Saban tahun kita akan menikmati berita hiruk pikuk mudik di media cetak dan elektronik. Secara fisik, ia terkait dengan masalah angkutan dan kondisi jalan agar pemudik bisa kembali ke kampungan halaman dengan nyaman dan aman. Secara psikologis, pulang kampung adalah cara warga untuk mengikat diri kembali dengan akar, tempat menegaskan jati diri. Secara tidak langsung, peristiwa ini batu ujian bagi banyak pihak: adakah mereka telah berhasil mengurus diri dan masyarakatnya.
Sejatinya, mudik dialami oleh berbagai masyarakat melalui pelbagai perayaan, seperti tahun baru China, Natal, dan hari besar etnik. Hanya saja, mudik Lebaran jauh lebih menantang karena melibatkan banyak orang dan lembaga yang terlibat untuk keselamatan, kelancaran, dan kenyamanan. Di sini kita bisa melihat adakah pihak yang terlibat telah betul-betul menunaikan tugas, seperti dinas pekerjaan umum yang bertanggung jawab untuk memastikan jalan raya layak dilalui dan aparat keamanan benar-benar bekerja untuk menjamin keselamatan pemudik.
Tentu, pesan inti mudik sebagai tradisi perlu diperiksa kembali. Sebagaimana rakyat Amerika yang merayakan hari Thanksgiving, kita punya ikatan yang mendalam dengan keluarga. Perjumpaan ini sebenarnya cara manusia merawat kasih sayang dan ingatan.
Inilah model yang sangat penting untuk merawat hubungan kemanusiaan lebih luas. Betapa pun, hubungan darah begitu emosional, tetapi pada gilirannya setiap individu diikat dengan pelbagai ikatan, seperti pekerjaan, politik, dan organisasi kemasyarakatan. Meski demikian, semua batas ini luruh dengan ikatan yang lebih luas, yaitu hubungan kemanusiaan.
Lebih jauh, isu mudik bisa dilihat sebagai cara manusia lari dari kebosanan. Mereka yang bekerja di kota atau tinggal jauh dari rumah orangtua akan merasa jenuh dengan rutinitas kerja dan kemacetan jalan raya. Namun, lebih dalam, seperti diungkap oleh Ferdinand Pessoa dalam The Book of Disquiet, bahwa kejemuan muncul bukan karena tak ada yang dilakukan. Banyak yang dikerjakan, tetapi tak punya makna. Jadi, semakin banyak yang dilakukan, makin besar rasa bosan.
Oleh karena itu, makna mudik perlu digeser pada kehendak lebih murni, yaitu melawan keseharian yang banal, yang berlalu seperti biasa. Pendek kata, nilai mudik yang dikaitkan dengan kampung halaman yang asri, hubungan antarwarga yang akrab, dan gotong royong perlu disegarkan kembali.
Dengan demikian, kearifan lokal seperti ini mesti hadir di banyak ruang dan kesempatan. Sayangnya, betapa pun keadaan ini acap kali dihubungkan dengan kehidupan desa, kita sering menemukan kondisi sebaliknya. Akibat penetrasi telepon pintar dan televisi, warga kampung tak lagi sepenuhnya melestarikan kebersamaan.
Jauhi perangkap pamer
Sejatinya, dengan mudik kesempatan untuk menyalakan kembali semangat murni sangat besar. Hanya saja, orang kerap terperangkap pada acara pamer. Setiap individu secara tidak sadar ingin menunjukkan keberhasilan di perantauan dengan menampilkan diri yang konsumtif dan hedonis. Penggunaan barang tidak lagi dilihat sebagai fungsi, tetapi distingsi, pembedaan dengan orang lain dan kelas sosial. Apa yang dipakai digunakan sebagai cara berkomunikasi sehingga kehilangan esensi. Sebagian terpaksa berutang untuk membeli mobil yang menjadi beban dalam kehidupan pasca-Lebaran.
Pada sisi lain, mudik serupa dengan kegiatan libur. Ia adalah waktu luang jika dilihat bahwa warga tak bekerja seperti biasa. Malah Stanley Parker, sosiolog, menegaskan bahwa untuk memahami kegiatan di masa lapang ini sebagai konstruksi sosial, seseorang mesti memahami dunia kerja. Sememangnya, aktivitas waktu luang dikaitkan dengan kegiatan di luar kerja, yang mana kerja sering digambarkan monoton, tegang, rutin, dan membebankan. Jika mudik digambarkan keriangan, sejatinya pulang itu dilihat sebagai pemenuhan makna hidup agar orang yang menjalaninya tak merasa kosong.
Mengingat keadaan macet telah disadari sepenuhnya, kadang tekanan tersebut dianggap tantangan yang harus dilakukan untuk kenikmatan yang lebih besar: perjumpaan dengan keluarga. Di sini, mereka diuji untuk menerapkan nilai-nilai puasa, kemampuan kontrol diri (imsak). Sepertinya perjalanan panjang adalah salah satu puncak ujian terhadap keberhasilan berpuasa. Jika pengendara menjadikan jalan raya sebagai milik bersama dan setiap orang menyadari kedudukannya, maka mereka akan memberikan hak pada orang yang lebih dahulu, tidak menyerobot. Pendek kata, menahan diri harus merembes ke dalam tindakan di tengah-tengah khalayak.
Namun, jika mudik hanya dipandang sebagai cara pengalihan dari kejenuhan, ia tak bisa mengatasi kebosanan. Persoalannya bukan pulang ke kampung sebagai cara menghilangkan kejemuan, tetapi bagaimana makna asal kampung itu hadir. Kalau waktu luang di kampung tak digunakan untuk berjalan kaki, bertemu sanak- saudara, dan mengunjungi warga, maka sebenarnya kata Søren Kierkegaard dalam Either/Or, perlawanan ini hanya melahirkan kebosanan baru. Lagi-lagi, persoalannya bukan apakah kita telah melaksanakan tradisi tahunan tersebut, tetapi bagaimana kita mengisinya dengan nilai-nilai tersirat yang ada di dalam momen ini.
Seeloknya, mudik yang dilakukan setiap tahun selalu menebalkan semangat perubahan bahwa setiap peristiwa ini melahirkan pengalaman yang mendalam untuk menyegarkan kembali makna utama puasa, yaitu menahan diri dan berbagi. Pada waktu yang sama, hari kemenangan ditunjukkan dengan berbuka (yuftir al-nas), yang berarti kesucian bukan berarti tidak makan, tetapi memenuhi kebutuhan dasar untuk melangkah ke tingkat berikutnya, yaitu menjalani hidup dengan tulus dan beretika.
Apabila tujuan utama (baca: kesempurnaan akhlak) tidak dicapai, maka mudik sebagai usaha untuk merayakan Idul Fitri tak lebih dari usaha Sisyphus mendorong batu ke puncak lalu mendorongnya kembali ke bawah. Akhirnya, kebosanan makin menumpuk dan kehidupan berjalan seperti mesin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar