Sejumlah cerpen karya M Dawam Rahardjo serupa studi-studi kasus realitas syariat dalam masyarakat Islam di negeri ini. Kritik dan ijtihad (pembaruan) yang lunak-terselubung dan tajam-terbuka terhadap realitas syariat telah Dawam selenggarakan di dalam karya fiksinya. Selain itu, bukan untuk berlebihan menyandingkan, sebagian yang diselenggarakan oleh Dawam dalam fiksinya, seperti performa wacana keislaman kritis dalam karya cerpenis Navis, "Robohnya Surau Kami".
Terserak kepekaan tradisi, sosial dan politik yang melekati eksistensi masyarakat Islam di Indonesia dalam cerpen-cerpen Dawam sehingga keluasan dan kerumitan realitas (ber)agama yang berjalinan dengan realitas-realitas lain tampil hadir lebih "utuh"—meski kadang "vulgar" dan memaksakan misi diskursus intelektualistik sehingga mengganggu kewajaran cerita atau keindahan sastra.
Paradoks modernisme
Parto adalah seorang tokoh dukun dalam cerpen "Pohon Keramat". Cerpen Dawam ini mengisahkan upaya pembersihan unsur-unsur klenik dari syariat Islam melalui siasat modernisasi. Kritik yang lugas dan kompleks terhadap perilaku beragama, tradisi, dan modernisasi tersembul di sekujur cerpen ini.
Melalui pijat dan jampi-jampi, Parto menjalankan praktik perdukunan di bawah pohon trembesi besar di dekat sebuah mata air di desanya. Parto bertapa di bawah naungan trembesi ini. Sebagian masyarakat mengeramatkan pohon dan mata air ini. Orang-orang desa yang sakit minta bantuan Parto dan di sekitar mata air ini masyarakat mandi dan buang hajat. Tak ada puskesmas dan minim jamban modern di desa Parto.
Pemuka agama di desa Parto menerima keluhan warga mengenai perdukunan Parto. Keresahan ini butuh bagi sebagian warga upaya tandingan atau solusi nyata yang bisa menganulir kesesatan kolektif itu. Seorang warga berkata, "Kalau tak ada pohon yang dianggap keramat si Parto tak akan melanjutkan praktik perdukunannya."
Ada yang usul agar aparat desa bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun puskesmas, masjid, serta MCK yang dilengkapi mesin pompa air di desa tersebut. Fasilitas-fasilitas modern ini tak disediakan oleh pemerintah karena latar belakang sejarah politik. Desa kaum abangan ini dulu basis gerakan PKI-Madiun. Demi menegakkan dan memurnikan syariat, kiai desa setempat mendekati parlemen daerah yang berkuasa dan bekerja sama dengan seorang kontraktor. Akhirnya fasilitas-fasilitas itu tersebut terwujudkan.
Parto beralih menjadi penjaga masjid dan fasilitas-fasilitas baru yang berdiri di bekas tempat praktik perdukunannya yang telah digusur itu. Penggusuran ini bagi Parto dan sebagian warga dianggap bisa membuat marah "roh penghuni" trembesi. Tak lama setelah berdiri, dinding bangunan-bangunan itu retak dan pompa air macet. Parto dan warga menganggap ini akibat amarah sang roh penunggu trembesi. Yang lainnya menuduh lantaran kualitas bangunan buruk lantaran terjadi korupsi anggaran proyek. Sang kontraktor mengelak tuduhan itu dengan dalih bahwa proyeknya disabotase sang roh penunggu trembesi.
Modernisasi dalam kisah di cerpen tersebut yang pada mulanya menjadi solusi kemudian dipandang korup dan bahkan berbalik mengambinghitamkan sang roh penghuni trembesi yang sesungguhnya semata takhayul bagi nalar modern.
Eksistensi agama, klenik, dan modernisasi berkelindan dalam cerpen Dawam ini dengan menampilkan paradoks dan ironi yang justru mengorbankan eksistensi dan citra ketiganya. Solusi modernis menimbulkan skandal dan polemis.
Ijtihad di kampung Betawi
Di sebuah kampung Muslim tradisional Betawi, Usama tinggal dan memelihara anjing. Para tetangga Usama merasa terganggu. Mereka berpandangan bahwa anjing adalah najis. Anjing difungsikan oleh Usama sebagai penjaga hewan ternaknya dari aksi permalingan. Sebelumnya Usama telah berkonsultasi tentang hukum memelihara anjing kepada ulama besar HAMKA. Sang ulama tak melarangnya. Demikianlah kisah dalam cerpen Dawam berjudul "Anjing yang Masuk Surga".
Dalam cerpen ini dikemukakan contoh "kontroversial" kaum Muslim di beberapa tempat memelihara anjing. "Di Minangkabau, memelihara anjing sudah biasa. Bahkan, ulama-ulama juga memelihara anjing. Sebagian orang kampung memelihara anjing untuk berburu babi di hutan. Bahkan, Pesantren Putri Padang Panjang, Rahmah el Yunusiyah, itu separuh penghuninya adalah anjing," kata ulama asal Minang itu. "Di Mekkah, banyak penduduk yang memelihara anjing," ujarnya lagi. Dikemukakan dalam cerpen ini bahwa yang najis adalah liur anjing gila. Juga dikisahkan tentang Al Quran yang menceritakan anjing yang masuk surga.
Muncul "insiden sosial" tatkala anjing peliharaan Usama menerkam dan menggigit warga yang diduga hendak mencuri hewan ternak dan barang belanjaannya. Usama berpendapat, anjingnya hanya menggigit maling. Anjing hanya menjalani tugasnya dan tak berdusta.
Wacana "ijtihad" terhadap anjing dalam cerpen ini amat riskan di kalangan Muslim meski telah didukung oleh sejumlah riwayat dan argumentasi yang meyakinkan. Ini tak semata murni soal kebenaran hukum, tetapi terkait pula dengan sikap kehati-hatian terhadap perkara yang berpotensi menimbulkan pelanggaran hukum yang tak ringan. Liur anjing adalah najis besar (mughaladhah) bagi kalangan Muslim.
"Cerpen agamis"
Dua cerpen Dawam tersebut dan beberapa cerpennya yang lain bertendensi agamis-formal atau dakwah agama yang lugas-eksplisit mengemukakan isu dan problem syariat bercorak puritan maupun "liberal".
Sebagai figur yang lebih menonjol keintelektualan Islamnya, sejumlah cerpen Dawam tersebut beririsan dengan pemikiran Islam modernisnya. Bagi pemikir Islam segenerasinya, yang Dawam lakukan dalam cerpen-cerpennya itu merupakan praktik yang langka. Gus Dur yang tampak tradisionalis dan Cak Nur yang dikenal kental modernisnya tak melakukan hal serupa. Kuntowijoyo memang banyak menulis cerpen, tetapi bercorak sosial, dan jauh dari corak agamis-formal.
Kenapa Dawam menyampaikan kritik keagamaannya melalui cerpen? Apakah karya intelektual-ilmiahnya kurang memadai mewadahi misi pemikiran dan pembaruan Islam yang telah ia tempuh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar