Di pengujung akhir film PK (2014), Jaggu (Anushka Sharma) berkata bahwa PK (makhluk planet asing yang diperankan Amir Khan) telah belajar berbohong saat singgah di Bumi. Ini mengingatkan tulisan Stephen Jay Gould 20 tahun sebelumnya bahwa "Manusia ialah makhluk pendongeng dan seharusnya dinamai… Homo mendax (manusia berbohong) untuk mengakui unsur pengelabuan dalam berdongeng, ketimbang disebut Homo sapiens (manusia berpikir)." Sebelumnya, pada abad ke-16, dikenalkan frasa Omni Homo Mendax atau semua manusia pembohong yang digunakan sebagai moto dalam parodi Republik Babin.
Saat perhatian terpaku pada kejujuran, kebohongan dan mekanisme berbohong terlupakan. Upaya mengerti kebohongan boleh jadi mirip dengan studi falsifikasi dari Karl Popper sebagai landasan pengetahuan ilmiah. Tidak dengan memamerkan rentetan fakta yang mendukung, seperti untuk membenarkan "ramalan bintang" dan "teori konspirasi", tetapi justru keilmiahan ditunjukkan dengan penyediaan jalan lebar (dan mudah) guna mempersalahkannya. Sebaliknya, jika dipaksakan anggapan sesuatu yang tak dapat dipersalahkan sebagai suatu sains, akan lahir pseudo-sains.
Pasca-kebohongan
Iklim politik hari ini memamerkan bagaimana post-lie atau pasca-kebohongan berperan sampai berhasil merebut panggung politik dan sosial. Sebagai catatan, istilah post-lie dipilih di sini ketimbang istilah populer truthiness dan post-truth karena kedua terakhir mengesankan upaya penghalusan pada kebohongan. Juga, post-truth masih mau berdialog, sementara yang ini hanya mau mendengar diri sendiri (Suzi, 2018).
Gejala mirip pasca-kebohongan seperti yang menjamur hari ini sudah dituliskan di esai On Bullshit (Frankfurt, 2005). Diungkapkan di sana bahwa berbeda dengan kebohongan tradisional yang menyadari adanya kebenaran tapi sengaja menyembunyikannya, kebohongan ini justru mengabaikan benar atau tidaknya, sementara yang dipedulikan hanya apakah ujaran itu berhasil memengaruhi orang lain atau tidak: makin banyak orang terpengaruh, semakin berhasil.
Terlebih lagi jika sampai suatu saat diketahui bahwa ujarannya salah atau tak sesuai fakta, subyek tidak ambil pusing dan akan mengabaikannya. Artinya, bukan menolak kebenaran, melainkan tidak memedulikan kebenaran.
Majalah The Economist pada terbitan 10 Maret 2018 menyindir keadaan hari ini dengan subjudul A lie is halfway round the world while the truth is still putting on its shoes. Berdasarkan penelitian oleh Laboratorium Mesin Sosial di Massachusetts Institute of Technology (MIT) terhadap kicauan di Twitter, ternyata pengabaran berita benar butuh waktu enam kali lebih lama ketimbang berita bohong untuk mencapai ke 1.500 orang.
Nalar seperti tak berdaya mengenali pasca-kebohongan di zaman digital ini. Bahkan, masyarakat maju yang dikenal telah menjuarakan nalar, seperti di Eropa dan Amerika Serikat, ternyata juga tak kedap dari kejangkitan pasca-kebohongan.
Nalar berhasil menciptakan teknologi digital, tetapi nalar juga kelimpungan membendung tindakan tak bernalar (unreason) yang memancar menunggangi teknologi ciptaannya sendiri. Yang sebelumnya teknologi digital beserta teknologi lainnya diangankan dapat mendemokrasikan pengetahuan, seperti "perkuliahan jarak jauh" sampai "sekolah di awan", yang terjadi malah kemudahan penyebaran pasca- kebohongan.
Ditambah lagi gagasan populisme atau gerombolanisme gagah berjalan beriringan dengan pasca-kebohongan yang ditopang statistik seolah-olah, sains seolah-olah, dan sejarah seolah- olah, dengan mendompleng teknologi bergerak. Teknologi informasi telah menjadi kendaraan paling nyaman bagi pasca-kebohongan itu. Anti-nalar telah mendompleng nalar.
Tantangan bagi "Homo sapiens"
Hari ini, Homo sapiens ditantang untuk menghadapi pasca- kebohongan. Guna mewujudkannya, perangai ilmiah dibutuhkan bertumbuh, khususnya mulai dari ruang pendidikan. Kecakapan dasar klasik yang sudah lama terabaikan oleh pendidikan massal, seperti meragui (Pranoto, 2016), justru kini kian relevan. Ini menjadi bekal guna memasuki ruang publik digital yang bertaburan pasca-kebohongan.
Pendidikan massal yang selama ini terlalu menekankan pada penghafalan pengetahuan perlu diimbangi dengan pengasahan perangai ilmiah. Pendekatan pengajaran matematika, sains, dan disiplin lain yang bermuara pada meyakini rumus dan dalil semata, serta mengabaikan perangai ilmiah, hanya akan menjadi fondasi rapuh bagi republik serta pembangunan pengetahuan ilmiah.
Istilah semacam "pendidikan karakter" dan "revolusi mental" yang sudah menjadi bahasa spanduk dan jargon ceramah banal perlu dijabarkan ke dalam langkah-langkah yang operasional dalam setiap mata ajar. Ini dapat dimulai dengan mengkritisi rumusan karakter atau mental yang mungkin terlalu muluk, bak mengangankan sekolah melahirkan malaikat. Dibutuhkan rincian karakter yang sederhana, mudah diingat, dan masuk akal untuk dicapai.
Di samping penekanan pada pengasahan perangai ilmiah di atas, dibutuhkan munculnya sebuah narasi alternatif yang mengimbangi pertentangan biner yang berserakan di ruang publik. Perdebatan publik di dunia telah terperosok ke dalam kerangka simplifikasi pelabelan ekstrem kiri vs kanan, Demokrat vs Republiken, nasionalis vs agama, liberal vs konservatif, mayoritas vs minoritas, dan sebagainya. Saking begitu mudah ditebak, argumen yang kerap digunakan menjadi klise sampai membosankan.
Untuk itu, didambakan kelahiran suatu narasi alternatif, bahwa kehidupan sehari-hari tak sesederhana pengelompokan ekstremitas pertentangan label politik tadi. Keresahan dan narasi serupa pernah diserukan dalam pawai "Mengembalikan Kewarasan" di Washington DC, tahun 2010.
Pada satu sisi, kejadian dalam kehidupan sehari-hari tak senantiasa dapat dicerna memakai kerangka pandang pertentangan ekstrem biner itu. Pada sisi lain, masih banyak masyarakat awam sehari-hari yang hidup damai dengan pemikiran sederhana di pulau tenteram, hutan-ladang asri, desa akur, dan pegunungan tenang yang saat bangun pagi langsung bersenda gurau. Masih banyak masyarakat berakal yang tidak menggunakan patokan berpikir pengelompokan pertentangan biner tadi.
Lalu, dapatkah sistem pendidikan terlibat dalam penyadaran bahwa ada kehidupan lain di luar pertempuran antarkubu biner? Dapatkah sistem pendidikan terlibat dalam penyadaran bahwa ada kekerabatan indah sekaligus hangat meluruhkan pertentangan biner? Dapatkah pendidikan terlibat dalam penyadaran bahwa masyarakat dan bahkan setiap individu merupakan sistem kompleks sehingga mustahil dapat dilabel serta diklasifikasikan menurut pengategorian naif?
Upaya pengasahan perangai ilmiah beserta penyeruan narasi alternatif tadi kemudian harus dimatangkan untuk melandasi suatu gerakan sistematis. Pendidikan dan pendidik di mana saja diharapkan menyuburkan gairah berperangai ilmiah dan menggaungkan narasi alternatif itu ke dalam desain pembelajaran di ruang kelas secara sistematis.
Tidak hanya melalui pelajaran matematika dan sains semata, tetapi mengasah perangai ilmiah dan membangun narasi alternatif di atas juga perlu digaungkan melalui setiap mata ajar dan semua jenjang. Kebijakan masuk akal akan mengembalikan peran Homo sapiens guna mengimbangi Homo mendax.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar