Entah mengapa, belakangan ini telepon genggam saya dibombardir dengan pesan-pesan mulia. Salah satunya mengharuskan saya menikmati hidup dengan rasa syukur dan menjalaninya tanpa rasa khawatir. Pesan itu dikirim oleh teman dekat saya di SMP dan saudara dari pihak Ibu.

Tidak bahagia

Seorang laki-laki tetangga saya setiap hari memenuhi lini waktu akunnya dengan kalimat-kalimat yang positif. Setiap pagi, saya menyantap makanan rohani itu. Dibandingkan dengan dua manusia di atas, tetangga saya lebih menyuarakan pentingnya menjadi manusia yang luhur, yang tidak tamak, kadang yang menyelipkan pesan agar sukses dalam pekerjaan dengan cara-cara yang mulia.

Bahkan, 24 jam sebelum saya mengirim tulisan ini ke meja redaksi, tiba-tiba seorang teman dari Amerika mengirimkan pesan singkat: "Jangan takut". Waktu menerima pesan itu, saya kagetnya setengah mati karena sejujurnya hari itu sejak sore hari saya dilanda kecemasan dan ketakutan yang sangat. Saya jadi merinding bagaimana ia bisa mengirim pesan yang tepat dengan situasi perasaan saya.

Cerita-cerita di atas sampai membuat saya berpikir, apakah ini menjadi sebuah tanda kalau sebentar lagi saya akan mati? Mengapa belakangan pesan-pesan itu datang seperti menjadi pengingat bahwa saya harus segera menyiapkan jalan pulang dengan mengubah perilaku saya yang tidak sabar, susah mengampuni, tak bisa menikmati hidup dengan rasa syukur?

Gara-gara itu terbayang bagaimana susahnya saya bersyukur. Sering saya bertanya, bagaimana saya bisa bersyukur kalau baru saja menikmati kesenangan tiga hari kemudian datang problem yang membuat tak bisa tidur selama satu minggu lamanya?

Bagaimana saya dapat menikmati laut biru atau hiburan menarik saat berlibur kalau, setelah semua itu selesai, saya harus melakukan pemeriksaan dokter yang membuat deg-degan. Bagaimana saya bisa mewujudkan pesan-pesan mulia dan luar biasa positifnya itu kalau saya merasa bahwa kehidupan yang saya miliki seperti tak rela melihat saya bahagia dalam jangka waktu yang lama.

Bagaimana saya bisa menjalankan kehidupan yang jangan takut itu kalau saya dilahirkan sudah dilengkapi dengan rasa khawatir, rasa cemas, putus asa, seperti saya dilengkapi kemampuan mengecap rasa manis, asin, dan pahit?

Bahagia

Bagaimana saya dapat mengatakan kehidupan itu harus disyukuri kalau saya diserang rasa takut ketika mendengar kabar bahwa teman saya yang sehat walafiat kemudian tiba-tiba sakit yang membuat ia tak berdaya?

Bagaimana saya bisa bersyukur kalau melihat ada perusahaan yang berantakannya setengah mati, tetapi bisa sukses dan kaya raya. Sementara, meski rajin dan bekerja keras, kesuksesan tidak berpihak kepada saya?

Saya ini sampai berpikir, apakah pesan-pesan yang saya terima itu sesungguhnya hanya khayalan manusia semata? Apakah pesan-pesan itu sedang berusaha meniadakan kemanusiaan saya? Apakah pesan itu diciptakan manusia sebagai obat pelipur lara agar ia mampu bertahan dan dapat merasa dikuatkan?

Saya menulis artikel ini saat perasaan saya sangat cemas. Kemudian saya berpikir apakah yang dimaksud mensyukuri kehidupan itu sejujurnya bukan melawan perasaan takut dengan menghibur diri dengan perkataan klise bahwa semua akan baik-baik saja?

Apakah bahagia setiap hari itu sesungguhnya bukan melawan rasa cemas dengan mengartikan bahwa bahagia itu bebas dari rasa cemas? Apakah selama ini saya tidak bahagia karena saya keliru mengartikan bahagia itu sendiri?

Karena yang disebut bahagia itu buat saya adalah sebuah keadaan yang riang, yang jauh dari lara, bukan kena kanker, bukan kaya raya, tetapi rumah tangga berantakan; bukan tidak punya uang, dan bukan punya utang segunung.

Buat saya bersyukur itu meraih apa yang saya harapkan, bukan bersyukur karena saya tidak bisa meraih apa yang saya harapkan itu, kemudian mengatakan itu belum waktunya, itu bukan milikmu. Saya tak tahu apakah saya akan mampu bersyukur dengan mengatakan, "Senangnya perusahaan saya bangkrut atau senangnya akhirnya saya berhasil kena kanker."

Ketika saya selesai membaca pesan-pesan yang dikirimkan itu, saya seperti baru selesai menenggak obat penenang yang dapat memberi rasa nyaman meski hanya untuk sesaat. Apakah pembuat pesan-pesan itu sejujurnya tahu bahwa tidak ada kehidupan yang bebas problem. Jadi, nasihat itu semacam rest area untuk sebuah perjalanan hidup yang panjang dan berliku.

Tiba-tiba suara nurani langsung menimpali. "Kaaakkk …kamu, kok, goblok, sih. Masak kakak gak tahu kalau hidup ini cuma punya dua pilihan. Kakak mau bahagia atau gak mau bahagia. Kalau kakak memilih bahagia, meski dokter memvonis besok game over, yaaa …kakak game over dengan landasan rasa bahagia, kan?"