KOMPAS/ALIF ICHWAN

Bupati Purbalingga Tasdi (tengah) dengan menggunakan baju tahanan terus mengacungkan salam usai diperiksa penyidik KPK selama 14 jam di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (5/6). Tasdi terjaring Operasi Tangkap Tangan KPK bersama lima orang lainya yakni sejumlah pejabat daerah Purbalingga dan pihak swasta terkait kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Komisi Pemberantasan Korupsi terus melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah kepala daerah. Virus korupsi telah merajalela.

Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Purbalingga Tasdi pada Senin, 4 Juni 2018. Tasdi ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan KPK. Kepada publik, dia mengacungkan salam metal seusai diperiksa KPK. Tasdi ditangkap bersama pejabat daerah lain dan pihak swasta. Kemudian, KPK menetapkan Wali Kota Blitar Muhammad Samanhudi Anwar dan Bupati Tulungagung Syahri Mulyo sebagai tersangka. Lebih dari 10 kepala daerah ditangkap KPK sepanjang 2018.

Para kepala daerah, para pemimpin daerah yang dipilih secara demokratis, itu ditangkap KPK karena menerima suap dari pihak ketiga. Dalam bahasa lain yang lebih canggih, suap sering disebut sebagai gratifikasi atau commitment fee atau komisi atau uang terima kasih atau bahasa lain yang sebenarnya lebih mengaburkan makna. Dalam bahasa awam korupsi adalah suap!

Di tengah berbagai upaya elite politik melemahkan KPK dengan berbagai cara, kita mendukung KPK menangkapi mereka yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Para kepala daerah itu patut diduga memanfaatkan jabatannya untuk menerima suap dari pihak ketiga guna memperkaya dirinya.

Penerima suap dengan cara menyalahgunakan jabatan dan kewenangannya adalah pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan pelanggaran hukum. Meski demikian, kita pun mempertanyakan apa langkah selanjutnya setelah operasi tangkap tangan dilakukan KPK. Proses hukum ke pengadilan jelas harus dilakukan, tetapi apa langkah untuk mencegah praktik suap agar tidak terus saja terjadi.

KPK dan Kementerian Dalam Negeri seharusnya sudah mengidentifikasi akar penyebab terjadi suap tersebut. Mayoritas korupsi di Indonesia adalah menerima suap! Jika demikian kenyataannya harus ada peta jalan bagaimana mengatasi suap itu. Bagaimana kampanye dilakukan secara masif bahwa suap adalah korupsi. Pemerintah dan KPK harus mencanangkan perang terhadap suap secara konsisten. Setiap orang yang melakukan suap, baik pemberi maupun penerima, akan dihukum!

Selanjutnya, Kementerian Dalam Negeri memanggil kepala daerah dan mengultimatum mereka untuk tidak lagi melakukan suap sambil menawarkan perbaikan sistem pencegahan. Perbaikan sistem inilah yang ditunggu setelah operasi tangkap tangan gencar dilakukan KPK. Tanpa adanya perbaikan sistem, suap akan terus terjadi. OTT tidak menimbulkan efek jera.

Kita mengusulkan penyidik melakukan audit forensik dari sisi para pemberi suap. Melacak suap dan korupsi akan lebih mudah dilakukan dari pemberi suap. Bongkar laporan keuangan dan jika perlu sampai ke percakapan e-mail sehingga bisa diketahui ke mana dana suap itu akan mengalir.

Dengan langkah simultan pencanangan suap adalah korupsi, audit forensik, dan perbaikan sistem, kita yakin setahap demi setahap suap akan berkurang. Untuk itu semua dibutuhkan konsistensi sikap dan dukungan dari publik.


Kompas, 8 Juni 2018