen 2011, AKP mendapatkan 21,5 juta suara.

Ini karena AKP sudah tak lagi dianggap sebagai partai yang mewakili masa depan Turki. Sebab, meskipun Erdogan secara ekonomi telah mengubah Turki, tetapi ia juga memerintah dengan tangan besi, sementara keinginan rakyat Turki untuk lebih memperoleh kebebasan tak bisa dibendung lagi, rakyat menginginkan masyarakat yang bebas.

Erdogan dan juga AKP tidak bisa memungkiri bahwa kini telah lahir generasi liberal baru yang muncul sebagai gerakan akar rumput dengan menggunakan kekuatan media sosial untuk menjual, untuk menyebarkan impian mereka sendiri, yakni sebuah Turki yang benar-benar demokratik, tidak seperti yang ditawarkan Erdogan. Apa yang terjadi seperti mengulang akhir dari zaman dominasi Kemalisme karena munculnya keinginan dan impian rakyat akan multipartai dengan berbagai ragam ideologi.

Erdogan dengan kekuasaan barunya juga harus mampu membuktikan bahwa tuduhan oposisi—menghancurkan warisan sekuler Ataturk dengan membawa agama kembali ke dalam kehidupan publik—tidak benar. Ini penting berkait dengan usahanya untuk tetap bergabung dengan Uni Eropa dan memperkokoh keberadaannya di NATO, di tengah keakrabannya dengan Rusia. Tidak cukup bagi Erdogan hanya membantah tuduhan kelompok oposisi hanya dengan menyatakan hendak memodernisasi Turki dan mengembangkan kebebasan agama. Perlu tindakan nyata.