KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Penyair Sapardi Djoko Damono 

Dulu Sapardi Djoko Damono kesengsem pada puisi-puisi WS Rendra yang terang dan jernih. Kesederhanaan diksi-diksi Rendra dalam buku Ballada Orang-orang Tercinta menjadi acuan berpuisi Sapardi. Sapardi tentu tidak menyangka bahwa di kemudian hari puisi-puisinya digemari banyak orang. Sapardi pun seperti merasakan keadilan alam: menggemari dan digemari.

Salah seorang penyair termasyhur Indonesia, Joko Pinurbo, mengakui bahwa buku puisi Sapardi yang berjudul duka-Mu abadi begitu penting dalam jalan kepenyairannya. Hal itu diungkapkan Jokpin sewaktu berbincang-bincang dengan Sapardi dan Najwa Shihab di acara ASEAN Literary Festival, 12 Mei 2016. "Saya beli sampai tiga kali. Sebelumnya hilang diambil orang. Persis yang saya tuliskan di cerpen saya 'Sebotol Hujan' itu kejadian betul. Itu buku puisi pertama dan saya belinya di Yogya. Padahal, saya sekolah di Magelang. Pas hari Minggu, saya ke Yogya buat beli bukunya. Harganya masih tertera. Itu dulu 25 rupiah. Ini versi Pustaka Jaya. Harganya Rp 200 atau Rp 500. Ini salah satu buku favorit. Bukan masalah bagus atau tidak. Menurut saya paling menginspirasi. Yang paling membuka jalan kepengarangan saya, ya duka-Mu abadi," kata Jokpin. Sapardi boleh mesem, sedetik.

Bukan hanya penting bagi Jokpin, buku duka-Mu abadi pun monumental bagi Sapardi. Duka-Mu abadi adalah buku pertamanya. Meski Sapardi mengaku kepada Bakdi Soemanto (2006) mulai menulis puisi pada 1957, buku duka-Mu abadi baru terbit pada 1969. Buku diterbitkan mandiri dengan biaya seutuhnya dari Jeihan Sukmantoro, salah seorang pelukis ekspresionistik Indonesia.

Jeihan menikmati sukses terlebih dahulu ketimbang Sapardi. Maka sesuai janji keduanya sewaktu bersekolah bersama, Jeihan pun membantu Sapardi untuk menerbitkan buku puisinya. Pada edisi awal buku duka-Mu abadi, sampul bergambar wajah Sapardi dibuat oleh Jeihan dengan teknik cungkil kayu. Kemonumentalan buku ini juga terbukti dengan penerbitan ulang oleh Pustaka Jaya, Bentang Pustaka, dan Gramedia dalam periode berbeda.

Pada 2003, buku duka-Mu abadi mendapat penghargaan Achmad Bakrie. Panitia menilai, puisi-puisi Sapardi dalam duka-Mu abadi memiliki nilai bersejarah. Puisi-puisi itu dianggap sebagai titik kelahiran puisi lirik di Indonesia. Penilaian ini mendapat ralat dari Bakdi Soemanto dengan mengajukan Goenawan Mohamad sebagai pengarang lain yang telah menulis puisi lirik di medio 1960-an. "Oleh karena itu, barangkali, yang paling tepat dikatakan bahwa Sapardi adalah seorang penyair yang ikut mengembalikan keberadaan lirik dengan teguh di tengah hiruk-pikuk perpuisian Indonesia pada waktu itu," kata Bakdi. Pernyataan itu juga dianggap Bakdi lebih mencandrakan kerendahhatian sosok Sapardi (dalam Sapardi Djoko Damono: Karya dan Dunianya, 2006).

Lekat dengan puisi

Sekalipun Sapardi juga menulis novel, cerita pendek, esai, buku-buku teori sastra, kata pengantar, nama Sapardi telanjur lekat dengan puisi. Pertama-tama, Sapardi itu penyair. Gelagat ini bisa kita lihat dalam narasi "Tentang Penulis" di setiap buku-bukunya.

Simaklah keterangan penulis di buku teori sastra, Alih Wahana (2018): "Sejak masih menjadi murid SMA, ia telah menulis dan menerjemahkan puisi, cerpen, novel, esai, dan drama yang beberapa di antaranya telah diterbitkan Gramedia Pustaka Utama." Sapardi selalu saja menyebut puisi di deretan pertama, sekalipun keterangan penulis itu untuk buku-buku nonpuisi.

Saking cintanya pada puisi, Sapardi pernah menulis "Kepada Sebuah Sajak": kulepas kau ke tengah pusaran topan/ dari masalah manusia, sebab telah dilahirkan/ tanpa ayah dan ibu./ Dari jemariku yang papa/ kau pun menjelma secara gaib, wahai nurani alam/ aku bukan asal-usulmu. Kutolakkan kepada dunia/ nama baik serta nasibmu.

Judul dari puisi yang pernah dimuat majalah Basis, No 8, Th XVI, Mei 1967 itu mirip persembahan sekaligus penghormatan Sapardi pada puisi.

Persembahan itu mungkin juga mewakili pandangan Sapardi tentang posisi pengarang terhadap puisi maupun karya sastra pada umumnya. Kalimat "dilahirkan tanpa ayah dan ibu" serta "aku bukan asal-usulmu" jelas mengatakan bahwa puisi itu hidup sendiri, lepas dari pengarangnya. Puisi pun boleh jika kemudian mesti bersenggama atau bertengkar dengan para pembaca. Sapardi sudah tidak berurusan. Ia sering mengelak ketika ditanyai maksud atau makna puisinya sewaktu mengisi acara seminar ataupun diskusi. Karena puisi dan interpretasi bisa melampaui hal-hal yang diketahui pengarangnya sendiri.

Puluhan tahun berlalu, Sapardi tetap rajin menulis (puisi). Ratusan puisinya telah beredar di koran-koran, majalah, buku, bahkan juga situs-situs internet. Pada 20 Maret 2017, untuk memperingati ulang tahun yang ke-77, Sapardi mencetak ulang enam buku puisinya secara bersama-sama. Sapardi seakan hendak berkata pada pembaca jika buku puisinya tak hanya Hujan Bulan Juni, tetapi ada pula duka-Mu abadiayat-ayat api; ada berita apa hari ini, Den Sastro?kolam; namaku Sita; dan sutradara itu menghapus dialog kita. Lewat buku-buku itu, cucu Sapardi jadi bisa membaca jalan kepenyairan sang kakek secara lebih komplet.

Kini, untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-78, Sapardi merilis novel ketiga dari trilogi Hujan Bulan Juni yang berjudul Yang Fana adalah Waktu. Sapardi memang menulis novel, tetapi ia terasa sulit menghindari puisi. Di dalam novel Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi menyisipkan buku puisi kecil berjudul Sajak-Sajak untuk Pingkan ciptaan Raden Sarwono Hadi, tokoh sontoloyo dalam trilogi itu (Kompas, 19 Maret 2018). Buku puisi Sarwono diterbitkan Gramedia dengan ilustrasi payung di sampulnya. Kita simak petilan salah satu puisi Sarwono yang berjudul "Tiga Sajak Kecil": bayang-bayang hanya berhak setia/ menyusur partitur ganjil/ suaranya angin tumbang// agar bisa berpisah/ tubuh ke tanah/ jiwa ke angkasa/ bayang-bayang ke sebermula.

Puisi itu memang tak dimuat dalam buku puisi Sajak-sajak untuk Pingkan. Tapi pembaca bisa menemukannya di novel Hujan Bulan Juni. Inilah puisi Raden Sarwono Hadi yang belum dibukukan! Pembaca buku-buku puisi Sapardi tentu tak asing dengan judul Tiga Sajak Kecil. Sapardi pun pernah menggunakan judul itu untuk puisinya yang termuat dalam buku Ayat-Ayat Api. Namun larik-lariknya berbeda. Ihwal puisi-puisi di buku kecil yang menjadi sisipan Yang Fana Adalah Waktu, Sapardi mengatakan bahwa Sarwono yang membuat puisi itu. Ia hanya membantu menuliskan. Ah, tentu saja kita menganggap pernyataan Sapardi sekadar kelakar. Dari premis "Sapardi menciptakan Sarwono" dan "Sarwono menciptakan puisi" akan menghasilkan simpulan, "Sapardi menciptakan puisi". Aduh, yang fana memang waktu. Sapardi dan puisi, abadi!