Israel telah beberapa kali melancarkan serangan udara terhadap instalasi militer Iran di Suriah dan sistem pertahanan udara Suriah, sebagai reaksi atas upaya Iran menyerang Israel melalui Suriah. Sementara sistem pertahanan udara Suriah menembak jatuh satu pesawat tempur F-16 Israel.

Israel tampak serius menghadapi ancaman Iran, yang sudah lama mereka alami melalui ofensif milisi Hezbollah, proxy Iran di Lebanon, dengan serangan roket yang membidik wilayah utara Israel. Pemerintah Israel memperingatkan Iran agar tidak menggunakan Suriah sebagai basis untuk menyerang Israel, sekaligus menyerukan kepada khalayak internasional agar tidak mempercayai Iran dalam pengembangan teknologi nuklirnya. Kebijakan Donald Trump membawa Amerika Serikat menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran telah melegakan Israel.

Sejak Revolusi 1979, hubungan Iran dengan Israel dan AS yang mesra di era Shah, memburuk. Rezim mullah Iran tidak mengakui eksistensi negara Israel, dan berpendirian bahwa Israel harus dilenyapkan. Israel mengkhawatirkan ambisi nuklir Iran, sementara Iran memberi bantuan keuangan dan militer kepada milisi Hezbollah di Lebanon dan Hamas di Gaza, Palestina, untuk melawan Israel.

Kian agresifnya Iran menimbulkan reaksi negara-negara Arab Teluk yang juga bersama dengan Israel jadi sekutu AS di Timur Tengah. Para pemimpin negara Arab Teluk pun mengeluarkan pernyataan yang mendukung Israel vis-à-vis Iran. Dalam wawancaranya dengan media AS, The Atlantic, Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman, menyatakan bahwa bangsa Israel berhak hidup damai di tanah mereka, berdampingan dengan bangsa Palestina. Lebih lanjut, sang pangeran juga memandang Israel sebagai mitra potensial Arab Saudi menghadapi Iran.

Dikutip dari situs Arab News, saat menanggapi serangan udara Israel terhadap sasaran-sasaran Iran di Suriah, Menteri Luar Negeri Bahrain Khalid bin Ahmed Al Khalifa melalui akun Twitter-nya menyatakan bahwa Israel berhak membalas ancaman Iran untuk mempertahankan diri. Pernyataan pro-Israel ini tidaklah mengejutkan jika kita memahami bahwa 60 persen warga Bahrain adalah Syiah, dan Iran sering kali dituding oleh penguasa Bahrain, Dinasti Al Khalifa, mendalangi tiap pergolakan politik di Bahrain, seperti ketika Arab Spring pecah.

Sebagai patron Suriah dan Iran di Timur Tengah, Rusia tampaknya akan tetap menjaga agar konflik tak tereskalasi jadi perang besar. Di lain pihak, AS di bawah Trump juga telah menyatakan tak ingin terjun lebih jauh di Suriah. Dengan demikian, skala konflik kemungkinan besar akan terbatas pada tingkat proxy. Rusia, misalnya, tidak bereaksi secara militer ketika koalisi Barat menggempur fasilitas militer Suriah terkait tuduhan penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad.

Kepentingan politis

Struktur konflik AS melawan Rusia beserta proxy mereka masing-masing adalah salah satu karakteristik utama politik di Timur Tengah, yang menegaskan bahwa konflik di Timur Tengah tidaklah selaras dengan tesis The Clash of Civilizations– nya Samuel Huntington, yang menghadap-hadapkan Barat melawan Islam. Struktur konflik Timur Tengah adalah lahan pertarungan politik dan strategis antarkekuatan regional yang didukung kekuatan global sebagai patron yang juga punya kepentingan masing-masing.

Saat berbicara politik di Timur Tengah, seperti isu Palestina, kita di Indonesia sering kali hanyut dalam narasi Huntingtonian yang membenturkan Barat—terutama AS—dengan "kepentingan umat Islam". Padahal, Arab Saudi sang tuan rumah Tanah Suci Islam adalah sekutu AS, konsumen peralatan militer AS dengan nilai terbesar dan jadi tuan rumah beberapa pangkalan militer AS. Arab Saudi pun menjalin kerja sama intelijen dengan Israel dalam rangka menghadapi Iran sebagai musuh bersama.

Di lain pihak, sejak Revolusi 1979, Iran bersikap anti-AS, anti-Israel, dan mendukung perjuangan Palestina dengan memasok senjata dan dana kepada Hamas, meskipun nilai bantuan finansial Iran makin menurun seiring terjadinya Arab Spring, di mana keduanya berlawanan posisi dalam isu Perang Saudara Suriah. Meskipun anti-AS dan anti-Israel, Iran tak serta-merta didukung banyak kelompok "Islam politik"/Islamis, bahkan dimusuhi karena Syiah, sama halnya dengan rezim Assad yang berkuasa di Suriah.

Namun, di kalangan Sunni pun, Pemerintah Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab melarang organisasi Islam (Sunni) transnasional Ikhwanul Muslimin dan menyatakannya sebagai organisasi teroris. Dari pengalaman Perang Saudara Lebanon (1975-1990), konflik yang awalnya pecah antara kelompok Kristen Maronit melawan kelompok Palestina, setelah campur tangan Israel dan Suriah yang kemudian berhadapan dalam proxy war di Lebanon, akhirnya berkembang jadi konflik sesama Maronit, sesama Sunni, dan sesama Syiah.

Kompleksnya situasi politik di Timur Tengah memberi gambaran bagi kita, negara berpenduduk Muslim terbesar—yang tak terhindarkan untuk terpapar dan terdampak—agar mampu melihat situasi konflik Timur Tengah dengan jernih. Timur Tengah bukanlah arena pertarungan Islam vs Barat atau Sunni kontra Syiah, melainkan dipandu oleh konflik kepentingan politis dan strategis.