Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 Juni 2018

Awalan ”di” di Panji Koming//Kuda Penghitung (Surat Pembaca Kompas)


Awalan "di" di Panji Koming

Saat ini acap dijumpai, terutama di media sosial, orang menuliskan morfem di dan ke tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang betul. Ada semacam kebingungan membedakan penulisan kedua morfem tersebut, disambung atau dipisah.

Padahal, rumusnya sederhana saja. Penulisan disambung, sebagai awalan, apabila kata yang mengikutinya adalah kata kerja, seperti dimakan, diminum,dan dicium. Apabila bukan kata kerja yang mengikutinya, penulisan di dipisah sebagai kata depan.

Kompas, saya nilai, adalah satu media massa yang bahasanya sangat terjaga kaidah-kaidahnya. Namun, pada edisi Minggu, 22 April lalu, saya menemui satu penulisan di yang keliru pada kartun Panji Koming. Cuplikannya "Sssttt…. Mbah mau lihat seperti apa suasana politik negeri ini dimasa yang akan datang". Kesalahan ini diulangi lagi pada kotak terakhir dengan kata yang sama: "dimasa".

Mohon di waktu yang akan datang Redaksi lebih ketat dalam kontrol kualitas karena sebagai media nasional, boleh dibilang Kompas garda depan dalam memberikan pendidikan berbahasa Indonesia yang baik dan betul.

SL Thay
Jalan Jeruk VII, Semarang

Catatan Redaksi: Terima kasih atas masukan Saudara.

 

Ilustrasi: Peserta bidang matematika mengerjakan soal dalam olimpiade matematika dan sains internsional tingkat sekolah dasar ke-13 di Tangerang, Banten, Kamis (10/11/2016). Olimpiade ini diikuti 431 delegasi dari 22 negara.

Kuda Penghitung

Para filsuf Yunani Kuno zaman Socrates dan Plato menolak anggapan matematika itu buah ciptaan pikiran manusia. Mereka percaya matematika sudah ada "dari sononya" dan akan terus ada. Kebenaran matematika kebenaran abadi.

Bahwa kenyataan ada orang yang tak tahu—dan dianggap bodoh dalam—matematika, menurut Socrates, ialah karena mereka lupa. Padahal, sebenarnya matematika sudah dan
akan selalu ada dalam pikirannya.

Ada teman Socrates dan Plato bernama Meno. Meno mera- gukan keyakinan Socrates dan minta buktinya. Socrates pun mendemonstrasikan kebenaran keyakinannya bahwa matematika itu kebenaran abadi. Demonstrasi di hadapan Meno dan disaksikan Plato yang merekamnya kemudian dipublikasikan dalam artikel "Dialog: Meno".

Socrates memanggil bocah, anak seorang budak. Bocah itu tak bersekolah, belum pernah belajar matematika. Ia disuruh Socrates menjawab serangkai tanyaan. Melalui tanya jawab pertama, kedua, dan seterusnya, Socrates membantu "mengingat kembali" pengetahuan matematika yang dibawa bocah itu dalam pikirannya sejak ia lahir.

Akhirnya, melalui gambar dalam Planometri, si bocah dapat "menemukan sendiri" Dalil Pythagoras, bahwa kuadrat sisi miring sebarang segitiga siku-siku sama dengan jumlah kuadrat sisi-sisi siku-sikunya.

Cara Socrates itu disebut "Pertanyaan-pertanyaan Socrates" dan mungkin masih dipakai dalam pendidikan, dianggap lebih baik daripada mengimla rumus dan menyuruh siswa menghafal. Cara Socrates juga dipakai dokter/psikolog dalam anamnesisnya. Dokter membantu pasien mengingat kembali gejala sakitnya, yang dirasakannya, di bagian mana dari tubuh, dan sudah sejak kapan. Jawaban si pasien, ditambah pemeriksaan dan—kalau perlu—hasil pemeriksaan lab lalu dipakai dokter menegakkan diagnosisnya dan memberi terapi serta meresepkan obatnya.

Yang terjadi pada bocah dalam demonstrasi Socrates itu tak hanya keterampilan hitung-menghitung sederhana, tetapi proses penalaran. Beranjak dari tanyaan (inquiry), terjadi penalaran, dan berakhir pada penemuan. Cara "pertanyaan Socrates" ini efektif, entahlah sesuai mengajarkan matematika di SD. Barangkali tak efisien sebab makan waktu lama.

Keterampilan hitung seperti yang dipertanyakan Wono Setya Budhi, Guru Besar Matematika ITB, dalam "Matematika di Era 4.0" (Kompas, 21/3/2018) tipis kemungkinannya membuat siswa "kasmaran" kepada matematika seperti diinginkan Iwan Pranoto, juga Guru Besar Matematika ITB. Albert Einstein dengan sinis menjuluki para ahli keterampilan menghitung dengan sebutan "kuda-kuda penghitung", Rechnenpferde.

Sebaiknya pendegradasian matematika di SD jadi bagian dari pelajaran tematik ditinjau ulang. Semoga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendengarkan kritik Wono SB sebelum anak-anak muda kita telanjur jadi "kuda penghitung" yang dicemoohkan Einstein.

Liek Wilardjo

Fisikawan

Kompas, 12 Juni 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger