Presiden Joko Widodo dan DPR tidak perlu memaksakan kodifikasi dalam pembahasan RUU KUHP jika substansinya justru menimbulkan masalah.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang menjadi obsesi semua presiden dan menteri kehakiman untuk merampungkannya. KUHP yang berlaku saat ini merupakan peninggalan kolonial yang harus diperbarui. Namun, pembaruan undang-undang hukum pidana itu tak perlu dipaksakan, apalagi dalam format kodifikasi. Sebuah undang-undang hukum pidana harus didesain bertahan lama dan punya jangkauan ke depan sehingga memaksakan tindak pidana khusus—yang bisa berubah dengan cepat—menjadi kurang realistis.
Menjadi kenyataan, upaya melakukan kodifikasi atau membuat undang-undang sapu jagat dengan menggabungkan pidana umum dan pidana khusus dalam satu kitab ternyata masih menimbulkan resistensi dari komisi negara.
KPK dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia keberatan terhadap dimasukkannya tindak pidana korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia dalam rancangan undang-undang hukum pidana. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keberatan terhadap substansi tindak pidana korupsi dalam rancangan KUHP. KPK dan masyarakat sipil khawatir, dengan masuknya korupsi dalam hukum pidana, sifat kejahatan luar biasa dari korupsi menjadi melunak. Ada juga analisis, pada saatnya nanti, eksistensi KPK yang lahir karena gelombang reformasi Mei 1998 akan berakhir. Hukuman korupsi dalam Rancangan KUHP dan UU Tindak Pidana Korupsi pun berbeda-beda.
Komnas HAM keberatan terhadap Rancangan KUHP yang memasukkan kedaluwarsa 20 tahun bagi pelaku kejahatan kemanusiaan serta tidak diakomodasikannya asas retroaktif. Dengan dimasukkannya klausul soal kedaluwarsa, pelanggaran hak asasi manusia masa lalu tidak akan bisa diusut lagi.
Pihak pemerintah memang berupaya menjamin bahwa tidak akan ada pelemahan KPK. Namun, jaminan itu agak susah diterima publik karena realitas politik menunjukkan bahwa upaya untuk melemahkan KPK selalu saja terjadi.
Keberatan dua komisi negara itu harus dipertimbangkan Presiden Jokowi. Politik hukum ada di tangan Presiden Jokowi. Pembuatan undang-undang adalah bagian dari pembangunan hukum yang harus dipimpin sendiri oleh Presiden. Perlu ada visi ke depan bagaimana hukum Indonesia yang kian memberdayakan masyarakat dicanangkan Presiden Jokowi. Pembangunan hukum sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar