Aturan Komisi Pemilihan Umum yang melarang bekas koruptor menjadi calon wakil rakyat dalam Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2019 menuai sikap pro dan kontra. Bukan hanya di kalangan masyarakat, pemerintah, Badan Pengawas Pemilu, DPR, dan partai politik yang berbeda, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla pun tidak sama dalam menyikapi masalah ini.
Di satu sisi, keinginan melarang bekas koruptor menjadi wakil rakyat merupakan salah satu bentuk paling nyata pemberantasan korupsi tidak hanya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi juga oleh pihak yang lain, termasuk KPU. Dari sini, KPU menunjukkan semangat reformasi, yakni pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Aturan itu diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat agar jangan menjadi koruptor sehingga tetap mempunyai hak jika ingin menjadi calon wakil rakyat. Dengan aturan ini pula diharapkan lembaga wakil rakyat, baik DPR maupun DPRD, bisa menghasilkan sosok-sosok yang bersih yang tidak terbelit masalah korupsi.
Namun, di sisi yang lain, aturan tersebut dirasa membatasi hak masyarakat (bekas koruptor) dalam kebebasan berpolitik. Memang ada koruptor yang dihukum dengan sanksi tidak hanya kurungan penjara, tetapi juga hak politiknya dicabut. Namun, masih banyak bekas koruptor yang tidak terkena pencabutan hak politiknya. Dengan demikian, mereka bisa memperoleh hak yang sama dengan warga lainnya.
Timbulnya sikap pro dan kontra terhadap larangan bekas koruptor menjadi wakil rakyat, kalau ditelusuri akar masalahnya, sebenarnya pada soal pembiayaan politik calon wakil rakyat dan partainya. Sebagaimana kita ketahui, biaya politik untuk pileg dari tahun ke tahun tidak semakin menurun, tetapi semakin mahal. Anggaran tahun lalu bagi calon wakil rakyat tentu berbeda dengan anggaran untuk pileg tahun 2019.
Ketika anggaran politik semakin meningkat dan semakin ketatnya ambang batas parlemen, tentu membuat partai politik berat jika tidak bisa menyiasati hal yang demikian, baik dari strategi maupun pembiayaan operasional. Entah bagaimana cara partai politik mencari pendanaan untuk membiayai ongkos operasionalnya ketika biaya politik semakin berat. Biasanya mulai dari memotong gaji anggotanya yang menjadi wakil rakyat, kepala-kepala daerah dari partainya, menghimpun dana dari uang-uang mahar calon kepala daerah yang ingin diusung, meminta sumbangan kepada masyarakat dan pengusaha, hingga meminta uang tertentu kepada orang yang ingin menjadi calon wakil rakyat.
Faktor meminta uang tertentu kepada orang yang ingin menjadi wakil rakyat inilah yang bisa menjadi masukan bagi partai politik. Sudah menjadi rahasia umum, untuk menjadi calon wakil rakyat dari salah satu ataupun semua partai politik, tidaklah gratis. Meski dengan sistem terbuka, penempatan nomor urut masih sangat penting bagi seseorang.
Di sinilah tawar-menawar atau pungutan dilakukan oleh partai politik kepada calon wakil rakyat. Dengan alasan sumbangan, seseorang yang ingin diusung menjadi wakil rakyat harus menyetor uang kepada partai politik. Semakin besar uang yang diserahkan kepada partai politik akan semakin mempercepat dirinya diproses menjadi daftar wakil rakyat dengan nomor urut satu pula.
Aturan yang demikian—tertulis ataupun tidak, sesungguhnya sudah menjadi rahasia umum—tentu akan menghambat orang-orang yang mumpuni atau mempunyai kapasitas, tetapi tak punya uang, jika ingin menjadi calon wakil rakyat. Namun, aturan demikian tidak menjadi masalah bagi pengusaha, orang yang mempunyai banyak uang, dan koruptor (tentu koruptor uangnya banyak karena ada simpanan).
Di tengah semakin tingginya biaya politik tentu parpol lebih memprioritaskan orang-orang yang mempunyai duit. Ketika ini menjadi prioritas, partai politik tidak peduli terhadap latar belakang calon wakil rakyat. Bermasalah dengan hukum atau tidak, koruptor atau bukan, tidak menjadi soal asal ia punya uang.
Partai politik memilih orang-orang yang punya duit sebab ia tahu bahwa biaya politik calon wakil rakyat dalam menyosialisasikan dirinya kepada masyarakat membutuhkan uang yang tidak sedikit. Calon wakil rakyat tidak hanya memasang baliho, spanduk, ataupun alat kampanye yang lain, tetapi mereka juga harus melakukan tindakan karitatif kepada masyarakat. Dalam situasi semacam ini, hanya orang-orang yang punya duit yang mampu bertahan dalam berkampanye.
Untuk itulah, aturan KPU, meski bagus, pastinya tidak disukai oleh partai politik selama sistem politik kita berbiaya tinggi. Meskipun pimpinan partai politik mendukung aturan itu, diam-diam mereka tetap menerima calon wakil rakyat dari bekas koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar