KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Sejumlah aktivis yang mendaftarakan Pengujian Undang-undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum, membentangkan spanduk di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) usai melengkapi syarat gugatan di MK, Jakarta, Kamis (21/6/2018). Mereka meminta agar MK menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pilpres.

Diujinya kembali ketentuan ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilihan Umum berpotensi menciptakan ketidakpastian politik baru.

Gugatan uji materi pasal mengenai ambang batas pencalonan presiden, sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, diajukan sejumlah tokoh, seperti mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, mantan komisioner Komisi Pemilihan umum (KPU) Hadar Nafis Gumay, dan sejumlah tokoh lain. Pendaftaran gugatan uji materi ini dilakukan Kamis, 21 Juni 2018, di Mahkamah Konstitusi (MK).

Langkah uji materi ke MK adalah hak warga negara yang mengalami kerugian konstitusional akibat pemberlakuan sebuah pasal. Penggugat menghendaki tak perlu lagi ambang batas pencalonan presiden karena pemilu berlangsung serentak. Dengan tidak ada ambang batas, calon presiden bisa lebih banyak. Setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan calon presiden dalam sebuah pemilu serentak.

Uji materi pasal ambang batas pencalonan presiden dalam UU Pemilu sudah beberapa kali diajukan ke MK. Meski ada pendapat berbeda di kalangan hakim konstitusi (dissenting opinion), mayoritas hakim MK mengatakan, ambang batas pencalonan presiden adalah open legal policy dari pembuat UU. Dalam putusan terakhir, 11 Januari 2018, MK berpendapat aturan soal ambang batas pencalonan presiden selain untuk memperkuat sistem presidensial juga merupakan kebijakan terbuka pembuat UU.

Apakah MK konsisten dengan putusan terdahulu, itulah yang akan ditunggu publik? Komposisi hakim konstitusi Juni tahun 2018 masih sama dengan komposisi hakim saat putusan Januari 2018. Dua hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda. Jikalau komposisi hakim masih sama, dan obyek gugatan sama, meski dalil yang dibangun berbeda, MK selaku penjaga konstitusi seharusnya konsisten dengan putusannya. Namun, biarlah MK yang memutuskan karena memang lembaga itulah yang berwenang memutuskan uji materi terhadap UU.

Putusan MK yang sifatnya final dan mengikat seyogianya bisa meminimalkan potensi ketidakpastian politik yang bisa mengganggu tahapan pemilu. Potensi ketidakpastian politik itulah yang dimunculkan komisioner KPU Ilham Saputra, seperti diberitakan harian ini, Kamis, 21 Juni 2018. Ia mengatakan, putusan MK membuka kemungkinan terjadi perubahan jadwal tahapan pemilu. KPU menetapkan pendaftaran calon presiden dan wakil presiden dilakukan 4-10 Agustus 2018. Faktor waktu dan berubahnya tahapan pemilu ini harus menjadi pertimbangan MK.