Sebuah lembaga riset swasta, Alvara, merilis hasil  penelitian tentang peningkatan radikalisme di kalangan terdidik, Juni 2018.

Menurut mereka, kelompok intoleran semakin mendominasi kajian- kajian di tempat kerja, di lembaga dakwah kampus, dan kegiatan keagamaan di sekolah (Alvara, 2018: 54)

Hasil penelitian ini tak ubahnya kedip lampu kuning untuk masa depan kita sebagai bangsa. Persoalannya, sejauh mana pemerintah sudah mengantisipasi pandangan radikal dan sikap-sikap intoleran dalam pendidikan? Apa saja aspek-aspek dalam kebijakan pendidikan nasional yang memiliki potensi radikal?

Radikalisme dan popularitas

Ketika pendidikan menjadi tolok ukur untuk menggambarkan realitas sosial pada masa kini dan nanti, indikasi tentang adanya pandangan radikal dalam pembelajaran perlu dicermati secara serius. Sekurang-kurangnya inilah asumsi dasar ketika riset itu mulai dijalankan.

Bila melihat desain penelitiannya, tampak setelah menentukan sebaran responden di Jawa sebesar 1.800 responden dan di luar Jawa 600 responden, mereka mengumpulkan data dengan cara wawancara dan kuesioner terhadap responden terpilih. Kriteria responden adalah profesional, mahasiswa, dan siswa. Simpulannya mengalami kelemahan karena pernyataan bahwa intoleransi semakin mendominasi tidak menunjuk data diakronis dari tahun ke tahun. Sebuah analisis dari data sinkronis hanya cukup dianggap sebagai gambaran pada saat itu.

Meski demikian, ada gambaran yang menarik tentang tingkat popularitas organisasi massa Islam di mata kaum terdidik. Organisasi paling populer secara berturut-turut adalah Nahdlatul Ulama (100 persen), Muhammadiyah (100 persen), Front Pembela Islam (99,1 persen), Lembaga Dakwah Islam Indonesia (63,4 persen), Hizbut Tahrir Indonesia (49,1 persen), Hidayatullah (32,9 persen), Persis (23,4 persen), Front Umat Islam (13,8 persen), Al Irsyad (11,7 %), Al Wasliyah (9,8 persen), Majelis Tafsir Alquran (9,2 persen), Nahdlatul Wathan (1,5 persen).

Data tersebut dapat dibaca, popularitas itu memang tidak selalu memiliki hubungan positif dengan anggota organisasi tersebut. Lembaga yang populer tidak selalu memiliki anggota yang besar.

Meski demikian, popularitas organisasi memberikan indikasi tentang pemahaman masyarakat terhadap perilaku organisasi tersebut. Di lain  pihak, popularitas juga memberikan indikasi tentang adanya ideologi dominan dalam wacana keagamaan di tengah-tengah masyarakat sekarang ini.

Bila kenyataan itu direfleksikan di dalam dunia pendidikan, ideologi dominan itu nyatanya tidak tertuang di dalam materi pembelajaran di sekolah maupun perguruan tinggi. Informasi tentang intoleransi maupun toleransi, misalnya, justru diperoleh melalui "media pembelajaran" di luar praktik belajar-mengajar.

Mereka menjadi fundamentalis maupun teroris pun didasarkan pada organisasi-organisasi di luar kurikulum. Sekolah pada saat yang sama hanya  terpaku pada persiapan ujian nasional. Dengan kata lain, mereka tidak mendapatkan pembelajaran ideologi melalui praktik belajar-mengajar, tetapi menerima dari organisasi keagamaan yang populer di tengah-tengah masyarakat.

Hal itu diperparah oleh sebuah kenyataan, kebijakan pembelajaran di Indonesia tidak memberikan ruang untuk aspek kompetensi toleransi bagi peserta didik.  Empat kompetensi dalam dunia pembelajaran, yakni spiritual, sosial, kognitif, dan psikomotorik tidak dijadikan sebagai perangkat strategi efektif untuk menjalankan praktik deradikalisasi dan mengembangkan ideologi toleransi.

Pendidikan yang berpihak 

Bila logika itu disetujui, hal itu sekurang-kurangnya ada tiga sebab yang dapat diidentifikasi.

Pertama, desain pembelajaran yang mengarusutamakan toleransi belum mendapatkan tempat dalam kesadaran pendidik maupun pemegang kebijakan.  Sebuah ideologi toleran tidak bisa muncul begitu saja tanpa proses pembelajaran yang memadai. Tidak aneh bila kompetensi pemahaman ideologi tersebut belum dijadikan sebagai kerangka silabus belajar-mengajar. Kompetensi pertama (spiritual) dan kompetensi kedua (sosial) diarahkan pada sikap baik secara normatif tanpa adanya pembelajaran ideologis  yang berpihak pada nilai-nilai Pancasila.

Kedua, di dalam kurikulum sendiri tidak ada pendekatan deradikalisasi untuk setiap mata pembelajaran. Sebagai bukti, dalam kurikulum nasional sebagai hasil revisi Kurikulum 2013, ditunjukkan tentang pendekatan saintifik yang mesti digunakan dalam praktik pembelajaran. Metode itu berlaku untuk setiap mata pelajaran. Dimulai dari mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan.

Berdasarkan langkah itu, secara ilmiah, komunikasi adalah titik terakhir dari langkah-langkah metodologis. Pembelajaran dalam ranah kognitif dimulai dari mengingat, menerapkan, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan. Jelas bahwa secara kognitif, kreativitas menjadi titik tertinggi pencapaian pembelajaran.

Ketiga, pemikiran global yang berideologi liberal dan pragmatis memiliki kemampuan yang sangat kuat untuk memengaruhi para pemegang kebijakan di bidang pendidikan. Pemerintah telanjur percaya pada empat kompetensi abad ke-21 sebagaimana dirumuskan oleh Van Roekel sebagai dalil tak terbantahkan untuk menuliskan visi pendidikan 2024. Hal itu konon relevan dengan tuntutan revolusi industri keempat.

Bila kita baca secara serius, Dennis van Roekel telah menuliskan rumusan itu dalam buku berjudul Preparing 21st Century Students for a Global Society: An Educator's Guide to the "Four Cs" (2017). Pada intinya dia menyebut empat C sebagai critical thinking; communication; collaboration; creativity. Ketika 4C itu direfleksikan di dalam luaran pembelajaran, maka hal itu sesuai dengan silabus pembelajaran yang menitikberatkan pada bertanya sebagai wujud berpikir kritis dan kreativitas sebagai bentuk inovasi yang pragmatis.

Pendeknya, pendidikan yang mengutamakan kreativitas dan berpikir kritis sebagaimana dijelaskan di atas tidak berpijak pada ideologi kebangsaan. Slogan pendidikan berkarakter tidak cukup. Periode pemerintahan belum berganti, tetapi sekarang belum terlambat untuk menata kembali strategi pembelajaran yang berbasis pada penanaman ideologi yang toleran, beragam, dan multikutural.