Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 23 Juni 2018

Revolusi Pendidikan//Pengadaan dan Pengawasan (Surat Pembaca Kompas)


Revolusi Pendidikan

Saya membaca "Perbaikan Sekolah Meleset". Bantuan rehabilitasi kerap salah sasaran. Perbaikan ruang kelas yang rusak kian butuh waktu lama akibat anggaran dan tata kelola perbaikan kurang cermat (Kompas, 23/5/2018).

Telah terdata 151.509 ruang kelas rusak parah atau butuh perbaikan segera, tetapi sepertinya pendidikan tidak dianggap penting bagi bangsa kita.

Sebaliknya, Wakil Kepala Sekolah Jakarta Indonesia Korean School, Kim Chang Hak, menyarankan "Revolusi Pendidikan Indonesia 2019". Kata Kim, kini saat tepat mendorong gerakan revolusi pendidikan agar masyarakat berpikir bahwa mereka dapat mencapai keberhasilan dengan pendidikan (Surat kepada Redaksi, 19/4).

Kim menceritakan bahwa berkembangnya sangat pesat dalam waktu singkat. Rakyat sadar pendidikan kunci uta- ma sukses perkembangan Korea Selatan. Sekolah berkua- litas. Juga fasilitas, peserta didik, dan para pendidik.

Apabila saran Revolusi Pendidikan Indonesia 2019 bisa diterima, saya ada beberapa usul.

Pertama, gubernur, bupati, camat, dan lurah bertanggung jawab atas pendidikan di daerahnya: terus memantau perbaikan sekolah agar tak meleset.

Kedua, tokoh-tokoh pendidikan kita berembuk mewujudkan Revolusi Pendidikan Indonesia 2019.

Ketiga, perlu wawancara intensif dengan Kim bagaimana Korea Selatan berkembang pesat dalam waktu singkat dengan mengunggulkan pendidikan.

Menurut Salahuddin Wahid, jika masalah pendidikan bisa diselesaikan selama 10 tahun sejak sekarang, kita akan lari membalap negara lain (Kompas, 16/3).

Titi Supratignyo
Pondok Kacang Barat, Pondok Aren,
Tangsel, Banten

Pengadaan dan Pengawasan

Gamawan Fauzi, mantan Menteri Dalam Negeri, diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi terkait dalam kasus korupsi pengadaan dan pelaksanaan pekerjaan pembangunan gedung kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Sumatera Barat.

Mengenai masalah itu, dia mengemukakan bahwa sebelum memberi persetujuan, ia telah berkonsultasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Tanpa review BPKP, ia tak bersedia tanda tangan (Kompas, 4/5/2018).

Timbul pertanyaan, dalam kasus seperti itu, apakah dapat dimaknai bahwa BPKP telah mengambil alih tanggung jawab atas kasus yang terjadi?

Pertanyaan senada juga timbul atas berita yang dimuat Kompas (6/3), halaman 5, "KPK Awasi Lelang Proyek Pemda".

Saya kebetulan masih menemukan guntingan berita lama Kompas (25/8/2015), "Serapan Anggaran dan Korupsi" dan "Pemerintah Jamin Temuan tak Semerta-merta Dipidanakan",

Pada Kompas (26/8/2015) dimuat berita "Kejagung Siapkan Tim untuk Konsultasi". Keberadaan tim dimaksudkan sebagai tempat konsultasi hukum para pejabat pemerintahan yang ragu-ragu untuk mengeksekusi anggaran.

Sebagai orang awam, saya melihat bahwa pelibatan BPKP atau KPK atau tim yang dibentuk Kejagung itu bertujuan memberi rasa aman bagi pejabat yang berkewajiban merea- lisasikan anggaran. Namun, hal itu akan sangat berbahaya bila kemudian diartikan sebagai terlepasnya tanggung jawab yang memang seharusnya dipikul pemilik proyek.

Apa yang terjadi pada kasus IPDN Sumatera Barat menunjukkan bahwa korupsi atau kerugian negara ternyata tidak dapat dicegah secara preventif dengan melibatkan BPKP pada proses awal pengadaan.

Mungkin akan demikian juga apabila yang dilibatkan itu KPK. Korupsi dapat saja terjadi pada waktu pelaksanaan sampai serah terima proyek.

Dalam cukup banyak kasus yang terjadi, bahkan tindak korupsi sudah dimulai sejak dari proses penganggaran. Karena itu, berfungsinya pengawasan dan pengendalian internal yang andal pada tiap lembaga perlu menjadi perhatian untuk diutamakan.

Suwarsono
Jl H Zaini, Cipete Selatan,

Jakarta Selatan

Kompas, 23 Juni 2018

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger