AFP/DON EMMERT

Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi (keempat dari kanan) dan Wakil Tetap RI untuk PBB Dian Triansyah Djani (ketiga dari kanan) bersama para menteri luar negeri dan duta besar untuk PBB dari Jerman, Afrika Selatan, Republik Dominika, dan Belgia berpose di ruang Dewan Keamanan PBB setelah Majelis Umum PBB memilih lima negara baru anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, termasuk Indonesia, di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Jumat (8/6/2018).

Melalui pemungutan suara di Majelis Umum, RI mengalahkan Maladewa dengan 144 suara lawan 46 untuk meraih kursi tidak tetap di Dewan Keamanan PBB.

Dengan kemenangan dalam pemungutan suara pada Jumat (8/6/2018), Indonesia akan mulai ambil bagian dalam tugas menjaga perdamaian dunia melalui forum Dewan Keamanan (DK) PBB selama dua tahun mulai 1 Januari 2019. Ini merupakan yang keempat kalinya RI duduk di DK PBB yang sebelumnya memangku posisi ini pada tahun 1973-1974, 1995-1996, dan 2007-2008.

Pertama kita berikan apresiasi kepada Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan tim diplomat Indonesia yang dengan gigih menggalang dukungan. Satu hal yang tidak mudah di tengah keinginan bangsa-bangsa lain untuk meraih posisi di atas.

Memang, pada sisi lain ada catatan kritis tentang DK PBB, yang dianggap tidak lagi cocok dengan situasi dan kondisi dewasa ini. Pertama menyangkut keterwakilan anggota, dan kedua menyangkut dimilikinya hak veto oleh lima anggota tetap Dewan.

Lima anggota permanen tampaknya sudah nyaman dengan status quo yang ada. Semula ada yang mengusulkan penambahan anggota dengan memasukkan Jepang dan Jerman mengingat kekuatan ekonominya, ada pula yang mengusulkan India dan Brasil karena besarnya populasi.

Di tengah situasi yang tidak ideal itulah Indonesia harus pintar menjalankan keanggotaannya agar bisa dirasakan efektivitasnya. Isu Palestina, misalnya, dekat dalam politik luar negeri RI, tetapi dengan mudah akan diveto AS. Namun, ada banyak isu lain yang Indonesia bisa berkontribusi efektif. Misalnya saja tentang perlawanan terhadap terorisme dan radikalisme, atau dalam upaya bangsa-bangsa dalam mencapai sasaran pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Lebih luas dari itu, umat manusia kini juga semakin terjepit oleh dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Ini pun isu yang mendesak untuk diperjuangkan mengingat potensi dampak yang amat luas, dan berpotensi menimbulkan kerawanan dan konflik internasional.

Tepat arahan Menlu RI yang memfokuskan kiprah di DK dalam empat agenda utama dan satu isu prioritas. Kita ulang lagi, empat agenda utama dimaksud adalah memperkuat ekosistem perdamaian dan stabilitas global, meningkatkan sinergi dan kerja sama organisasi kawasan, pendekatan global dan komprehensif untuk memerangi terorisme dan radikalisme, serta mendorong terciptanya kemitraan global untuk menghasilkan perdamaian.

Untuk menjalankan tugas mulia ini, selain diplomasi, akan lebih berbobot lagi jika postur Indonesia juga semakin kokoh. Kita ingat bahwa postur satu negara antara lain ditentukan oleh kestabilan politik dalam negeri, militer dan ekonomi yang kuat, dan juga ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju.