Kita semua mengenal Einstein (1879-1955) sebagai jenius fisika dan ayah teori relativitas modern. Kita juga mengenalnya sebagai ikon kemanusiaan dan antiperang yang tangguh. Dia sendiri telah menjadi sasaran rasisme kaum Nazi. Sebagai orang Yahudi, dia digolongkan sebagai untermensch (manusia bawahan/non-Arya) yang, di dalam teori Nazi, harus dibasmi. Dia pindah ke Amerika ketika Hitler mengambil alih kekuasaan di Jerman pada 1933 dan meninggal di Princeton pada 1955.

Ternyata Einstein tidak seputih kita duga. Baru-baru ini terbit The Travel Diaries of Albert Einstein (1918) (Catatan Harian Perjalanan A.E.), di mana Einstein mengisahkan pengalamannya keliling Asia pada 1920-an. Di situ, berkali-kali muncul aneka catatan yang dapat dikatakan bersifat rasis, terutama menyangkut orang China: "Cara mereka makan adalah seperti orang Eropa ketika jongkok untuk membuang hajat di kehijauan hutan," katanya. Lalu, "Mereka bermentalitas kawanan, lebih mirip otomat daripada manusia." Tentang anak-anak, dia berkata, "Mereka tak bergairah dan tampak berpikiran tumpul."

Namun, puncaknya ialah, "Sayang benar apabila mereka sampai mengalahkan semua ras yang lain." Pernyataan yang mengacu dengan jelas pada mitos rasis 'bahaya kuning' yang menghinggapi elite Eropa pada awal abad ke-20. Syak wasangka Einstein tidak terbatas kepada bangsa China. Tentang orang Sri Lanka, dia menulis, "Mereka tidak menghasilkan apa-apa dan tidak membutuhkan apa-apa." Di Yerusalem, dia mendeskripsikan orang Arab sebagai "Saudara etnis berotak tumpul…. Menyedihkan melihat bangsa itu, yang memiliki masa lalu, tetapi bukan masa depan." Percaya atau tidak, begitulah Einstein.

Catatan-catatan yang sarat syak wasangka ini datang sebagai syok bagi pembaca yang mengenal jasa dan pencitraan Einstein selama ini. Hal ini disadari Rozenkranz, editor buku Diaries itu. Tanpa mencoba memaafkan ilmuwan raksasa abad ke-20 itu, Rozenkranz mengatakan bahwa catatan Einstein yang bernuansa rasis atau anti-asing ini sebenarnya selaras dengan geistzeit (mentalitas) zamannya, termasuk di kalangan yang progresif. Dia juga menekankan bahwa sumbangannya di dalam bidang kemanusiaan tidak dapat dianggap remeh. Einstein pernah mengutuk rasisme di Amerika sebagai "penyakit orang kulit putih" dan menjadi proponen "Pemerintahan Dunia". Sebagai ikon kemanusiaan, gambar wajahnya pernah dipakai UNHCR dalam rangka kampanye untuk menggalang bantuan bagi pengungsi.

Einstein bukan satu-satunya tokoh ikonik global yang tidak konsisten dengan pencitraannya dan hanyut dalam syak wasangka. Aung San Suu Kyi, peraih hadiah Nobel Perdamaian 1991, bungkam terhadap pembersihan etnis kaum Rohingya yang dilakukan militer di bawah pemerintahnya. Suatu pengkhianatan terhadap kemanusiaan yang lebih berat daripada Diaries Einstein.

Apa pun halnya, saya berpendapat bahwa kasus Einstein dan Aung San Suu Kyi di atas hendaknya dijadikan kesempatan untuk melakukan "mawas diri". Ya! Bisa jadi kita berbangga menempatkan diri sebagai orang yang berpikiran "luhur" dan tidak terjamah oleh prasangka etnis, rasial, kelas, anti-ini atau anti-itu. Akan tetapi, sejauh mana kita betul-betul luput dari representasi-representasi (pikiran jadi) miring yang setiap saat, secara terbuka atau terselubung, ditawarkan oleh lingkungan, media, sekolah, dan, sayangnya, pengalaman pribadi. Lebih jauh, kendatipun syak wasangka terasa sudah terlampaui pada tataran kesadaran intelektual kita, bukankah ia "bersembunyi" pada lapisan yang lebih dalam dari benak kita, bercokol di situ sebagai "memori" yang siap dipanggil pada setiap saat untuk membenarkan tindakan miring kita.

Kasus Einstein menunjukkan betapa mudah kita dapat terperosok di dalam kubangan syak wasangka itu: bagi dia, cara makan, bau, dan cara berdoa "sang liyan" adalah cukup untuk menarik kesimpulan miring. Apabila dia sendiri begitu, bagaimana dengan kita? Apabila tidak dijaga, begitu terjadi ketegangan, bukankah akan muncul kembali ke permukaan, membeku menjadi antipati sebelum mengkristal sebagai permusuhan? Akhir-
nya, apabila pada tahap itu representasi miring disulut oleh teori kebencian apa pun, bukankah kekerasan tidak jauh terjadi? Pasti.