Meski dengan sendirinya mereka—para politisi dan pengamat politik, bahkan juga jurnalis media—meyakini pertarungan itu melalui jalan demokrasi (tentu, saya abaikan yang mempercayai jalan lain), tetapi tak seorang pun yang menyebutnya dengan tahun demokrasi, misalnya.  Atau sepanjang percakapan mereka hingga hari ini, seolah-olah seluruh energi pertarungan politik itu hanya melalui jalan kekerasan bahasa, tuna-etika, tuna-imajinasi, tuna-keotentikan ide, dan tuna-inspirasi. Karena itu, tak seorang pun politisi, pesohor, pengamat politik, dan para jurnalis yang menyebut tahun-tahun konstestasi itu sebagai tahun seni, budaya, dan politik.

Karena itu, yang terjadi, sepanjang keriuhan percakapan hingga hari ini, para politisi yang sering kali overdosis rasa percaya dirinya, dengan mudah melalui layar kaca atau media sosial mengungkapkan kata-kata cemoohan; seperti "kecebong", "dungu", "plonga-plongo", atau sejumlah tuduhan mengerikan, seperti "PKI", "antek asing", "antek Aseng", "anti Islam", "Kristenisasi", dan sejenisnya (lihat Agus Noor, "Retorika Tanpa Pencerahan", Kompas, 14/5/2018).

Kata-kata cemoohan (dalam konteks serius dan menyerang lawan bicara, lawan politik) setidaknya mengindikasikan bahwa yang berucap mengidap "tuna-etika", "tuna-bahasa", dan "tuna-imajinasi'. Karena kata-kata cemoohan bertendensi merendahkan lawan bicara/lawan politik. Ucapan berisi tuduhan, mengindikasikan bahwa yang menyampaikan itu mengidap "tuna-sejarah", "tuna-ide yang otentik", dan "tuna-inspirasi". Sebab, kata-kata tuduhan bertendensi menghasut, bukan menginspirasi orang lain. Keduanya, cemooh dan menuduh, hanya menunjukkan kesempitan dan kedangkalan akal budi.

Seni, budaya, dan politik: "menang tanpa ngasorake"

Praktik politik dapat dipahami sebagai praktik kebudayaan. Kontestasi dijalani dengan suatu aturan main, karena terdapat kontestan. Prinsip sportivitas dijunjung tinggi. Sikap sportif hanya bisa dilakoni oleh mereka yang terdidik, terlatih, berkarakter positif, dan bermental baik. Ya, oleh mereka yang paham dengan ungkapan menang tanpa ngasorake (menang tanpa merendahkan lawan), karena lawan itu sesungguhnya partner (pasangan) menuju jalan kemenangan, dan menerima risiko kekalahan. Kesemua itu dilalui dan dicapai melalui pembelajaran dan sikap terdidik.

Pencapaian semacam itu bertumpu pada akal budi sebagai basis berpikir, berucap, dan bertindak. Antara pikiran, ucapan, dan tindakan tidak saling mengkhianati. Sebaliknya, justru saling mengontrol. Jika pikiran belum tertata, jangan terburu berucap. Jika pikiran dan ucapan masih geseh, jangan melakukan tindakan apa pun karena itu berarti mengkhianati hati nurani.

Praktik berdemokrasi antara lain melalui seni diskusi, berdebat, membela, dan menerima perbedaan dengan tetap menghargai lawan bicara/lawan politik. Lawan bicara atau lawan politik, sekali lagi, bukan musuh, melainkan sparring partner untuk mewujudkan cita-cita tentang kebaikan. Yang berbeda adalah cara meraih cita-citanya, bukan tujuannya.

Politisi dan pemandu sorak politik yang mudah mencemooh dan menuduh dapat diduga mereka "tuna-seni budaya". Sangat mungkin tak pernah bersentuhan dengan karya seni rupa, tak pernah membaca puisi, tak pernah membaca novel, tak jenak mendengarkan musik yang bagus, tak sabar menonton tari klasik, tak nyenyak menonton pergelaran wayang kulit, dan resah berlaku mendengarkan. Kalaupun pernah bersinggungan, sekadar sebagai gaya hidup karena memiliki kekayaan lebih. Persentuhan dengan seni sekadar hiburan permukaan, mampir sejenak pada kehidupannya, dan tidak sampai pada penghayatan.

Karena itu, sering-seringlah tengok pameran. Ajaklah bicara para seniman, penyair, novelis, penulis, kurator, kritikus, atau pengamat seni. Jangan hanya bernafsu untuk didengarkan. Merunduklah sesekali untuk mendengarkan. Bacalah novel atau puisi yang bagus. Berguraulah, karena "…humor bisa membuat jiwa lebih terbuka…" (Goenawan Mohamad, "Catatan Pinggir", Tempo, 20 Mei 2018).

Dengarkan musik yang bagus, yang menginspirasi, yang menyentuh, yang menggerakkan, dan sebagainya.  "Karya seni" mengajarkan demokrasi. Sebab, dalam membaca dan memaknainya, tak ada yang absolut. Tak ada kebenaran tunggal dalam karya seni. Setiap pemahaman dan pemaknaan, sejauh memiliki argumen yang kuat, tetap perlu dihargai, meski memiliki perbedaan tajam.

Lihat dan bacalah sejarah. Kita petik pelajaran dari seorang Tirto Adhi Soerjo, pemimpin pergerakan (1912-1926) yang memiliki kesadaran besar untuk membangun tradisi literasi, menerbitkan koran sendiri (Soenda Berita, 1903-1904; Medan Prijaji, 1907; dan Poetri Hindia, 1908), mendirikan perkumpulan sendiri (Sarekat Prijaji dan Sarekat Dagang Islamijah), serta membuka bisnis hotel dan biro bantuan hukum (Takashi Shiraisi, 1990, diterjemahkan oleh Hilmar Farid, 2005). Seorang Tirto Adhi Soerjo, pada 92 tahun lalu, merancang pergerakan dengan rapi, memikirkan pilar-pilar penyangga dengan tertib, serta memelopori tradisi literasi (bukan sekadar buku biografi tebal yang bombastis). Warisan terpenting Tirto Adhi Soerjo adalah, "pikiran, tulisan, ucapan, dan tindakan" yang saling terkonfirmasi. Otak, tangan, hati, dan perilaku tidak saling mengkhianati.

Lihatlah kembali praktik politik Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka yang penuh dengan perbedaan, perdebatan tajam, tetapi tetap penuh kasih sebagai saudara sesama warga bangsa. Tak ada saling menuding dengan cemoohan dan tuduhan yang banal.

Budaya politik merupakan sistem nilai bersama masyarakat yang memiliki kesadaran untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan kolektif, penentuan kebijakan publik, untuk kepentingan seluruh masyarakat. Budaya partisipatif bisa terjadi jika para politisi memberikan harapan dan inspirasi, bukan sekadar caci maki. Warga menjadi lebih berdaya karena sadar atas kewajiban dan hak-haknya sebagai warga negara.

Politik kebudayaan

Jika warga memiliki kesadaran, berdaya, dan kritis, ujungnya adalah kesadaran bersama memikirkan dan membangun politik kebudayaan, yang di dalamnya adalah terkait dengan strategi kebudayaan. Bagaimana membangun kemerdekaan dan kebanggaan sebagai warga di tengah keragaman, yang membutuhkan sikap toleran, terbuka, saling menerima, saling mengakui, dan saling menghargai. Terbebas dari rasa saling curiga dan tanpa digelayuti problem suku, agama, ras/etnis.

Strategi kebudayaan berujung pada kesadaran bersama sebagai warga Indonesia, yang ber-Pancasila, yang berada dalam arena Bhinneka Tunggal Ika. Serumit dan setajam apa pun pertarungan di dalam arena, dengan risiko kalah atau menang, sesungguhnya hanya untuk dan atas nama Garuda Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan "Indonesia Raya".

Jika setiap kita, utamanya para politisi dan pemandu sorak politik yang menjadi pesohor media, bersedia belajar dan rendah hati—menyadari tentang kemiskinan etika, seni, dan budaya pada dirinya, menggunakan prinsip kehati-hatian, tidak asal pukul dan teriak—kita semua mendapatkan pembelajaran dan pencerahan. Politisi dan pemandu sorak politik yang baik adalah memberikan inspirasi pada orang banyak. Kalah atau menang tetap dalam posisi elegan.

Jika cara-cara menempuh kemenangan itu dengan jurus serba "tuna", sesungguhnya itu hanya pseudo kemenangan, yang meninggalkan luka-luka luar dalam. Maka, mari kita menghindari sebutan tahun politik yang mengesankan serba "tuna", dengan menggantinya menyebut sebagai "Tahun Seni, Budaya, Politik"; meliputi percakapan "seni dan politik", "budaya politik", dan "politik kebudayaan".