"Marhaban Ya Ramadhan Selamat Menunaikan Ibadah
Puasa''; "Marhaban Yaa… Ramadhan 1439 H Bulan Penuh Barokah dan Rahmat''; "Selamat Menunaikan Ibadah Puasa Ramadhan 1439 H Sucikan Hati Raih Ridho Ilahi''.
Di tahun politik ini, eforia ucapan selamat menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan, seperti contoh di atas, banyak terpasang di berbagai sudut kota. Pemasangan spanduk ucapan selamat menunaikan ibadah puasa pun merambah jalan masuk desa, kampung, bahkan perumahan warga.
Pesan politik
Siapakah sosok yang berbaik hati memberikan semangat agar masyarakat khusyuk menunaikan ibadah puasa? Berdasarkan fakta visual yang terpampang dalam spanduk Ramadhan, terlihat profil calon bupati/wali kota dan calon gubernur peserta kontestasi pilkada. Tampak pula wajah calon wakil rakyat dan petinggi parpol peserta pemilu.
Lucunya, di setiap pancangan spanduk Ramadhan, para pemburu kursi kekuasaan selalu menggandeng foto ketua parpol untuk memayungi eksistensi dirinya di ruang publik. Hal ini tampaknya sengaja mereka lakukan. Mengapa harus demikian? Karena kebanyakan dari mereka adalah pendatang baru. Realitas sosial semacam itu membuktikan nyali mereka mengkeret saat bertarung di panggung politik pilkada. Mereka merasa tidak memiliki rasa percaya diri jika tak bersanding bersama ketua parpol yang menaunginya.
Di tahun politik ini, spanduk Ramadhan berupa kain rentang rerata berukuran 1 meter x 7 meter dijadikan media untuk mewadahi pesan politik bagi para pemburu kursi kekuasaan. Spanduk ucapan selamat menjalankan ibadah puasa tersebut diikatkan di panggung spanduk yang berada di perempatan jalan, ditalikan di pagar, di dinding tembok, dan jembatan. Juga ditautkan di antara tiang telepon, tiang listrik, rambu lalu lintas, dan lampu penerangan jalan. Banyak juga yang dipakukan di antara batang pohon.
Di tahun politik ini, spanduk Ramadhan mereka mitoskan jadi media komunikasi politik sangat ampuh penetrasinya di ruang publik. Bagi mereka, spanduk Ramadhan dipersonifikasi memiliki kesaktian politik saat menjalankan aksi gendam komunikasi visual.
Mereka juga menganggap spanduk Ramadhan sebagai juru bicara yang amat ramah saat menyapa calon pemilih. Hebatnya lagi, mereka memosisikan spanduk Ramadhan sebagai pengeras suara. Sebuah corong suara digunakan untuk meluaskan jangkauan suara mereka ketika mengucapkan selamat menunaikan ibadah puasa kepada massa pendukungnya.
Abaikan etika
Realitas visual di lapangan meninggalkan jejak catatan terkait izin pemasangan spanduk Ramadhan bernuansa politik. Spanduk Ramadhan yang terpasang di ruang publik ada yang berizin. Pemasangnya memenuhi kewajiban membayar pajak reklame atau alat peraga kampanye. Namun, kebanyakan dari spanduk Ramadhan tidak berizin. Otomatis mereka menjadi pengemplang pajak. Mereka sengaja tidak mengurus izin pemasangan. Mereka pun enggan bayar pajak reklame.
Ironisnya, spanduk Ramadhan yang berhiaskan profil calon bupati/wali kota, calon gubernur, calon wakil rakyat, dan petinggi parpol peserta pemilu menyalahi aturan pemasangan iklan luar ruang di ruang publik. Fakta visual di lapangan mencatat betapa parpol, petinggi parpol, calon bupati/wali kota, calon gubernur, calon wakil rakyat, dan tim suksesnya selalu mengedepankan laku egois. Saat menjalankan proses komunikasi politik, mereka sengaja mengabaikan etika berkomunikasi politik yang santun, ramah lingkungan, dan ramah visual.
Saat pemasangan spanduk Ramadhan bernuansa politik dipercayakan pada event organizer, ketika tukang pasang iklan luar ruang atas perintah tim sukses pemburu kursi kekuasaan diminta memasang spanduk, Ramadhan bernuansa politik. Pada titik ini ruang publik mendadak berpindah kepemilikannya. Semula ruang publik milik publik. Namun, sejak bergaungnya tahun politik, semua dipaksa berpindah tangan menjadi milik tim sukses pemburu kursi kekuasaan.
Atas pelanggaran etika berkomunikasi di ruang publik, masyarakat pun memberikan nilai jelek kepada mereka yang sedang bertarung berburu kursi kekuasaan. Masyarakat menandai para pelanggar etika berkomunikasi di ruang publik sebagai auktor intelektualis yang selalu menebar sampah visual iklan politik di ruang publik.
Di samping itu, masyarakat pun menyayangkan kelakuan para pemburu kursi kekuasaan yang menjalankan aksi politisasi spanduk Ramadhan pada bulan yang suci ini.
Sampah visual
Bagi warga masyarakat, politisasi spanduk Ramadhan yang ditebarkan di ruang publik cenderung menjadi sampah visual. Politisasi spanduk Ramadhan secara visual sungguh tidak menyenangkan kondisi sosial budaya calon pemilih.
Dipasang tidak mengindahkan norma keramahan lingkungan. Pola pemasangannya pun sengaja mengabaikan estetika tata ruang kota.
Karena kenakalan dan keegoisan parpol serta tim sukses sang pemburu kursi kekuasaan saat menjajah ruang publik, maka masyarakat pun berhak untuk mengingatkan. Warga masyarakat berhak menuntut mereka saat berkampanye seyogianya mengedepankan kampanye yang ramah lingkungan. Warga masyarakat memiliki hak memaksa sang pemburu kursi kekuasaan menggelar kampanye yang ramah visual dan ramah kepada calon pemilih.
Jika etika berkomunikasi politik dan kesantunan berkampanye di ruang publik tidak diindahkan, mereka pantas diberi cap sosial sebagai calon penguasa yang gemar melakukan teror visual. Wujud teror visual itu berupa sampah visual iklan politik. Selain dicap sebagai teroris visual, mereka pun urung mendapat simpati dari masyarakat calon pemilih. Mau?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar