REUTERS

Donald Trump

Perkembangan geopolitik belakangan ini menunjukkan kecenderungan mengentalnya rivalitas strategis di antara negara besar di wilayah lingkungan strategis Indonesia.

Kecenderungan ke arah itu, antara lain, terlihat dari mengerasnya kebijakan perdagangan dan pertahanan Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump terhadap China, posisi China yang menolak sikap AS mengenai kebijakan Beijing di Laut China Selatan, dimulainya "koalisi strategis empat sisi" (Quad) antara AS, Jepang, India, dan Australia, serta semakin dekatnya hubungan India dan Jepang.

Yang paling mengemuka, rivalitas strategis itu tecermin dalam munculnya visi kompetitif mengenai tatanan regional (regional order) di kawasan. Kompetisi mengenai visi tatanan regional itu kini terpusat pada upaya redefinisi dan mendesain ulang mandala strategis (strategic space) di belahan bumi sebelah timur.

Titik sentral gravitasi di belahan timur mulai bergeser dari Asia-Pasifik ke Indo-Pasifik. Penyebabnya jelas: keterhubungan dua samudra strategis—Samudra Hindia dan Samudra Pasifik—sebagai suatu unit geopolitik dan geoekonomi sudah menjadi realitas sulit dibantah.

Negara-negara yang tergabung dalam Quad telah melontarkan visi mereka mengenai tatanan Indo-Pasifik yang mereka inginkan. Meskipun gagasan-gagasan yang ada berbeda nuansa, pada prinsipnya gagasan dari pihak Quad (kecuali India, yang lebih menekankan karakter inklusif) menyodorkan gagasan mengenai tatanan Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka. Sulit pula dibantah, gagasan Indo-Pasifik yang demikian itu merupakan respons terhadap tatanan regional yang dicita-citakan oleh China, yakni kawasan yang dihubungkan oleh kerangka kerja sama Prakarsa Sabuk dan Jalan.

Keberatan China

Meskipun sejauh ini China masih enggan menggunakan istilah Indo-Pasifik, Prakarsa Sabuk dan Jalan jelas merujuk pada cara pandang yang menyatukan Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sebagai satu unit geopolitik dan geoekonomi. China merasa, gagasan mengenai Indo-Pasifik yang ada sekarang ini, khususnya dari AS dan Jepang, bertujuan untuk mengurangi atau membatasi peran strategisnya sebagai kekuatan global.

Keberatan China ini bukannya tanpa alasan. Karena, pada akhirnya, visi mengenai tatanan regional merupakan upaya dari negara-negara besar (termasuk China) untuk melakukan reposisi strategis dalam tatanan regional yang sedang berubah.

Dengan kata lain, visi mengenai tatanan regional itu bukanlah semata-mata tentang ekspresi geografis, melainkan juga sebagai pernyataan mengenai posisi geopolitik dan geoekonomi, dengan sejumlah implikasi strategis yang nyata. Implikasi strategis itu akan sangat terasa bagi kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN, terutama dalam tiga hal.

Pertama, berubahnya nomenklatur regional dari Asia-Pasifik ke Indo-Pasifik secara geografis akan menempatkan ASEAN, termasuk Indonesia, di tengah-tengah pusaran rivalitas antarnegara besar. Upaya mempertahankan otonomi strategis ASEAN di masa mendatang akan kian sulit. Kedua, perluasan mandala rivalitas strategis ini dapat mengurangi relevansi dan memarginalkan peran sentral ASEAN dalam konstelasi geopolitik di kawasan. Ketiga, berkurangnya sentralitas diplomatik ASEAN pada gilirannya akan mengancam persatuan di antara negara-negara ASEAN sendiri.

Jalan tengah

Kunci utama bagi ASEAN dalam menjawab tantangan strategis itu sedikit banyak akan bertumpu pada kemampuan ASEAN untuk menjaga persatuan di antara negara-negara anggotanya. ASEAN harus mampu menghasilkan posisi bersama mengenai tatanan regional seperti apa yang dapat mengelola perubahan-perubahan di kawasan.

Oleh karena itu, tak ada pilihan lain bagi ASEAN kecuali mulai membahas bersama konsepsi Indo-Pasifik alternatif, sebagai jalan tengah yang dapat diterima dan menguntungkan semua pihak. Dalam konsepsi jalan tengah ini tak boleh ada pihak yang merasa teralienasi atau merasa menjadi pihak yang dirugikan dari proses rekonfigurasi arsitektur regional di kawasan.

Keharusan mengenai adanya konsepsi jalan tengah itu membuka peluang bagi Indonesia untuk menunjukkan perannya sebagai pemasok gagasan (provider of idea) dengan cara mengusulkan format atau nomenklatur baru dari arsitektur regional yang tidak hanya dapat memberikan titik temu bagi berbagai visi tatanan regional yang berbeda-beda, tetapi juga memastikan relevansi, sentralitas, dan persatuan ASEAN sebagai manajer tatanan regional.

Gagasan Indo-Pasifik yang dilontarkan Presiden Joko Widodo dalam pertemuan para pemimpin ASEAN di Singapura beberapa waktu lalu dapat menjadi titik awal bagi pembahasan di ASEAN. Dalam kesempatan itu, Presiden Jokowi menyampaikan pandangan Indonesia bahwa ASEAN harus aktif mengembangkan arsitektur Indo-Pasifik yang inklusif dan berbasis aturan. Arsitektur Indo-Pasifik yang demikian akan membuka peluang bagi semua negara di kawasan untuk bekerja sama memanfaatkan dua samudra strategis bagi kemakmuran bersama.

Samudra merupakan milik bersama yang harus disatukan melalui pembangunan infrastruktur maritim, pengelolaan sumber daya maritim yang berkelanjutan, serta penjaminan keamanan dan keselamatan pelayaran.

Masa depan stabilitas dan kemakmuran bersama semua pihak di kawasan terlalu mahal untuk dikorbankan hanya demi prestise rivalitas strategis yang didasarkan pada politik kekuatan.