Pesona pada guru terpantik oleh sosok-sosok guru mulia. Semasa belajar di SD negeri, penulis diajar seorang guru Agama Islam yang bijaksana. Namanya Pak Slamet. Murid non-Muslim senang mengikuti pelajaran Agama Islam bersama Pak Slamet. Beliau mengajarkan nilai universalitas Islam lewat kisah-kisah bijak dalam khazanah Islam dengan amat menarik. Kami selalu merindukan saat-saat belajar bersama Pak Slamet. Para orangtua non-Muslim juga tak pernah cemas, apalagi menolak, apabila anak-anak mereka mengikuti pelajaran Agama Islam bersama Pak Slamet.

Semasa SMP, penulis diajar oleh para guru yang kreatif, sabar, tetapi berwibawa. Dengan berbagai cara, guru Matematika kami mengajarkan rumus-rumus matematika dengan kocak-ceria. Rumus-rumus matematika itu diajarkan dalam kisah, dengan contoh-contoh lumrah di kehidupan. Jadilah suasana pelajaran Matematika layaknya menonton dagelan. Suasana segar di kelas membuat kami betah belajar.

Guru-guru lain mengajarkan materi-materi yang sering dianggap sulit dengan metode jembatan keledai. Ada juga guru kami yang tak jemu-jemu mengulang-ulang materi dengan berbagi variasi cara mengajar hingga kami paham betul prinsip ilmu yang harus dikuasai. Penulis beruntung diajar para guru yang cermat lagi tekun mengamati perkembangan muridnya dan kreatif mencipta arena untuk terus belajar dengan sukacita.

Dari para guru itu, penulis belajar tentang pentingnya suasana belajar, pengenalan kecakapan, dan kerangka bernalar pembelajar yang diikuti kreativitas serta kesetiaan mengikuti dinamika pembelajar, hingga kebebasan batin pendidik sebagai prinsip yang akan menciptakan pendidikan bermartabat dan memberdayakan, baik bagi guru, terlebih anak didiknya.

Guru yang berziarah

Penulis beruntung pernah mendapat pengalaman menjadi pendidik seperti para guru yang dianugerahkan Tuhan kepada penulis. Pengalaman itu dimulai ketika membantu adik belajar di rumah. Adik penulis yang sering dikatakan kurang pandai itu ternyata bisa menguasai materi pelajaran dengan baik apabila ditolong dengan mengikuti irama belajarnya. Saat itu, penulis mulai belajar mengenal dinamika belajar dan konstruksi nalar orang yang penulis ajar.

Pengalaman mengajar adik ini terulang ketika menemani anak-anak belajar saat penulis KKN. Anak-anak kampung miskin yang sering dikatakan bodoh itu akhirnya mampu mengerjakan dan menikmati pelajaran Matematika setelah didampingi dengan tekun, sabar, setia, dan mengikuti dinamika serta struktur nalar mereka.

Sistem persekolahan yang merapuhkan kesempatan memberi perhatian cukup kepada peserta didik, hingga tak mampu mengenali kesulitan belajar anak didiknya, telah membuat mutiara-mutiara kehidupan itu kusam oleh stigma bodoh. Sekolah telah disibukkan oleh aneka hal, hingga tak punya waktu lagi untuk mengenal anak didiknya.

Pengalaman penulis belajar dan mengajar itu jadi pewahyuan bagi penulis: menjadi guru itu membahagiakan dan bermakna. Pengalaman semacam itu juga yang rasanya pernah dialami Romo Mangunwijaya (alm) dengan pendidikan Mangunan-nya, yang acap kali diselenggarakan dengan asyik dan sesekali mbeling. Kebahagiaan dan kebermaknaan sebagai guru diperoleh ketika dinamika pendidikan dan pengajaran murni diintensikan untuk mengabdi kepada para murid.

Intensi pengabdian inilah yang akhir-akhir ini rasanya raib dari atmosfer pendidikan di negeri ini. Abdi itu bukan budak. Abdi itu adalah pribadi yang menjalani hidup sebagai sebuah peziarahan. Beroleh kebermaknaan hidup yang menyelamatkan jiwa adalah targetnya dalam pengabdian di dunia lewat pendidikan.

Kebermaknaan itu dipungut ketika berjumpa mata para murid yang bersinar saat mampu menguasai sebuah materi pelajaran. Atau pada keceriaan para murid yang asyik belajar tentang nilai-nilai universal, yang sadar bahwa mereka sedang terbebas dari tempurung kepicikan hidup primordial.

Banyak hal telah menggeser alasan seorang guru dalam mendapatkan kebermaknaan hidupnya. Uang, salah satunya. Guru memang membutuhkan uang. Akan tetapi, ketika uang menjadi instrumen penyemangat hidup para guru, uang itu telah menjadi berhala yang menghancurkan martabat guru.

Kentalnya muatan ideologi primordial dalam dinamika pendidikan telah menghilangkan potensi anugerah guru sebagai sang pencerah kehidupan laksana matahari. Ia tergoda untuk memilah-milah anak didik, lalu pilih kasih dalam memberi pengajaran dan kesempatan. Guru tidak lagi menjadi abdi yang berziarah, tetapi budak yang dipasung ideologi primordial. Rasanya kini memang tidak mudah lagi menjadi guru saja.