Bencana kebakaran lahan di Indonesia sebenarnya dapat diprediksi karena terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Namun, praktik menghadapinya ternyata sangat sulit sebab ketidakmampuan manusia dalam mengantisipasi bencana secara sistematis.
Pada tataran popularitas, pembahasan akan sangat menarik ketika bencana kebakaran lahan sedang berlangsung. Sebaliknya, mendiskusikan lebih awal menunjukkan kesiapan mengantisipasi bencana. Karena itu, sebelum memasuki puncak musim kemarau, yang menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika akan berlangsung pada Agustus dan September 2018, maka upaya pencegahan dapat dimulai pada saat ini atau menjelang akhir musim hujan. Di tingkat lokal, Kalimantan
Kesalahpahaman negara
Upaya pencegahan tersebut sangat rumit karena tak sekadar menyiramkan air ke lahan yang terbakar, juga terletak pada upaya melibatkan masyarakat setempat dalam merawat dan memanfaatkan lahan. Karena itu, negara jangan sampai mengulangi kesalahpahaman untuk mencegah kebakaran, apalagi memarjinalkan peran masyarakat setempat. Sebab, berbagai kajian tentang kebakaran lahan dan peladang menunjukkan kaitan erat antara siklus hidup masyarakat dengan lingkungannya.
Manakala negara melarang peladang melakukan pembakaran lahan ladang berarti mereka tidak bisa menanam padi. Jika mereka tidak bisa berladang, maka ratusan varietas padi terancam punah dan mereka akan kehilangan berbagai ritual berkaitan dengan perladangan.
Kebijakan negara dalam menangani kebakaran lahan cenderung dilakukan secara tergesa-gesa pada beberapa hal. Pertama, ketika kemarau panjang yang mengakibatkan hutan dan lahan terbakar hebat di Indonesia tahun 2015, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan membuat kanal di lahan gambut. Kenyataannya, kebakaran sering terjadi di lahan "Gambut Sejuta Hektar" di Kalimantan Tengah. Padahal, di areal tersebut telah ada puluhan atau ratusan kanal buatan sejak lahan gambut Kalimantan Tengah dibuka tahun 1997 untuk proyek transmigrasi.
Saat ini, kanal buatan diprakarsai perusahaan perkebunan kelapa sawit demi kepentingan perusahaan itu sendiri. Perusahaan membuat kanal-kanal melebihi anak sungai yang ada, baik dari ukuran lebar dan kedalamannya. Praktis air tersedot ke dalam kanal yang mempercepat pengeringan lahan menjelang musim kemarau sehingga kebakaran mudah terjadi. Dampak lanjutan adalah ikan sulit berkembang biak karena ekosistem rawa, terutama air, mengalami perubahan warna dan rasa.
Kedua, pemerintah pusat mengimbau agar dibuat embung di lahan gambut sebagai daerah tangkapan air untuk mencegah kebakaran. Hal ini seolah-olah temuan terbaru, padahal membuat embung dalam versi masyarakat setempat disebut sumur (beje), berfungsi sebagai perangkap ikan oleh orang Dayak dan Banjar di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah yang dilakukan secara turun-temurun.
Ketiga, ketika pemerintah melarang warga membakar lahan, hal ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi sebagai upaya mencegah kebakaran lahan, tetapi di sisi lain memutuskan ikatan mereka dengan lingkungan. Persoalan ini seperti gajah di pelupuk mata karena ketidakakuratan pemerintah dalam memahami perspektif ekologis peladang dan petani di lahan rawa pasang surut.
Terjadinya kebakaran lahan bukan hanya keinginan masyarakat setempat, tetapi jadi ancaman bagi sumber daya alam yang mereka miliki. Dua hal ini saling berkelindan seakan sulit diuraikan. Pertama, ketika larangan membakar lahan diterapkan pemerintah dengan ancaman hukuman bagi pelakunya, saat bersamaan masyarakat setempat membutuhkan upaya pembersihan lahan secara cepat (land clearing) dengan cara dibakar. Padahal, jika memahami secara mendalam ikatan masyarakat dan lingkungan sekitar, tak hanya menemukan solusi yang berasal dari kearifan lokal juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat.
Masyarakat di daerah rawa pasang surut umumnya terikat pada mata pencarian yang berkenaan akses sumber daya alam dapat diperbarui. Di daerah pasang surut tumbuh pohon gelam (Melaleuca sp.) secara alami. Masyarakat setempat percaya, pascakebakaran lahan, pohon gelam akan tumbuh sumbur.
Pohon gelam digunakan untuk bahan bakar atau kayu api, menguatkan fondasi rumah panggung di lahan rawa, atau membentuk konstruksi bangunan permanen. Masyarakat dapat keuntungan ekonomi pada musim hujan dari hasil penjualan tebangan pohon gelam hingga ratusan ribu rupiah per hari.
Masyarakat setempat juga percaya, ikan akan berkembang biak pada musim penghujan di bekas lahan yang terbakar. Panen ikan akan berkelanjutan dengan cara memancing atau menggunakan berbagai macam alat tangkap. Sementara pada musim kemarau, ikan akan semakin mudah ditangkap karena terperangkap dalam beje.
Kedua, adanya kebun tanaman purun (Fimbristylis sp.) membuat masyarakat tak ingin melakukan pembakaran lahan di lahan rawa pasang surut. Purun merupakan bahan baku pembuatan tikar dalam berbagai ukuran, topi, bakul, dan berbagai jenis kerajinan tangan tradisional. Kaum perempuan biasanya menganyam tikar di waktu senggang yang dikumpulkan sehingga mencapai ratusan lembar. Pada saat masyarakat mengalami kesulitan kerja, tikar tersebut dijual untuk menutupi perekonomian keluarga.
Masyarakat juga menanam rotan, terutama di daerah Kalimantan dan Sumatera. Rotan adalah komoditas ekspor yang harga jual dan keuntungannya mampu menyejahterakan ekonomi masyarakat kelas bawah. Persoalannya, negara melarang ekspor rotan mentah hingga rotan setengah jadi melalui SK Menteri Perdagangan No 35/M-DAG/PER/11/2011 pada 30 November 2011.
SK itu merupakan salah satu rentetan jeratan SK Kementerian Perdagangan sejak 1979 untuk mencekik leher masyarakat yang bergantung pada perdagangan rotan, sedangkan industri rotan jadi di Indonesia tak mampu menyerap produksi rotan mentah Tanah Air. Saat ini harga rotan mentah di masyarakat berkisar Rp 170.000 per kuintal. Jika pemerintah pusat memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat kelas bawah dengan mencabut SK larangan ekspor rotan mentah, maka harganya akan naik beberapa kali lipat.
Selain itu, apabila pemerintah menggalakkan industri rumah tangga berupa kerajinan, tanaman purun akan membangkitkan ekonomi kerakyatan. Lalu, yang terpenting adalah masyarakat setempat secara otomatis akan menjaga aset mata pencarian berupa kebun rotan dan purun dari ancaman kebakaran lahan.
Melestarikan ekologi budaya
Kerja sama negara dan masyarakat mutlak perlu dalam mengatasi kebakaran lahan. Pemahaman terpenting adalah terjadi kesinambungan hidup bagi masyarakat yang merawat lingkungan sekitarnya dengan aktivitas ekonomi mereka. Namun, aktivitas masyarakat pun bukan berarti tanpa kritik. Mereka nyaris melupakan kearifan lokal mengenai keseimbangan ekonomi dan ekologi budaya.
Pada masa lalu, masyarakat seperti Dayak Ngaju, khususnya pada orang Bakumpai, suka bergotong royong dengan tujuan mampalawa padang (membersihkan lahan) pada musim air atau penghujan. Bahkan hingga saat ini masih ada masyarakat yang membuat aturan desa mengenai waktu tertentu untuk memanen ikan, memberlakukan pajak desa bagi pengguna sungai. Dari tata kelola lingkungan itulah mereka menyadari pentingnya menahan laju eksploitasi demi kelestarian alam dan kelangsungan mata pencarian mereka.
Mereka juga sangat peduli peralihan musim sehingga pembakaran lahan hanya dilakukan menjelang musim hujan. Cara ini agar kebakaran lahan tidak meluas karena akan padam oleh air hujan. Sayangnya sebagian dari kearifan lokal ini tertutupi oleh kebutuhan ekonomi yang kian mendesak dan disorientasi masyarakat pada kepentingan praktis dan pragmatis.
Karena itu, negara tidak boleh salah urus atau salah kelola dalam menghadapi kebakaran lahan, apalagi dengan menyampingkan peran masyarakat. Karena itu, kebijakan negara dan masyarakat dengan berbagai kearifan lokal yang dimilikinya harus bergandengan tangan dalam mengantisipasi kebakaran lahan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar