ANTARA FOTO/ RONY MURHARMAN

Petugas Gegana Brimob Polda Riau menyusun barang bukti penangkapan terduga jaringan teroris saat rilis resmi kepada wartawan di Mapolda Riau, Sabtu (2/6) malam. Tim Densus 88 dan Polda Riau berhasil mengamankan tiga orang terduga teroris yang merupakan alumni Universitas Riau pada Sabtu (2/6) siang di Gelanggang Mahasiswa UNRI beserta barang bukti yaitu empat bom yang sudah siap ledak, delapan macam serbuk bahan peledak dan dua busur panah. Bom terebut direncanakan akan diledakan di DPRD Provinsi Riau dan DPR RI.

Di era Orde Baru, kampus pernah disterilkan—istilah zaman itu dinormalisasikan—dari kegiatan politik menyusul derasnya aktivitas mahasiswa yang kritis.

Namun, menjelang Reformasi, ternyata mahasiswa masih tampil memelopori aksi turun ke jalan. Itulah dinamika kampus yang memang sudah jadi ciri khasnya, yakni tidak bisa tinggal diam manakala ada perkembangan politik yang dirasa tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Sementara itu, kalangan akademiknya kini malah terus didorong untuk menghasilkan penelitian berkualitas.

Dalam konteks mencapai tujuan ideal tentang upaya pengembangan demokrasi dan kehidupan ilmiah itulah kita dikejutkan oleh penangkapan tiga terduga teroris di lingkungan Kampus Universitas Riau (Unri) di Pekanbaru oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror, Sabtu (2/6/2018) lalu (Kompas, 3/6).

Ketiga terduga teroris merupakan alumnus Unri 2002-2005 dari program studi berbeda. Tim Densus 88 yang menangkap mereka menyita peledak berdaya tinggi dalam wujud bom pipa, serbuk bahan peledak, senapan angin, busur, dan anak panah.

Sudah beberapa waktu terakhir kita mendengar sinyalemen bahwa kampus menjadi tempat persemaian paham radikal. Namun, baru kali ini ada aksi pihak keamanan yang terjun menggeledah fasilitas kampus dan menahan sejumlah orang.

Kita berharap peristiwa di Kampus Unri bisa menambah keyakinan pihak otoritas kampus untuk lebih saksama mengamankan institusinya dari perembesan paham radikal.

Memang dengan isu ini bertambah lagi pekerjaan pengelola kampus dari sebelumnya harus mewaspadai meluasnya peredaran narkoba. Lebih jauh dari itu, dewasa ini kampus sebenarnya juga tengah dihadapkan pada berbagai tantangan yang dimunculkan oleh kemajuan teknologi, seperti pendidikan jarak jauh berbasis daring serta berbagai dampak disrupsi lain. Kita tidak lupa bahwa Revolusi Industri 4.0 juga menimbulkan tuntutan terhadap kampus untuk merevisi kurikulumnya.

Dalam lingkungan baru di atas, meningkatnya kekhawatiran kampus menjadi sasaran persemaian paham radikal dan sasaran perekrutan pelaku terorisme secara nyata menjadi tantangan mendesak yang harus direspons oleh pimpinan kampus.

Pada sisi lain, kekhawatiran yang muncul juga bukan tanpa dasar. Di satu sisi memang kampus merupakan wilayah rasional ilmiah. Namun, kondisi ini dilihat sebagai kerawanan mengingat paham atau ideologi justru meresap ke lahan-lahan kejiwaan yang kering, setidaknya pada mereka yang tanpa landasan pemahaman memadai terhadap paham politik.

Ke depan, penguatan pemahaman terhadap Pancasila serta pembiasaan terhadap paham kebangsaan perlu ditingkatkan di lingkungan kampus. Selain itu, pengelola kampus perlu meningkatkan ketajaman mata dan telinga guna memantau aktivitas di kampus, khususnya yang terkait dengan penggunaan fasilitas dan laboratorium.

Boleh jadi ada dilema di sini, yaitu antara memberi kebebasan beraktivitas dan menguranginya. Akan tetapi, saat negara dibuat tidak aman oleh ancaman terorisme, satu kebijakan serius harus ditegakkan daripada lengah dan kecolongan.


Kompas, 5 Juni 2018