TOTO SIHONO

MAHASISWA PILIHAN

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menemukan banyak kampus di Indonesia yang terpapar radikalisme Islam. Beberapa kampus beken justru ada di posisi atas dalam daftar tersebut.

Hal yang sama sudah lama terjadi di belahan dunia yang lain, seperti Mesir. Pada era 1970-an, di Universitas Asyut, khususnya di fakultas kedokteran,  terdapat banyak fenomena radikalisme. Ini kemudian bermetamorfosis menjadi tidak hanya sebuah pola keberagamaan yang ekstrem, tetapi menjadi sel terorisme yang mengangkat senjata melawan pemerintah.

Fenomena itu sering diawali dengan banyaknya mahasiswa yang memanjangkan jenggot dan kalangan mahasiswi yang memakai cadar. Selain itu, mereka tidak segan-segan memisahkan tempat duduk antara laki-laki dan perempuan, yang sebelumnya tidak dianggap sebagai masalah.

Mahasiswa tekun-disiplin

Fenomena tersebut tampaknya merambah Indonesia dan terjadi persis sama, yaitu merebaknya paham itu di kebanyakan fakultas eksakta, baik sains maupun terapan bukan sosial, humaniora, dan agama. Telah banyak penelitian tentang kecenderungan jurusan eksakta terpapar radikalisme agama, di antaranya pertama, karena mereka memang pada posisi awam terhadap ilmu agama sehingga bisa dimasuki pandangan agama apa pun, termasuk yang radikal. Kedua, mereka yang diterima masuk perguruan tinggi ternama adalah anak didik dengan kompetensi yang baik, khususnya secara kognisi dan afeksi.

Hal ini menjadikan mereka sebagai individu-individu yang kritis, tekun, dan disiplin. Karakteristik yang "nyambung" dengan karakter figur yang agamis. Sifat tekun dan disiplin jelas sesuai dengan output ajaran agama yang membentuk sikap tekun dan disiplin.

Betapa tidak, kewajiban ibadah atas umat Islam, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh mereka yang tidak memiliki dua sifat tersebut. Shalat lima waktu terlalu berat bagi mereka yang tidak disiplin. Apalagi puasa, yang mesti menahan makan dan minum dari terbit fajar hingga terbenam matahari, tentu tidak mungkin dilakukan kecuali bagi mereka yang tekun dan disiplin.

Dengan demikian, mereka yang diterima di perguruan tinggi negeri dengan seleksi yang ketat menjamin adanya input yang baik, yang bagi penyebar paham radikal dipandang sebagai benih potensial. Anak yang nakal, yang sulit diatur, jelas bukanlah target utama. Sebab, merekrut anak yang sulit diatur butuh kerja dua kali atau lebih untuk mengubah karakter seperti yang diinginkan.

Karakter bawaan itu semakin diprioritaskan melihat bahwa paham yang mereka bawa mengandung komitmen ekstra dibandingkan dengan komitmen yang ada pada paham arus utama, yaitu komitmen perjuangan dan pengorbanan tinggi jiwa-raga-harta. Sementara yang umum berlaku hanya menuntut ketaatan vertikal dan horizontal dalam takaran normal, tanpa beban tambahan yang merupakan misi kelompok.

Kelebihan lain yang dimiliki oleh mereka yang secara akademis bagus adalah daya kritis yang didasarkan pada paradigma rasional-empiris. Kelebihan ini membuat mereka responsif terhadap perubahan ke arah yang lebih baik. Tawaran yang lebih baik itu seperti pembelajaran ilmu agama sehingga menjadikan mereka yang semula miskin pengetahuan menjadi tahu. Tanpa disadari bahwa pengetahuan agama yang diperoleh kemudian adalah pengetahuan dengan paham yang bermasalah, baik secara substansi ajaran agama maupun dalam hubungannya dengan realitas yang ada.

Tanpa bermaksud membela paham arus utama, apa yang berlaku dalam praktik keagamaan secara umum sudah melalui proses dialog antara agama dan realitas sosial. Tidak semua yang diajarkan dalam agama bersifat wajib, ada yang sunnah dan mubah. Artinya, perintah agama tak selalu harus diterapkan. Di sana ada yang tak berdosa ditinggalkan jika ia hukumnya sunnah.

Demikian juga dengan larangan, tidak semua harus ditinggalkan. Tingkat larangan ada yang haram dan ada yang makruh. Untuk yang pertama bersifat mutlak. Sementara untuk yang kedua bersifat anjuran, yang artinya dimungkinkan untuk melakukan larangan, tetapi dengan konsekuensi hilangnya pahala.

Di sini, di wilayah opsional ini, paham arus utama telah melakukan ijtihad atau upaya hukum (intellectual exercise) dengan mempertimbangkan aspek fisibilitas di tingkat lokal. Alhasil, sesuatu yang tidak benar-benar wajib tidak diambil, tetapi diambil sesuatu yang sesuai dengan budaya atau kebiasaan masyarakat setempat.

Sebutlah seperti cara berpakaian atau berpenampilan, ulama arus utama cenderung bersikap kompromis dengan standar kepatutan umum. Celana "cingkrang" meski ada rujukan dalilnya, karena ia tidak bersifat wajib, ulama lebih memilih untuk tidak menerapkannya karena tidak sesuai dengan nilai estetika atau keindahan. Banyak lagi hal lain seputar masalah penampilan yang ulama lebih memilih sesuai ukuran budaya setempat.

Mahasiswa kritis

Sebaliknya, paham radikal justru menginginkan melawan arus dan mengabaikan pertimbangan budaya demi menjalankan ajaran yang sebenarnya tak wajib-mutlak. Mereka yang baru belajar Islam tak mengetahui hal itu dan dia mengikuti saja apa yang diajarkan ustaznya. Mereka tidak sadar bahwa mereka telah diajak untuk mewajibkan sesuatu yang tak wajib dan mengharamkan sesuatu yang tidak haram. Artinya, ia telah berada dalam asuhan paham yang acap bersikap berlebihan (ifrat) dalam beragama.

Potensi kritis yang dimiliki oleh mahasiswa dengan nilai akademis bagus juga rentan terhadap tawaran misi perubahan, tanpa menyadari bahwa tawaran tersebut bukanlah perubahan ke arah yang lebih baik. Justru ke arah kurang baik atau kemunduran karena mengabaikan kemungkinan penyesuaian hukum dengan kondisi yang ada (kontekstualisasi), yang menjadi dasar pertimbangan dalam diperbolehkannya ijtihad. Tentunya hal ini tidak berlaku pada perkara-perkara yang ushul atau yang hukumnya bersifat qat'i.

Oleh penyebar paham radikal, potensi kritis tersebut dimanfaatkan untuk merekrut anggota baru dengan dalih bahwa apa yang banyak berlaku selama ini telah melenceng dari ajaran yang benar. Bahwa kondisi umat Islam telah terpuruk karena keluar dari ajaran yang benar.

Di sini kondisi perekonomian umat Islam dan hegemoni Barat atas dunia dijadikan bukti empiris dalam menawarkan paham baru agar terjadi perubahan radikal, tanpa menyadari bahwa siapa pun pemimpin umat Islam sedang memperjuangkan hal itu, tetapi tidak sesederhana itu mengatasinya. Di sini potensi kritis termakan oleh pandangan baru yang semua isinya adalah penyederhanaan masalah. Mereka tidak sadar bahwa kesuksesan hanya bisa dicapai melalui proses yang berkesinambungan. Kalau bayi belum waktunya lahir tapi dipaksa lahir, maka yang terjadi minimal keguguran atau maksimal lahir prematur. Keduanya tak menghasilkan sesuatu kecuali kehancuran dan kemunduran.

Ibrahim Musa menyebutkan sebuah pepatah Arab yang berbunyi: "Barang siapa terburu-buru melakukan sebelum waktunya, maka akan diharamkan menuai hasilnya." Inilah yang terjadi di banyak gerakan Islam radikal, saat mereka pada akhirnya tak mampu mewujudkan impian kejayaan umat Islam dan yang terjadi justru sebaliknya, malapetaka yang tiada henti. Gerakan kritis, bagaimanapun, tak bisa mengalahkan sunnatullah bahwa perubahan berproses dan selain itu hanya retorika yang tak ubahnya pepesan kosong.

Pandangan bahwa kemunduran umat dikarenakan tidak menjalankan syariat pun penyederhanaan masalah. Memparalelkan pengamalan ajaran agama dengan kesuksesan duniawi juga tidak bisa diterima sepenuhnya. Apakah orang yang taat beragama mesti harus kaya? Lalu bagaimana dengan mereka yang taat tetapi miskin, apa bisa disimpulkan bahwa dia miskin karena tidak menjalankan syariat?

Apakah benar pemerintah tidak menjalankan syariat? Bukankah penjahat dihukum, koruptor juga demikian, masjid didirikan, sekolah Islam dibangun, orang miskin dibantu, orang sakit dibiayai, anak miskin dibiayai pendidikannya, ziarah ke Tanah Suci dikelola, Palestina diperjuangkan? Apakah semua ini tak termasuk menjalankan syariat?   Masalah apa pun tidaklah sederhana, paham Islam radikal menjual retorika dan mahasiswa  kritis termakan olehnya.