Setelah sempat dibatalkan Gedung Putih melalui surat yang menjadi viral, pertemuan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un akhirnya terjadi di Singapura, Selasa, (12/6/2018).

Ini merupakan pertemuan bersejarah yang telah dinantikan dunia, mengingat kemungkinan dampaknya bagi perdamaian dan keamanan internasional.

Belum lepas dari ingatan kita, Kim bertemu dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di zona demiliterisasi Panmunjom, 27 April lalu. Pertemuan ini menghasilkan "Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran, dan Unifikasi Semenanjung Korea" yang memberikan kerangka dasar untuk tujuan lebih luas, yaitu denuklirisasi kawasan.

Banyak laporan menyebut pertemuan Trump dan Kim—selanjutnya disebut pertemuan Singapura atau pertemuan 12 Juni—akan memusatkan agenda pada tujuan serupa. Benarkah?

Profil Kim naik

Selain Moon, Kim juga bertemu dua kali dengan Presiden China Xi Jinping, membicarakan hubungan kedua negara dan situasi keamanan kawasan.

Ia juga menerima kunjungan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov akhir bulan lalu. Selama ini Kim dikenal sebagai pemimpin yang abai terhadap relasi langsung dengan pemimpin negara lain. Ia lebih gemar melancarkan provokasi melalui perang kata-kata dan, tentu saja, uji coba nuklir.

Pertemuan pertamanya dengan Xi pada akhir Maret 2018 bahkan merupakan kunjungan pertama ia ke luar negeri sejak berkuasa pada 2011!

Uji coba nuklir menjadi semacam deterrence, "jaminan" keamanan rezim Kim untuk tidak diserang oleh negara lain. Hingga uji coba terakhir September 2017, Korea Utara telah enam kali menguji coba nuklir, bahkan sampai pada tingkatan "menyiapkan bom hidrogen."

Betul bahwa sejumlah fasilitas nuklir Korea Utara telah dihancurkan menyusul Deklarasi Panmunjom, tetapi potensi negara itu sebagai kekuatan nuklir tidak bisa dihilangkan begitu saja.

Selama lebih dari enam tahun Kim tampak "percaya diri" dengan posisi dan kekuatannya. Lalu, apa yang membuat ia mau bertemu dengan Xi, Moon, Lavrov, dan Trump?

Apakah ini tanda bahwa ia sudah "menyerah" dan tunduk kepada tuntutan dunia internasional, khususnya AS, untuk melucuti persenjataan nuklirnya?

Apakah ini merupakan bukti bahwa, berlawanan dengan persepsi umum, Korea Utara sebenarnya aktor yang bertanggung jawab dalam hubungan internasional? Atau, dampak situasi ekonomi domestik yang tak menguntungkan bagi Kim?

Tidak mudah untuk menemukan jawaban yang tepat, mengingat Korea Utara adalah negara yang tertutup. Namun, menurut suatu analisis, perubahan sikap Kim dimulai sejak China menerapkan sanksi ekonomi kepada Korea Utara. Beijing, yang selama ini dikenal sebagai "pendukung utama" Pyongyang, tampaknya gerah juga melihat keras kepalanya Kim dalam soal nuklir.

Ditutupnya sejumlah pabrik di perbatasan sehingga warga Korea Utara tidak bisa lagi bekerja dan dihentikannya ekspor produk minyak, batubara, dan mineral dari China, diyakini memaksa Kim ke meja perundingan.

Terlepas dari apa alasan Kim sesungguhnya untuk berunding, ia telah menunjukkan bahwa Korea Utara telah berubah. Negara ini telah menunjukkan kesiapan untuk berperilaku sebagaimana diharapkan masyarakat internasional.

Meskipun masih sangat jauh untuk mewujudkan perdamaian di kawasan, Kim berhasil mengubah citranya. Ia tidak lagi menjadi "penggertak," tetapi kini lebih sebagai pemimpin yang "bertanggung jawab" atas perdamaian dan keamanan dunia.

Trump menang atau kalah?

Ketika mengumumkan pembatalan pertemuan 12 Juni pada 24 Mei, Trump menyebut "kemarahan sangat kuat dan permusuhan terbuka" dari Korea Utara sebagai alasannya. Meski demikian, ia juga mengatakan bahwa peluang untuk pertemuan tetap terbuka.

Lima hari kemudian, Trump menyatakan bahwa pertemuan akan tetap dilaksanakan pada 12 Juni. Mengapa Trump secepat itu meralat keputusannya?

Kontroversi adalah kata yang bisa disematkan kepada Trump. Sebelum jadi presiden, Trump adalah pribadi yang lekat dengan pernyataan atau tindakan kontroversial. Kesukaan Trump menulis tweet dengan akun pribadi untuk merefleksikan sikap politik luar negeri, misalnya, semakin membuat ia kontroversial. Dalam konteks ini, inkonsistensi Trump soal pertemuan 12 Juni menjadi sesuatu yang mungkin tidak sulit untuk dipahami.

Trump juga pribadi yang gemar akan hal-hal "besar." Kemegahan, kemasyhuran, dan kejayaan—sekalipun kontroversia—turut ditempa oleh latar belakangnya sebagai pengusaha.

Pertemuan Singapura adalah yang pertama antara Presiden AS yang tengah menjabat dengan Pemimpin Korea Utara. Trump tentunya tidak ingin melewatkan hal ini untuk dicatat dalam buku sejarah sebagai pemimpin dengan pencapaian sangat besar yang tidak bisa disamai oleh presiden-presiden sebelumnya.

Akankah pertemuan Singapura menjadi bukti "kemenangan" Trump? Belum tentu juga. Terdapat argumen bahwa Trump membutuhkan pertemuan dengan Kim untuk mengalihkan perhatian rakyat AS dari kondisi politik domestik yang tidak menguntungkan.

Lewat akun pribadinya di Twitter, Trump berkali-kali menyerang Partai Demokrat, yang ia tuduh terlibat dalam operasi "perburuan penyihir" FBI yang tengah menginvestigasi Trump terkait dengan dugaan keterlibatan Rusia dalam pemilihan presiden tahun 2016.

Secara kebetulan pula, di akhir tahun ini akan diadakan pemilihan sela untuk sejumlah anggota Kongres. Trump mungkin berharap bahwa pertemuan Singapura bisa mengangkat kredibilitasnya dan membantu Partai Republik untuk mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya dalam pemilihan sela tersebut.

Trump bukan lagi seorang "isolasionis." Dalam tradisi politik luar negeri AS, isolasionisme tidak bisa dimaknai sebagai menutup diri dari pengaruh asing, tetapi lebih pada membatasi keterlibatan AS dalam panggung internasional. Trump tampaknya kian bergeser untuk menjadi seorang "hegemonis," yang percaya bahwa AS harus memimpin dan bahwa kepemimpinan AS adalah harus dan baik bagi dunia internasional.

Dalam konteks ini, pertemuan Singapura semakin menegaskan bahwa AS tidak bisa melepaskan kecenderungan memimpinnya sebagai konsekuensi dari kekuatan yang ia miliki.

Makna internasional

Trump dan Kim telah menandatangani dokumen "penting dan komprehensif" di akhir pertemuan mereka. Dokumen itu antara lain menyebutkan, Trump akan memberikan jaminan keamanan kepada Korea Utara dan Kim akan bekerja sangat keras memastikan komitmennya ihwal denuklirisasi Semenanjung Korea secara penuh. Kedua pemimpin juga bersepakat mengusahakan hubungan bilateral baru berdasarkan "keinginan rakyat kedua negara untuk perdamaian dan kemakmuran."

Apa makna hasil pertemuan Singapura bagi masyarakat internasional? Pertemuan itu tidak menjamin bahwa Semenanjung Korea segera menjadi kawasan bebas senjata nuklir. Namun, setidaknya kita bisa berharap bahwa setelah ini akan ada pembicaraan lanjutan dan kerja sama yang lebih intensif untuk meredakan ketegangan di kawasan.

China, Rusia, Korea Selatan, Jepang, dan Indonesia berkesempatan untuk memberikan kontribusi besar bagi upaya denuklirisasi. Setelah baru-baru ini terpilih menjadi salah satu anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia akan menjalankan peran sangat besar menjaga ketertiban dan keamanan dunia, khususnya di kawasan Asia Timur.

Trump dan Kim bisa saling mengklaim bahwa pertemuan Singapura adalah bukti "kemenangan" diplomasi mereka. Masing-masing juga dapat meyakini bahwa dirinya telah bertindak secara prudent (bijaksana, tetapi juga waspada akan risiko) ketika menyepakati hasil pertemuan.

Namun, siapa yang "menang" tidaklah penting. Pertemuan Singapura bisa berkurang maknanya jika tidak disusul kemauan politik untuk memastikan dijalankannya kesepakatan untuk mendorong terwujudnya perdamaian dan keamanan dunia.